Di antara tahun 1831 hingga 1872, lebih dari tiga ribu orang Afrika direkrut dari Pantai Emas Belanda untuk dijadikan sebagai tentara kolonial di Hindia Belanda. Perekrutan ini sebenarnya sebuah langkah darurat karena Belanda sendiri telah kehilangan ribuan orang tentara yang berasal dari Eropa dan puluhan ribu tentara pribumi dalam Perang Jawa yang dilaksanakan untuk menentang Diponegoro. Belanda mengikuti langkah kekuatan kolonial lain pada saat itu, seperti Britania Raya dan Prancis yang merekrut anggota dari Afrika untuk bertempur di tanah-tanah jajahan yang lain. Secara umum, anggota tentara asing tidak mungkin bersimpati dengan penduduk asli dalam perlawanan mereka dengan kekuasaan penjajah. Dalam kasus tentara yang direkrut dari Afrika dan KNIL, hampir semua anggota direkrut dari kalangan budak. Perekrutan berakhir pada tahun 1872 setelah Elmina diserahkan kepada Britania Raya dalam Perjanjian Sumatra 1871.
Beberapa orang dari Afrika bisa pulang ke negara asalnya di Afrika Barat setelah selesai melakukan peperangan, tetapi sebagian besar juga menetap di Hindia Belanda setelah menikah dengan wanita setempat. Keturunan mereka dianggap sebagai masyarakat Indo-Eropa. Setelah Perang Dunia Kedua dan kemerdekaan Hindia Belanda sebagai negara Indonesia, kebanyakan dari mereka pindah ke Belanda.
Sejarah
Di antara tahun 1831 hingga 1872 diperkirakan sebanyak 3.000 dari Afrika Barat,[3] yang sebagiannya secara sukarela dan sebagian lainnya disebarkan, telah dibawa ke Jawa untuk bertempur dengan KNIL. Dalam Perang Jawa, Belanda telah kehilangan ribuan anggota tentara Eropa[4] mereka dan lebih banyak lagi untuk tentara pribumi mereka. Kemerdekaan Belgia dari Belanda pada tahun 1830 juga mengakibatkan berkurangnya jumlah penduduk Belanda, sehingga membuat Belanda lebih sulit mengganti kerugian jiwa daripada sebelumnya. Sebaliknya, untuk memastikan kesetiaan tentara pribumi, mereka ingin jumlah tentara pribumi dalam militer dibatasi menjadi setengah dari jumlah total kekuatan.[4] Mereka juga berharap tentara Afrika akan lebih tahan dengan iklim dan penyakit tropis di Hindia Belanda dibandingkan dengan tentara yang didatangkan dari Eropa.[4] Belanda mendapatkan inspirasi untuk merekrut tentara dari Afrika melalui resimen Hindia Barat Britania yang dibentuk untuk mengontrol pemberontakan budak-budak yang bekerja di Karibia.[5] Pegawai-pegawai Belanda yang berada di Suriname dan Hindia Barat Belanda berkesempatan untuk menyaksikan aksi dari resimen tentara Hindia Barat Britania dan kagum dengan kemampuan mereka. Peneliti Belanda, Ineke van Kessel, menuliskan bahwa pihak Belanda juga terpengaruh dengan laporan positif dari Mayor Charles Hamilton Smith, seorang pejabat Inggris yang lahir di Antwerpen sebagai Karel de Smet, yang juga kenalan pribadi anggota kerajaan Belanda.[6] Pada tahun 1831, Gubernur J. Last di Elmina diperintahkan untuk merekrut sebuah kompeni tentara sebanyak 150 orang Afrika dan diberangkatkan untuk bertempur di Hindia Belanda.
Dalam Bahasa Melayu mereka dipanggil "Orang Belanda Hitam" karena menggunakan nama panggilan Belanda (Johannes, Mozes dan lain-lain) dan juga karena mereka merasa lebih unggul terhadap anggota tentara pribumi yang berasal dari pulau Jawa dan Ambon.[7] Ini karena kenyataan bahwa mereka direkrut ke dalam tentara penjajah sebagai orang Eropa.[4][note 1] Alasan untuk pernyataan ini mungkin untuk menghindari semua kaitan kepada asal usul perbudakan mereka. Mereka direkrut terutama di bekas koloni Belanda di Pantai Guinea, yaitu di St. George d'Elmina (sekarang terletak di Ghana) oleh seorang wakil dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda, namun sebagian lagi dibeli di pasar budak di Kumasi.[4] Sebagian kecil juga berasal dari tempat yang lebih jauh lagi, yaitu dari kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai Burkina Faso, Mali, Niger, Pantai Gading, dan Benin.[8][9] Setelah tanah jajahan ini diserahkan kepada Inggris pada tanggal 6 April 1872 dalam Perjanjian Sumatra 1871, wilayah depot ini ditutup dan keterlibatan warga Afrika Barat dalam tentara Hindia Belanda dihentikan secara bertahap.[4]
Perekrutan orang Afrika ke dalam tentara kolonial Belanda terjadi dalam tiga fase: fase awal (1831-1836), fase perekrutan besar-besaran (1837-1841), dan fase perekrutan kecil-kecilan mulai akhir tahun 1850-an.
