Nama kendaraan ini berasal dari nama penemunya, yaitu Charles Theodore Deeleman, seorang litografer dan insinyur pada masa Hindia Belanda.[1] Orang Belanda sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama dos-à-dos (punggung pada punggung, arti harfiah bahasa Prancis), yaitu sejenis kereta yang posisi duduk penumpangnya saling memunggungi. Istilah dos-à-dos ini oleh penduduk pribumi Batavia disingkat lagi menjadi 'sado'.[2]
Jenis delman
Penamaan delman berasal dari penemunya yakni Charles Theodore Deeleman, seorang insinyur, ahli irigasi yang memiliki bengkel besi di pesisir Batavia (Jakarta sekarang). Penamaan kendaraan yang sama adalah Sado yang berasal dari Bahasa Prancisdos-à-dos yang berarti saling memunggungi. Istilah lain dalam berbagai bahasa daerah cukup beragam yang sebenarnya merujuk pada wujud benda yang sama.
Kahar atau keretek
Bahasa Sunda mengenal istilah kahar dan keretek. Meskipun merujuk pada kendaraan yang sejenis, tempat pijakan penumpang untuk naik pada keretek lebih lebar dibandingkan delman. Pijakan pada delman hanya berukuran cukup untuk satu kaki saja. Selain itu, delman lebih tinggi dari keretek.
Nayor
Nayor adalah variasi bentuk delman, dengan kabin yang lebih tertutup; yang bukan tidak mirip dengan kabin oplet. Nayor hanya dijumpai beroperasi di sekitar kota Cibadak, Sukabumi.
Istilah lain yang dikenal masyarakat adalah Dokar. Sebagian kalangan menyakini nama dokar berasal dari Bahasa Inggrisdog car. Keberadaan dokar sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas tersendiri di tempat-tempat wisata, seperti Parangtritis, Alun-alun Kidul Yogyakarta Indonesia.
Dogcart (atau dog-cart) adalah sebuah kendaraan berkuda ringan yang awalnya didesain untuk kegiatan berburu, dengan sebuah kotak di belakang kursi pengemudi untuk membawa seekor anjing pemburu atau lebih. Kotak tersebut dapat diubah menjadi bangku kedua. Seorang pemuda atau anak kecil yang disebut "tiger" berdiri di balkon bagian belakang kereta untuk membantu atau melayani pengendara.
Bentuk kendaraan berubah dengan cepat pada abad ke-19 sehingga memunculkan berbagai variasi nama untuk jenis yang berbeda. Dog-cart memiliki kesamaan dengan phaeton, yaitu kereta berkuda satu yang sporty dan ringan; curricle, kereta ringan yang tangkas dan ringan serta dapat dinaiki seorang pengendara dan pengemudi, tetapi berkuda dua; chaise atau shay pada tipenya yang beroda dua untuk satu atau dua orang, dengan sebuah bangku belakang dan penutup yang bisa dibuka-tutup; dan cabriolet yang beroda dua dan berkuda satu, serta penutup lipat yang bisa menutupi dua orang (salah satunya adalah si pengemudi).
Berbagai variasi yang lebih baru antara lain:
Kereta dengan satu kuda, biasanya beroda dua dan tinggi, dengan dua bangku melintang yang saling memunggungi. Dalam bahasa Inggrisslang, kendaraan ini disebut "bounder". Di India, kendaraan ini disebut "tumtum".
Versi Prancis memiliki empat roda dan dua bangku yang saling memunggungi sehingga disebut dos-à-dos (bahasa Prancis untuk "saling memunggungi").
Dogcart versi Amerika memiliki empat roda dan sebuah kompartemen untuk membawa binatang hasil buruan.[3]
Andong
Andong merupakan salah satu alat transportasi tradisional di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti Solo dan Klaten. Keberadaan andong sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan tersendiri yang kini masih terus dilestarikan. Walaupun sudah banyak kendaraan bermotor yang lebih cepat dan murah, tetapi pengguna Andong di Yogyakarta ini masih cukup banyak. Andong-andong ini dapat ditemui dengan mudah di sepanjang jalan Malioboro, pasar Ngasem, serta di Kotagede.
Perbedaan andong dengan delman adalah andong memiliki empat roda. Di Jakarta, andong disebut ebro yang diambil dari singkatan Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming (lit. Perusahaan Kereta Pertama di Jakarta).
Bendi
Bendi pernah menjadi transportasi primadona di Minangkabau. Pada masa Kolonial Belanda, bendi sering digunakan oleh saudagar kaya, para penghulu, ataupun petinggi pangrehpraja, seperti controleur, demang, asisten demang, dan lain sebagainya. Bendi juga sering mangkal di Stasiun Simpang Haru untuk menunggu para penumpang yang pulang.[4] Dalam sebuah lagu Minang yang mengiringi tari payung, terdapat lirik “Babendi-bendi ka sungai tanang, singgahlah mamatiak bungo lambayuang”. Lirik tersebut mengisyarakatkan bahwa bendi dulunya merupakan kendaraan tradisional populer masyarakat Minangkabau.[5]
Keberadaan bendi di Kota Padang semakin berkurang karena kalah oleh kehadiran bemo pada tahun 1980-an. Kondisi tersebut diperparah krisis moneter yang terajdi pada tahun 1998.[5] Abdullah Rudolf Smit pada harian Haluan mengatakan bahwa ia merasa gelisah dengan berkurangnya bendi di Kota Padang, sebab alat transportasi tradisional itu seharusnya bisa menjadi potensi yang bisa tergarap secara maksimal, tetapi belum dilakukan oleh pemerintah kota. Keunikan dan orisinalitas bendi bisa mendongkrak jumlah wisatawan asing untuk datang ke Kota Padang dan beberapa daerah lainnya di Sumatera Barat.[4]
Istilah bendi juga digunakan oleh masyarakat Sulawesi Utara.
Sejarah penggunaan delman
Berbeda dengan kendaraan lain seperti mobil, sejak awal hingga sekarang delman sejak awal dibuat dengan bentuk yang sama atau tetap, meskipun ada pula yang menggunakan ban mobil.
Sebagian kusir mengatakan bahwa penggunaan ban mobil lebih bagus untuk jalan yang rata dan berkondisi baik atau penggunaan pada jalan raya. Namun, untuk jalan yang kondisinya kurang baik, lebih baik menggunakan roda delman yang konstruksinya memiliki jari-jari yang lebih besar. Di beberapa daerah terutama di Nusa Tenggara Barat, dikenal dengan Cidomo yakni kependekan dari "Cikar-Dokar-Mobil".
Delman kini digunakan lebih pada angkutan lingkungan yang berjarak tempuh pendek atau di pedesaan yang bersifatnya regional antar kampung. Terlebih saat ini tergusur oleh kehadiran ojeksepeda motor, taksi ataupun angkutan umum bermotor lainnya seperti bajaj dan bemo. Meskipun demikian, pada beberapa kawasan terutama kawasan wisata, Delman diizinkan beroperasi dengan mengikuti aturan kebersihan perkotaan seperti penampung kotoran kuda. Untuk tujuan tersebut, Delman diberi nomor seperti halnya pada penomoran kendaraan bermotor yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Setempat.
Dalam sejarah, tercatat pada masa Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, Delman digunakan sebagai angkutan antar kota, terutama sebelum kereta api dan kendaraan bermotor lainnya beroperasi di Indonesia. Tercatat pada tahun 1885, Forbes pernah menyewa delman untuk perjalanan dari Bogor menuju Bandung dengan biaya enam belas gulden yang ditempuh selama tiga belas jam perjalanan.