Weltevreden

Peta Batavia tahun 1888

Weltevreden (bahasa Belanda yang berarti dalam suasana tenang dan puas) adalah daerah tempat tinggal utama orang-orang Eropa di pinggiran Batavia, Hindia Belanda yang berjarak kurang lebih 10 kilometer dari Batavia lama ke arah selatan. Letaknya kini di sekitar Sawah Besar, Jakarta Pusat yang membentang dari RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah. Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), nama Weltevreden merujuk kepada hampir seluruh daerah Jakarta Pusat sekarang.

Sejarah

Zaman VOC

Pada tahun 1648 pemerintah koloni VOC memberikan sebidang tanah kepada Anthonij Paviljoun. Kemudian Paviljoun mengembangkan rumah-rumah peristirahatan kecil yang dinamainya Weltevreden.

Pemilik tanah Paviljoun berikutnya adalah Cornelis Chastelein, seorang anggota Dewan Hindia (1693). Ia termasuk orang pertama di Indonesia yang berusaha mengembangkan sebuah perkebunan kopi di tengah-tengah kota Jakarta saat itu dengan memanfaatkan budak-budak yang diambilnya dari Bali. Pada 1733, Yustinus Vinck membeli sebagian tanah Weltevreden dan membuka dua pasar besar, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Pada tahun 1735, ia menghubungkan kedua pasar tersebut dengan sebuah jalan, yang sekarang disebut Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih yang juga merupakan jalur penghubung timur-barat pertama di Jakarta Pusat kini.

Rumah yang dibangun Gubernur Jenderal Jacob Mossel dan dibeli Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra

Pemilik berikutnya, Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1704-1761), membangun rumah mewah di tikungan Ciliwung. Mossel juga menggali Kali Lio untuk memudahkan sekoci kecil mengangkut kebutuhan pasar. Pada 1767, rumah Weltevreden dibeli Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra. Tanah itu kemudian dijual kembali pada Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten. Sejak masa itu, Weltevreden menjadi kedudukan resmi gubernur jenderal dan pemerintahannya.

Zaman Hindia Belanda

Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels mendirikan Paleis van Daendels atau disebut juga Het Groote Huis. Istana ini dirancang Kolonel J.C.Schultze, tetapi bangunan ini baru dapat diselesaikan pada 1826 dan 1828 oleh insinyur Tromp atas perintah Pejabat Gubernur Jenderal Du Bus de Ghisignies. Istana yang besar dan megah itu ditempati oleh Departemen Keuangan Hindia Belanda sampai masa pendudukan Jepang, sebelum akhirnya menjadi kantor Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Untuk latihan militer, Daendels mengalokasikan lapangan Buffelsveld (lapangan kerbau) yang kini menjadi Lapangan Monumen Nasional. Lapangan itu juga biasa disebut Champs de Mars. Sesudah masa kuasa sementara Inggris (1818), lapangan itu diberi nama baru lagi, yakni Koningsplein (lapangan raja). Lapangan itu dikelilingi oleh Museum Gajah, Istana Merdeka, serta Stasiun Weltevreden (sekarang Stasiun Gambir). Pada tahun 1821 didirikan di Theater Schouwburg Weltevreden, yang sekarang disebut Gedung Kesenian Jakarta.

Pada tahun 1937, pemerintah kolonial mengesahkan sebuah rencana induk kota Batavia dengan Koningsplein (Lapangan Monas) sebagai pusatnya. Rencana induk itu sendiri merupakan tindak lanjut dari dikukuhkannya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903 dan berbagai ordonansi tentang kewenangan lokal dalam pengaturan kota. Berbagai prasarana kota dalam skala makro pun mulai digarap. Saluran pengendali banjir (banjir kanal) mulai dibangun dari Karet-Tanah Abang terus ke laut. Pembangunan Banjir Kanal telah direncanakan sejak 1870, tidak lama setelah Batavia dilanda banjir besar dan baru selesai pada tahun 1920. Sementara itu, rel kereta api juga mulai dikembangkan. Dimulai dengan jalur tengah dan timur, kemudian ditambah jalur barat melalui Manggarai - Tanah Abang - Duri - Kota.

Referensi