Latar belakang
Pada waktu transisi dari tahun 1806 sampai 1816 selama Perang Napoleon, Inggris mengambil alih administrasi beberapa jajahan Hindia Belanda termasuk Jawa untuk sementara waktu hingga kekuasaan Belanda dapat dipulihkan. Pada tahun 1824, Perjanjian Inggris-Belanda memutuskan untuk menyerahkan daerah kekuasaan Belanda di Malaka, Semenanjung Malaya, dan jajahan-jajahannya di Hindia kepada Inggris sebagai pertukaran untuk penempatan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai gugusan kepulauan Indonesia modern, seperti Bengkulu di Sumatra. Batas-batas wilayah antara daerah jajahan Malaya Britania dan Hindia Belanda tetap hingga hari ini sebagai perbatasan antara Malaysia dan Republik Indonesia. Ibu kota Hindia Belanda pada waktu itu, Batavia (Betawi) yang kini dikenal sebagai Jakarta, masih tetap sebagai ibu kota Indonesia.
Sepanjang sejarah Serikat Dagang Hindia Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie, atau VOC) dan Hindia Belanda, penguasaan Belanda terhadap wilayah-wilayah di kepulauan Hindia Belanda tidak begitu besar. Belanda hanya dapat menguasai semua wilayah yang ada di perbatasan Indonesia modern pada awal abad ke-20. Meskipun pulau Jawa dikuasai oleh Belanda selama hampir 350 tahun melalui VOC dan Kerajaan Belanda, masih banyak wilayah termasuk Aceh, Lombok, dan Kalimantan yang belum terjajah pada abad ke-19.[10]
Seluruh gugusan pulau ini menghadapi perang dan gangguan akibat upaya perluasan penguasaan Belanda. Usaha ini ditentang hebat oleh berbagai kelompok masyarakat pribumi Indonesia dan cukup untuk melemahkan dominasi Belanda dan tentaranya.[11] Pada abad ke-17, VOC menggunakan senjata-senjata tercanggih dengan bantuan tentara bayaran dari suku Bugis (dari Sulawesi) dan suku Ambon (dari Maluku) untuk memperluas dan melindungi kepentingan perdagangannya di seluruh Nusantara. Beberapa pertempuran panjang yang dialami Belanda termasuk Perang Padri di Sumatra (1821-38), Perang Jawa (1825-30) yang diluncurkan oleh Pangeran Diponegoro, dan Perang Aceh yang berlangsung selama kurang lebih 30 tahun.
Perekrutan tentara dari Afrika
Pada tahun 1831, pemerintah Belanda memutuskan untuk merekrut tentara dari koloni Belanda di Afrika Barat, dan pada tahun 1836, 88 orang tentara Afrika tiba di Hindia Belanda. Sementara itu, pemerintah Belanda memutuskan untuk melakukan perekrutan besar-besaran dengan meminta bantuan sekutu lama mereka, Raja Ashanti.[12] Untuk itu, pada musim gugur tahun 1836, Mayor Jenderal J. Verveer dipercayakan dengan misi untuk membujuk Raja Ashanti.[13] Setelah ia tiba di Elmina pada 1 November 1836, ia meninggalkan tempat itu bersama dengan rombongan sekitar 900 orang (sebagian besar terdiri dari kuli yang membawa barang-barang dan suvenir) menuju ibu kota Kekaisaran Ashanti, yaitu Kumasi. Setelah negosiasi yang panjang, Verveer menandatangani perjanjian untuk perekrutan orang Afrika dengan Raja Kwaku Dua.[12] Sebuah depot didirikan di Elmina untuk memudahkan perekrutan yang diatur dan dikelola oleh J. Huydecoper, seorang pejabat pemerintah Belanda keturunan campuran Belanda-Afrika dari Elmina.[14] Kwaku Dua juga mengirim dua putra keluarga kerajaan, bernama Kwasi Boachi dan Kwame Poku, untuk pergi bersama dengan Verveer untuk menjalani pendidikan di Belanda. Penulis novel Arthur Japin menulis tentang mereka dalam karya romannya yang berjudul De zwarte met het Witte hart ("Si Hitam dengan hati yang putih") yang diterbitkan pada tahun 1997.[15]
