Nasi Kucing (bahasa Jawa: ꦱꦼꦒꦏꦸꦕꦶꦁ, translit. Sěgå Kucing)[1] adalah makanan yang berasal dari Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta. Porsi nasi kucing umumnya sedikit, biasanya ditambah sambal, ikan bandeng/teri, dan tempe, lalu dibungkus daun pisang.
Menu
Cakalang
Cumi Asin
Peda
Ayam Suwir
Ayam Empal
Etimologi
Kata "nasi kucing" berarti "nasi untuk kucing" karena porsinya yang kecil. Kata tersebut berasal dari kebiasaan masyarakat Jawa yang memelihara kucing dan memberikan makanan untuk peliharaannya dengan porsi kecil.[2] Nasi kucing biasanya berisi sambal, gereh pindang, dan nasi dengan porsi yang sedikit. Gereh pindang adalah salah satu makanan kucing sehingga hal ini yang membuat nasi yang berporsi sedikit ini disebut nasi kucing.[3]
Asal
Nasi kucing berasal dari Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta.[4] Nasi ini sangat digemari oleh berbagai kalangan terutama kalangan muda seperti mahasiswa,[5] terutama pada era reformasi saat bahan pokok mengalami kenaikan harga.[6]
Penyajian
Nasi kucing memiliki porsi kecil yang ditambah dengan berbagai macam lauk. Jenis lauk yang disediakan biasanya ikan bandeng, teri, dan tempe.[2] Bahan lain yang dapat ditambahkan yaitu telur, ayam, dan mentimun.[4] Disajikan dengan daun pisang dan bisa langsung disantap.[2] Namun, seiring perkembangan zaman, ada juga tempat makan yang menghidangkan menu nasi kucing dengan menggunakan piring.
Menu pendamping nasi kucing selain telur dan ayam adalah sate, gorengan, tahu bacem, bihun goreng , dan sebagainya.[6]
Variasi dari nasi kucing adalah sego macan, ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan nasi kucing. Biasanya disajikan dengan nasi yang dibakar, ikan, dan sayuran. Seperti nasi kucing, sego macan juga dibungkus daun pisang.[7]
Penjualan
Nasi kucing biasanya dijual dengan harga murah (terkadang Rp 2000 untuk nasi kucing[8] dan 5000 untuk sego macan[7]) di tempat yang kecil, maupun jajanan pinggir jalan yang disebut angkringan.
Dalam buku yang berjudul Angkringan: Unik dan Tak Lekang oleh Waktu yang ditulis oleh Ratih Kartika disebutkan bahwa pada tahun 1930, seorang warga Klaten bernama Karso Djukut memulai mengenalkan angkringan di Kota Solo. Karso berjualan angkringan dengan dipikul dan berjalan mengelilingi kampung. Masyarakat lain mengikuti jejak karir Karso dengan berjualan di pusat keramaian Kota Solo seperti di sekitaran bioskop di Sriwedari dan kegiatan malam Selikuran.[9] Pairo yang juga warga Klaten memulai menjual angkringan di Yogyakarta dengan care berkeliling. Hingga pada akhirnya Pairo memilih berjualan secara menetap di sekitar kawasan Stasiun Tugu.[9]
Di Yogyakarta tempat berjualan nasi kucing biasa disebut "angkringan", di Kota Semarang disebut "kucingan", sedangkan di Solo biasa disebut "warung hik".[6]
Ada juga yang menjual dengan harga Rp 8.000,00 per bungkus, contohnya di Jakarta.
"Nasi Kucing Pademangan" menjual dengan harga Rp 8.000 per bungkus untuk nasi kucingnya