Masjid Assalafiyah (Arab: السلفية as-Salafiyyah) atau Masjid Pangeran Jayakarta adalah masjid jami peninggalan Pangeran Jayakarta (Achmad Jakerta) yang dibangun mulai tahun 1620. Letaknya di Jalan Jatinegara Kaum, Klender, Jakarta Timur, Provinsi DKI. Di kompleks masjid ini, terdapat makam Pangeran Jayakarta, kerabat, dan anaknya.
Etimologi
Masjid Jami Assalafiyah terdiri dari beberapa kata dalam bahasa Arab. "Masjid" adalah tempat peribadatan kaum muslim. "Jami" artinya besar.
"Assalafiyah" berasal dari kata "salaf" adalah kependekan dari "Salaf al-Ṣāliḥ" (Arab: السلف الصالح), yang artinya "pendahulu yang saleh". Dalam sejarah Islam, "pendahulu yang saleh" ini merujuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim, yaitu sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Ketiga generasi inilah dianggap sebagai contoh terbaik dalam menjalankan syariat Islam. Sedangkan "yah" berarti pengikut. Sehingga, artinya "pengikut para pendahulu yang saleh".
Sejarah
Dulu, ketika Pangeran Pangeran Sungerasa Jayawikarta memimpin peperangan melawan Belanda di wilayah yang sekarang disebut Jakarta, ia memiliki benteng pertahanan di kawasan Tiang Bendera, Kota. Namun di tengah-tengah pertempuran, Pangeran Sungerasa dipanggil untuk kembali ke Kesultanan Banten. Akhirnya, anaknya, yaitu Pangeran Jayakarta yang menggantikannya di medan perang Jakarta.[1]
Berbeda dengan ayahnya, Pangeran Jayakarta membangun benteng pertahanan di kawasan Mangga Dua. Suatu waktu, salah satu anak buahnya tertangkap oleh pihak VOC Belanda. Ia dipaksa memberi tahu kelemahan pimpinannya. Tidak kuat disiksa, ia pun akhirnya membuka mulut.
Belanda yang sudah mengantongi kelemahan-kelemahan Pangeran Jayakarta semakin merasa percaya diri. Mereka beberapa kali menyerang. Lalu pada 30 Mei 1619, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619 berhasil membobol benteng yang sebelumnya kokoh itu. Pangeran Jayakarta dan sisa prajuritnya terpukul mundur dan kabur ke arah timur.
Tanpa kasihan, VOC membumihanguskan Jayakarta, termasuk keraton dan Masjid Kesultanan yang berdiri megah di sekitar kawasan yang kini dikenal sebagai Hotel Omni Batavia.[2]
Dalam perjalanannya menyelamatkan diri, Pangeran Jayakarta melepas jubah dan serban yang selalu dikenakannya dan melemparkan ke dalam sebuah sumur di Kawasan Mangga Dua. Tujuannya, mengelabui Pasukan Belanda yang terus mengejarnya.
Tipuan itu berhasil, prajurit Belanda menemukan sumur itu. Mereka segera berpikir bahwa Pangeran Jayakarta bersembunyi di bawah sana. Mereka pun segera memberondongkan peluru ke perut sumur. Sejak itulah, Belanda merasa telah membunuh Pangeran Jayakarta.
Padahal, Pangeran Jayakarta bersama pengikut-pengikutnya berhasil melarikan diri ke wilayah yang kini dikenal sebagai Jatinegara Kaum, membuka daerah baru, dan pada 1620 mendirikan masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Jami Assalafiyah. Waktu itu, masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan juga tempat menyusun strategi bagi Pangeran Jayakarta dan pasukannya.
Putranya, Pangeran Senapati, diperintahkan untuk pergi sejauh mungkin dari Jayakarta untuk menghindari kejaran Belanda sekaligus menyebarkan ajaran Islam ke luar Jayakarta, pada akhirnya menetap di wilayah Cibarusah, Kabupaten Bekasi, dan mendirikan Sebuah masjid yang di kemudian hari menjadi pusat perjuangan pasukan Hisbullah melawan penjajahan Belanda di Bekasi. Masjid tersebut kini bernama Masjid Al-Mujahidin Cibarusah.
Pada 1640, Pangeran Jayakarta wafat dan dimakamkan di area masjid yang dibangunnya ini.
Masjid Assalafiyah Hari Ini
Masjid Assalafiyah telah beberapa kali direnovasi dan diperluas. Tetapi beberapa bagian masjid masih tetap dipertahankan sesuai dengan bangunan awalnya, seperti empat tiang yang ada di depan.
Sejak tahun 1993, Masjid Assalafiyah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur nomor 475 tahun 1993.
Menurut Kementerian Agama Republik Indonesia,[3] saat ini Masjid Assalafiyah berdiri di atas tanah seluas 7.000 m2 dengan luas bangunan 450 m2. Daya tampung jemaahnya 800 orang, dan jumlah pengurusnya 25 orang.
Referensi