Jumlah penutur beserta (jika ada) metode pengambilan, jenis, tanggal, dan tempat.[2]
ace
achi1257
0001 2
Aceh diklasifikasikan sebagai bahasa aman ataupun tidak terancam (NE) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan
Bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Aceh yang terdapat di wilayah pesisir, sebagian pedalaman dan sebagian kepulauan di Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.[7]
Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rade dan 6 bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamic.
Bahasa Aceh tersebar terutama di wilayah pesisir Aceh. Bahasa ini dituturkan mulai dari Manyak Payed, Aceh Tamiang di pesisir timur sampai ke Trumon, Aceh Selatan di pesisir barat.
Pada tahun 1931 pemerintah Hindia Belanda di Aceh menghendaki supaya bahasa Aceh dipergunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, di samping bahasa Melayu yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Namun para cendikiawan Aceh yang di antaranya terdiri dari beberapa tokoh ulee balang tidak menyetujui maksud pemerintah Hindia Belanda tersebut. Para cendikiawan Aceh menganggap usaha pemerintah itu akan mencegah berkembangnya bahasa Melayu di Aceh. Dengan demikian akan menghambat rakyat Aceh untuk mengerti bahasa tersebut yang amat diperlukan bagi pengembangan ekonomi mereka, dan dalam berhubungan dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Tetapi pemerintah Hindia Belanda di Aceh tetap bersikeras untuk melaksanakan rencana itu. Maka pada tanggal 1 Juli 1932, pemerintah Hindia Belanda menetapkan secara resmi pemakaian bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat sebagai pengganti bahasa Melayu kecuali di beberapa daerah yang tidak dihuni oleh etnis Aceh.
Meskipun bahasa Aceh telah ditetapkan sebagai bahasa pengantar sejak tanggal l Juli 1932, tetapi bahasa Melayu pada beberapa sekolah masih tetap digunakan. Menurut laporan umum pemerintah Hindia Belanda tentang pendidikan di Aceh pada tahun 1933 dan tahun 1934, masih terdapat 88 buah sekolah rakyat yang berada di kota-kota besar di Aceh yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, dan yang lainnya (sebanyak 207 buah) telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar. Sekolah yang telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar yaitu Langsa 16 sekolah, Lhok Seumawe 60 sekolah, Sigli 42 sekolah, Kutaraja 42 sekolah, Meulaboh 30 sekolah dan Tapak Tuan 17 sekolah. Sedangkan sekolah-sekolah yang tetap menggunakan bahasa Melayu yaitu Langsa 38 sekolah, Lhok Seumawe 5 sekolah, Sigli 6 sekolah, Kutaraja 7 sekolah, Meulaboh 1 sekolah dan Tapak Tuan 34 sekolah.
Menurut J. Jongejans yang menjabat sebagai residen di Aceh sejak 5 Maret 1936 hingga bulan September 1938, pada tahun 1939 dari 328 buah jumlah sekolah rakyat yang terdapat di seluruh Aceh, 210 buah di antaranya telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa bantu/pengantar di sarnping bahasa Melayu.[8]
Sampai saat ini manuskrip berbahasa Aceh tertua yang dapat ditemukan berasal dari tahun 1069 H (1658/1659 M) yaitu Hikayat Seuma'un.[9]
Sebelum penjajahan Belanda (1873–1942), hampir semua literatur berbahasa Aceh berbentuk puisi dalam bentuk hikayat atau nazam. Sedikit sekali yang berbentuk prosa dan salah satunya adalah Kitab Bakeu Meunan yang merupakan terjemahan kitab Qawaa'id al-Islaam.[10]
Setelah kedatangan Belanda barulah muncul karya tulis berbahasa Aceh dalam bentuk prosa yaitu pada tahun 1930-an, seperti Lhee Saboh Nang yang ditulis oleh Aboe Bakar dan De Vries.[11] Setelah itu barulah bermunculan berbagai karya tulis berbentuk prosa namun demikian masih tetap didominasi oleh karya tulis berbentuk hikayat.
Ensiklopedia pertama dalam bahasa Aceh yaitu Wikipedia bahasa Aceh diluncurkan pada 12 Agustus 2009.[12][13]
Terjemah Al-Quran berbahasa Aceh dalam bentuk prosa diterbitkan oleh Kementerian Agama pada tanggal 13 Desember 2018.[14]
Sampai saat ini belum ada surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa Aceh. Pada tahun 2020 diluncurkan majalah berbahasa Aceh untuk pertama kalinya, yaitu Majalah Neurôk. Penerbitan ini digagas oleh seorang budayawan Aceh yaitu Ayah Panton.[15]
Google Translate menambahkan fitur terjemahan bahasa Aceh pada 27 Juni 2024.[16]
Berikut adalah fonem-fonem bahasa Aceh.
Vokal biasanya berada di pasangan mulut/sengau, meskipun hanya ada tiga vokal sengau pertengahan dan ada vokal oral pertengahan yang jumlahnya dua kali lebih banyak. /ʌ/ tidak benar-benar di tengah, meskipun ditampilkan di sini karena alasan estetika. Demikian pula, /ɨ/ juga ditampilkan sebagai ([ɯ] yang lebih ke belakang.[butuh rujukan] Selain vokal monoftong di atas, bahasa Aceh juga memiliki 5 diftong oral, masing-masing dengan pasangan sengau:[17]
/s/ adalah alveodental laminal. /ʃ/ secara teknis berupa post-alveolar tetapi dikelompokkan dalam kolom langit-langit untuk alasan estetika.
Bahasa Aceh telah mengalami berulang kali perubahan ejaan, mulai penggunaan huruf Arab, huruf Latin ejaan lama, dan sekarang adalah Ejaan Yang Disempurnakan. Berikut adalah pedoman ejaannya:[19][20]
Huruf vokal sengau:
Pada awalnya, bahasa Aceh menggunakan aksara Arab yang disebut dengan "jawoe" atau aksara Jawi dalam bahasa Melayu. Sejak kolonialisasi Belanda, bahasa Aceh menggunakan aksara Latin dengan penambahan huruf é, è, ë, ö, dan ô. Bunyi /ɨ/ dilambangkan oleh "eu" dan bunyi /ʌ/ diwakilkan oleh "ö". Huruf f, q, v, x, dan z hanya digunakan dalam kata serapan.
Berikut adalah daftar beberapa karya sastra terkenal dalam bahasa Aceh:
1 Kreol • 2 Bahasa isyarat • 3 Bahasa isolat • 4 Bahasa Pidgin • 5 Tidak diklasifikasikana juga dituturkan di Malaysia dan/ Brunei Darussalam. • b juga dituturkan di Timor Leste, Papua Nugini dan/ negara-negara Oseania lainnya. Italik: Bahasa punah atau bahasa mati. *Catatan: Kalimantan dan Papua di sini hanya yang termasuk dalam teritori Indonesia.