Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman iniKlasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Beberapa rumpun bahasa dimasukkan sebagai cabang dari dua rumpun bahasa yang berbeda. Untuk lebih lanjutnya, silakan lihat pembagian dari sub-rumpun Melayu-Sumbawa dan Kalimantan Utara Raya
Bahasa Aceh dikategorikan sebagai C6b Threatened menurut SIL Ethnologue, artinya bahasa ini mulai terancam dan mengalami penurunan jumlah penutur dari waktu ke waktu
Bandum ureuëng lahé deungon meurdéhka, dan deungon martabat dan hak njang saban. Ngon akai geuseumiké, ngon haté geumeurasa, bandum geutanjoë lagèë sjèëdara. Hak dan keumuliaan.
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.
Cari artikel bahasaCari berdasarkan kode ISO 639 (Uji coba)Kolom pencarian ini hanya didukung oleh beberapa antarmuka
Halaman bahasa acak
Bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Aceh yang terdapat di wilayah pesisir, sebagian pedalaman dan sebagian kepulauan di Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.[7]
Penggolongan
Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rade dan 6 bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamic. Bahasa-bahasa lainnya yang juga berkerabat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.
Persebaran
Bahasa Aceh tersebar terutama di wilayah pesisir Aceh. Bahasa ini dituturkan mulai dari Manyak Payed, Aceh Tamiang di pesisir timur sampai ke Trumon, Aceh Selatan di pesisir barat.
Pada tahun 1931 pemerintah Hindia Belanda di Aceh menghendaki supaya bahasa Aceh dipergunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, di samping bahasa Melayu yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Namun para cendikiawan Aceh yang di antaranya terdiri dari beberapa tokoh ulee balang tidak menyetujui maksud pemerintah Hindia Belanda tersebut. Para cendikiawan Aceh menganggap usaha pemerintah itu akan mencegah berkembangnya bahasa Melayu di Aceh. Dengan demikian akan menghambat rakyat Aceh untuk mengerti bahasa tersebut yang amat diperlukan bagi pengembangan ekonomi mereka, dan dalam berhubungan dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Tetapi pemerintah Hindia Belanda di Aceh tetap bersikeras untuk melaksanakan rencana itu. Maka pada tanggal 1 Juli 1932, pemerintah Hindia Belanda menetapkan secara resmi pemakaian bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat sebagai pengganti bahasa Melayu kecuali di beberapa daerah yang tidak dihuni oleh etnis Aceh.
Meskipun bahasa Aceh telah ditetapkan sebagai bahasa pengantar sejak tanggal l Juli 1932, tetapi bahasa Melayu pada beberapa sekolah masih tetap digunakan. Menurut laporan umum pemerintah Hindia Belanda tentang pendidikan di Aceh pada tahun 1933 dan tahun 1934, masih terdapat 88 buah sekolah rakyat yang berada di kota-kota besar di Aceh yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, dan yang lainnya (sebanyak 207 buah) telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar. Sekolah yang telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar yaitu Langsa 16 sekolah, Lhok Seumawe 60 sekolah, Sigli 42 sekolah, Kutaraja 42 sekolah, Meulaboh 30 sekolah dan Tapak Tuan 17 sekolah. Sedangkan sekolah-sekolah yang tetap menggunakan bahasa Melayu yaitu Langsa 38 sekolah, Lhok Seumawe 5 sekolah, Sigli 6 sekolah, Kutaraja 7 sekolah, Meulaboh 1 sekolah dan Tapak Tuan 34 sekolah.
Menurut J. Jongejans yang menjabat sebagai residen di Aceh sejak 5 Maret 1936 hingga bulan September 1938, pada tahun 1939 dari 328 buah jumlah sekolah rakyat yang terdapat di seluruh Aceh, 210 buah di antaranya telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa bantu/pengantar di sarnping bahasa Melayu.[8]
Literatur
Sampai saat ini manuskrip berbahasa Aceh tertua yang dapat ditemukan berasal dari tahun 1069 H (1658/1659 M) yaitu Hikayat Seuma'un.[9]
Sebelum penjajahan Belanda (1873–1942), hampir semua literatur berbahasa Aceh berbentuk puisi dalam bentuk hikayat atau nazam. Sedikit sekali yang berbentuk prosa dan salah satunya adalah Kitab Bakeu Meunan yang merupakan terjemahan kitab Qawaa'id al-Islaam.[10]
Setelah kedatangan Belanda barulah muncul karya tulis berbahasa Aceh dalam bentuk prosa yaitu pada tahun 1930-an, seperti Lhee Saboh Nang yang ditulis oleh Aboe Bakar dan De Vries.[11] Setelah itu barulah bermunculan berbagai karya tulis berbentuk prosa namun demikian masih tetap didominasi oleh karya tulis berbentuk hikayat.
Media massa
Sampai saat ini belum ada surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa Aceh. Pada tahun 2020 diluncurkan majalah berbahasa Aceh untuk pertama kalinya, yaitu Majalah Neurôk. Penerbitan ini digagas oleh seorang budayawan Aceh yaitu Ayah Panton.[12]
Vokal biasanya berada di pasangan mulut/sengau, meskipun hanya ada tiga vokal sengau pertengahan dan ada vokal oral pertengahan yang jumlahnya dua kali lebih banyak. /ʌ/ tidak benar-benar di tengah, meskipun ditampilkan di sini karena alasan estetika. Demikian pula, /ɨ/ juga ditampilkan sebagai ([ɯ] yang lebih ke belakang.[butuh rujukan]
Selain vokal monoftong di atas, bahasa Aceh juga memiliki 5 diftong oral, masing-masing dengan pasangan sengau:[13]
'O 'o pengucapannya sengau; contohnya: ma’op (hantu/untuk menakuti anak-anak)
Sistem penulisan
Pada awalnya, bahasa Aceh menggunakan aksara Arab yang disebut dengan "jawoe" atau aksara Jawi dalam bahasa Melayu. Sejak kolonialisasi Belanda, bahasa Aceh menggunakan aksara Latin dengan penambahan huruf é, è, ë, ö, dan ô. Bunyi /ɨ/ dilambangkan oleh "eu" dan bunyi /ʌ/ diwakilkan oleh "ö". Huruf f, q, v, x, dan z hanya digunakan dalam kata serapan.
^Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Aceh". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.Pemeliharaan CS1: Tampilkan editors (link)
Al-Harbi, Awwad Ahmad Al-Ahmadi (1991). "Arabic Loanwords in Acehnese". Dalam Bernard Comrie; Mushira Eid. Perspectives on Arabic Linguistics: Papers from the Annual Symposium on Arabic Linguistics. Volume III: Salt Lake City, Utah 1989. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. ISBN9789027277893.
Durie, Mark (1985a). A Grammar of Acehnese: On the Basis of a Dialect of North Aceh. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 112. Dordrecht, Belanda dan Cinnaminson, AS: Foris Publications. ISBN9067650749.
Durie, Mark (1985b). "Control and Decontrol in Acehnese". Australian Journal of Linguistics. 5 (1): 43–53. doi:10.1080/07268608508599335.
Durie, Mark (1987). "Grammatical Relations in Acehnese". Studies in Language. 11 (2): 365–399. doi:10.1075/sl.11.2.05dur.
Durie, Mark (1990). "Proto-Chamic and Acehnese Mid Vowels: Towards Proto-Aceh-Chamic". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 53 (1): 100–114. JSTOR618972.
Durie, Mark (1995). "Acehnese". Dalam Darrel T. Tryon. Comparative Austronesian Dictionary: An Introduction to Austronesian Studies. Part 1: Fascicle 1. Trends in Linguistics. Documentation. 10. Berlin: De Gruyter Mouton. hlm. 407–420. ISBN978-3-11-088401-2.
Lawler, John M. (1977). "A Agrees with B in Achenese: A Problem for Relational Grammar". Dalam Peter Cole; Jerrold M. Sadock. Grammatical Relations. Syntax and Semantics. 8. New York: Academic Press. hlm. 219–48. doi:10.1163/9789004368866_010.
Lawler, John M. (1988). "On the Questions of Acehnese 'Passive'". 64 (1): 114–117. doi:10.2307/414789.
Legate, Julie Anne (2012). "Subjects in Acehnese and the Nature of the Passive". Language. 88 (3): 495–525. doi:10.1353/lan.2012.0069.
Legate, Julie Anne (2014). Voice and V: Lessons from Acehnese. Cambridge: MIT Press. ISBN978-0-262-52660-9.
Sidwell, Paul (2005). "Acehnese and the Aceh-Chamic language family"(PDF). Dalam Anthony Grant; Paul Sidwell. Chamic and Beyond: Studies in Mainland Austronesian Languages. Pacific Linguistics. 569. Pacific Linguistics, The Australian National University. hlm. 211–246.
Sidwell, Paul (2006). "Dating the Separation of Acehnese and Chamic by Etymological Analysis of the Aceh-Chamic Lexicon". Mon-Khmer Studies. 36: 187–206. doi:10.15144/MKSJ-36.187.
Sidwell, Paul (2010). "What Can the Mon-Khmer Lexical Borrowings in Acehnese Tell Us?". Dalam John Bowden; Nikolaus P. Himmelmann; Malcolm Ross. A Journey Through Austronesian and Papuan Linguistic and Cultural Space: Papers in Honour of Andrew K. Pawley. Pacific Linguistics. 615. Pacific Linguistics, The Australian National University. hlm. 271–282. doi:10.15144/PL-615.271.
Stokhof, W. A. L. (1988). "A Modern Grammar of Acehnese: Some Critical Observations". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 144 (2/3): 323–350. JSTOR27863951.
Stokhof, W. A. L. (1992). "On Nasality in Acehnese". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 148 (2): 247–261. JSTOR27864352.
Yusuf, Yunisrina Qismullah; Pillai, Stefanie (2016). "An Instrumental Study of Oral Vowels in the Kedah Variety of Acehnese". Language Sciences. 54: 14–25. doi:10.1016/j.langsci.2015.09.001.