Karena pada saat itu Inggris telah menghapuskan perbudakan, perekrutan harus dilakukan dengan hati-hati. Raja Ashanti menyediakan hamba sahaya dan tawanan perang dari daerah sekitar, yang kemudian menerima panjar untuk membeli kebebasan diri mereka sendiri dan secara resmi keluar dari perbudakan. Namun, tekad ini mereka bayar lagi melalui gaji mereka selama menjabat sebagai tentara Belanda, yang mereka bergabung secara nominalnya sebagai anggota sukarela.[4] Bantahan Inggris pada tahun 1842 menyebabkan penghentian sementara untuk perekrutan yang cukup sukses itu. Pada tahun 1855, perekrutan dilanjutkan dikarenakan pengalaman yang positif dengan tentara Afrika di Hindia Belanda, dan kali ini perekrutan dengan tegas hanya bersifat sukarela. Sebagian berhasil bergabung karena alasan ini, tetapi tidak banyak yang tertarik. Hanya pada tahun 1860 barulah detasemen pertama berhasil dikirimkan ke Jawa, dan setelah itu ada ratusan tentara hasil rekrutan lagi yang menyusul detasemen pertama.[4]
Ekspedisi ke Aceh
Pada awal abad ke-19, kekuasaan pemerintahan Belanda hanya terbatas pada pulau Jawa dan pesisir pantai selatan Sumatra, Maluku, dan pulau-pulau lain. Pemerintahan Belanda baru memantapkan kekuatan mereka di kepulauan Hindia Belanda pada tahun 1900, dan anggota militer Afrika memainkan peran dalam pengembangan kekuasaan ini. Pasukan kompeni Afrika bertempur bersama tentara KNIL yang berasal dari Eropa dalam kampanye-kampanye Belanda di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Timor, dan Aceh.[16]
Di antara kontingen non Eropa dalam Ekspedisi Aceh Kedua pada tahun 1873, ada dua kelompok pasukan kompeni yang beranggotakan orang dari Afrika Barat, yaitu Haf Kanan (Belanda: Rechter Halve) ke-3 dan ke-4 dari Batalyon Infanteri Kedua di bawah pimpinan Letnan Kolonel K. van der Heijden. Dari segi kekuatan, jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar 230 orang dari keseluruhan pasukan yang mencapai 13.000 orang. Namun, anggota-anggota ini bergabung dengan pasukan KNIL lainnya dengan reputasi yang sangat baik; ditambah lagi, mereka tahan dengan kondisi lokal. Mereka menerima gaji yang lebih tinggi dari anggota pribumi dan berbagi kandang dengan tentara Eropa. Kedua pasukan kompeni Afrika tersebut bertugas di bawah pimpinan Mayor M.A.E. Phaff.[17]
Sementara itu, di saat yang sama pasukan Aceh memulai serangkaian hukuman terhadap desa-desa yang telah bekerjasama dengan Belanda. Tentara Afrika dikerahkan untuk melindungi daerah-daerah Meuraksa dan Lampaseh di Aceh, dan pada 26 Juli 1874 juga di Surian— ini memungkinkan masyarakat untuk bergerak melalui sungai Aceh dan melintasi jalan dari pantai ke Kuta Raja dengan aman.[18] Sejak menaklukkan Surian pada 26 Juli 1874, tentara Afrika juga bertugas untuk mengeluarkan kartu pengunjung bagi siapapun warga Aceh yang ingin berkunjung ke sana. Dalam kampanye ini, seorang penembak Afrika, T. Tak, dianugerahi medali Ksatria Kelas 4, Kelas Angkatan Willem, Sersan Afrika J. Noudjedij dan para serdadu Afrika yang masing-masing bernama J. Hat, W. Muil, dan W. Bamberg dianugerahi Medali Perunggu Keberanian dan Kesetiaan, sedangkan W. Zwol dan T. Zaal menerima sebutan khusus.[19] Jumlah mereka kini menurun dari 230 menjadi 116 orang dikarenakan pergantian pasukan dan kekurangan rekrutan baru. Situasi ini tetap bertahan hingga kekuatan Kompeni Haf Kanan ke-3 dan ke-4 Batalyon Isnfantri Kedua dipulihkan dengan tambahan tentara Belanda dari Eropa.
Pada 8 November 1875, Kolonel J.L.J.H. Pel kembali ke Aceh sebagai Mayor Jenderal dan Panglima Tertinggi. Pada 9 November, ia mengambil alih kekuasaan dari Kolonel Wiggers van Kerchem, yang meninggalkan Aceh pada 10 November.[20] Selama Perang Aceh, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Pel, jumlah tentara Afrika telah berkurang menjadi sekitar 176 orang.[21] Dengan izin pemerintah Hindia Belanda, Pel menjadikan dua orang pegawai tentara Raj Britania, yaitu Kapten A.P. Palmer dan Kapten W.S.A. Lockhart, sebagai pengamat militer dalam sebagian besar operasi perang.[22] Palmer kemudian menulis dalam laporannya bahwa tentara Afrika sejauh ini adalah yang terbaik dalam kalangan anggota tentara KNIL. Palmer tidak menghargai penembak-penembak Eropa dan Jawa yang kurang terlatih, tetapi mencatat bahwa orang Aceh memiliki penghormatan tinggi terhadap orang Afrika Barat. Untuk mengisi kekurangan dalam kompeni Afrika Barat, upaya masih terus dilakukan dengan mencari cara-cara lain untuk memenuhi kekurangan tentara Afrika tersebut, tetapi usaha itu runtuh karena protes Inggris yang merasakan usaha itu sebenarnya sebuah penyamaran yang mudah untuk satu tindakan perbudakan.
Catatan pelayanan
Catatan pelayanan tentara Afrika yang direkrut untuk bertugas di Hindia Belanda bermacam-macam. Sepanjang tugas mereka di Hindia Belanda, mereka mendapat dua penghargaan karena ketaatan serta keberanian, dan juga kecaman karena melawan perintah dan memberontak. Bahkan pemberontakan yang dilakukan mereka menyebabkan pemikiran ulang oleh para penguasa militer Belanda tentang kebijaksanaan perekrutan mereka dan akhirnya menjadi salah satu alasan utama perekrutan anggota Afrika dihentikan untuk sementara oleh Belanda.[23]
Kepatuhan dan keberanian
Belanda mencoba untuk memastikan ketaatan prajurit Afrika mereka dengan memberi orang Afrika perlakuan khusus dibandingkan dengan anggota tentara KNIL pribumi. Anggota dari Afrika diberi status serta persyaratan layanan (gaji, kenaikan pangkat, makanan, pakaian, dan sebagainya) yang sama dengan anggota Eropa. Akibatnya, anggota tentara Afrika merasa bahwa posisi mereka berada di atas anggota pribumi; bahkan mereka meremehkan anggota pribumi. Perlu diperhatikan bahwa struktur tentara kolonial diatur berdasarkan strata yang berlandaskan etnis dan status sosial yang ketat. Di tingkat teratas adalah orang Eropa. Orang Ambon, yang beragama Kristen, terletak ditengah-tengah sementara tentara pribumi lainnya, orang Jawa, Bugis dan sebagainya, yang beragama Islam, berada di lapisan bawah. Walau bagaimanapun, keduanya akan menyanjung orang Eropa yang menjadi kepala tentara mereka.[24][note 2]
Umumnya Belanda puas dengan mutu tentara Afrika. Ineke van Kessel mengutip laporan awal Belanda yang antara lain menyatakan, "...mereka ini orang jujur; tidak ada tanda-tanda pencurian yang dilaporkan. Mereka kuat, berbadan tegap, tidak kenal lelah dan telah beradaptasi dengan iklim tropis. Selama ekspedisi militer, mereka memamerkan keberanian, lebih dari orang Eropa".[25][note 3] Banyak anggota dari Afrika yang memenangkan penghargaan keberanian dan mendapat sanjungan orang Belanda, terutama setelah ekspedisi melawan Aceh.
Pemberontakan
Meskipun anggota dari Afrika menunjukkan keberanian, mereka juga melakukan serangkaian pemberontakan di pulau Jawa dan Sumatra. Sebagian besar, jika tidak semua, anggota tentara Afrika adalah bekas budak. Mereka terdiri dari tawanan perang Ashanti ataupun negara-negara upeti Ashanti, atau hamba-hamba sahaya dari suku-suku lain. Mereka membeli kebebasan mereka dengan uang muka yang dibayar dari gaji mereka sebagai tentara KNIL, akan tetapi mereka bergabung dengan KNIL dengan penuh kesadaran tentang peran yang diberikan kepada mereka.[26]
Tentara rekrutan dari Afrika bergabung di KNIL dengan janji bahwa mereka akan diberi layanan dan status yang sama dengan tentara Eropa. Umumnya Belanda melunaskan janji mereka kepada tentara Afrika; orang Afrika juga menuntut agar janji itu dilaksanakan sepenuhnya. