Batak Mandailing merupakan salah satu kelompok etnik pribumi yang menghuni daerah selatan Provinsi Sumatera Utara. Mereka pernah berada di bawah pengaruh Kaum Padri dari Minangkabau, sehingga secara kultural etnis ini dipengaruhi oleh budaya agama Islam.[2] Sebagian kecil etnis ini juga bermukim di Selangor dan Perak, Semenanjung Malaysia.
Etimologi
Secara etimologi, nama Mandailing berasal dari kata "Mandala Holing", yakni sebuah federasi yang pernah hadir di daerah Tapanuli Selatan pada abad ke-12. Kata ini tertera dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga). Sebagian sosiolog juga berpendapat bahwa asal kata Mandailing berasal dari kata "mande hilang" dari bahasa Minangkabau yang berarti "ibu yang hilang".[3]
Sejarah
Dalam catatan Serat Tembaga Kalinga, bahwa dahulu di abad ke-12 pernah berdiri sebuah kerajaan di daerah Mandailing yang merupakan salah satu dari federasi Kerajaan Kalingga. Wilayah kerajaan tersebut terbentang dari Portibi hingga ke Panyabungan. Dalam Kitab Nagarakertagama karya Empu Prapañca disebutkan bahwa ekspedisi Majapahit telah mencapai wilayah Mandailing pada tahun 1365.[4]
Pemukiman pertama etnis Mandailing diperkirakan berada di sepanjang Sungai Batang Gadis, yang berhulu di Gunung Kulabu dan bermuara di Samudra Hindia. Hal ini juga berdasarkan riwayat marga-marga di Mandailing yang mengaitkan kehidupan nenek moyang mereka di sungai ini. Seperti marga Lubis yang merupakan keturunan Si Baitang dan Silangkitang, serta marga Nasution yang berasal dari Si Baroar. Begitu juga dengan riwayat marga Rangkuti dan Pulungan yang menyatakan bahwa asal mereka dari hilir Sungai Batang Gadis. Kelompok-kelompok masyarakat ini dipimpin oleh kepala etnis yang bersifat otonom, sehingga mereka memiliki aturan adat masing-masing.[5] Di kawasan Mandailing Julu, banyak bermukim dan menjadi tempat asal marga Lubis, sedangkan di kawasan Mandailing Godang dihuni oleh kelompok marga Nasution, Rangkuti, dan Pulungan.
Pada paruh pertama abad ke-19, Perang Padri berkecamuk di Sumatera Barat. Perang ini dipimpin oleh kelompok ulama puritan yang kemudian melakukan invasi ke wilayah Mandailing, hingga ke tepian Danau Toba. Akibat serangan itu, banyak masyarakat Mandailing yang dibawa dan dipekerjakan di Pasaman. Sebagian masyarakat lainnya ada yang bermigrasi ke Riau, hingga ke Semenanjung Malaya.[2] Di Semenanjung Malaya, kelompok masyarakat Mandailing dipimpin oleh Raja Asal, dan keponakannya Raja Bilah. Bersama dengan Sutan Puasa, mereka terlibat dalam Perang Klang antara tahun 1866—1873.[6]
Setelah Belanda berhasil menaklukkan pasukan Padri, wilayah Mandailing dimasukkan ke dalam bagian administrasi Sumatra's Westkust yang berpusat di Padang.[7] Di pertengahan abad ke-19, Belanda mendirikan benteng pertahanan di Singengu dan Kotanopan. Hingga pendudukan Jepang, Belanda hanya menempatkan seorang kontroler di Mandailing, yakni di Kotanopan.
Masyarakat Mandailing hampir seluruhnya memeluk agama Islam yang mendapatkan pengaruh dari Kaum Padri pada abad ke-19.[8] Seperti halnya mayoritas masyarakat Nusantara, etnis ini menganut mazhab Syafi'i.
Sebagian kecil masyarakat Mandailing ada juga yang memeluk agama Kristen. Ajaran agama Kristen di wilayah Mandailing pertama berada di daerah Pakantan yang dibawa oleh penginjil dari Swiss dan Rusia pada tahun 1821. Oleh karenanya, gereja tertua di Tapanuli terletak di Huta Bargot. Masyarakat Kristen Mandailing saat ini hanya sekitar ± 1%, dan hampir semua masyarakat Mandailing Kristen bersinode di Gereja Kristen Protestan Angkola, yang bersamaan dengan masyarakat Batak Angkola yang beragama Kristen. Hal ini dikarenakan ada beberapa kesamaan budaya antara Angkola dan Mandailing yang memungkinkan orang-orang Angkola dan Mandailing Kristen berada di bawah sinode Gereja yang sama.
Kontroversi
Pelabelan Batak terhadap etnis Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh sebagian orang dari etnis ini. Beberapa orang menganggap etnis Mandailing memiliki ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, serta kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan Batak. Meski sebagian masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak.[9]
^Abbas Pulungan, Perkembangan Islam di Mandailing, 2007
^Abdul-Razzaq Lubis and Khoo Salma Nasution. Raja Bilah and the Mandailings in Perak: 1875–1911. Kuala Lumpur: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (MBRAS), 2003
Mangaradja Ihoetan (1926), Asal-Oesoelnja Bangsa Mandailing: Berhoeboeng dengan perkara tanah Wakaf bangsa Mandailing, di Soengei Mati - Medan, Sjarikat Tapanoeli
Syahmerdan Lubis gelar Baginda Raja Muda (1997), Adat Hangoluan Mandailing, Tapanuli Selatan, S. Lubis, OCLC6169347
Zulkifli Lubis; Enni Syarifah Hrp; Lizar Andrian; Naga Sakti Harahap; Septian H. Lubis (2012), Kearifan Lokal Masyarakat Mandailing Dalam Tata Kelola Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sosial, Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, ISBN6-0294-5723-3Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)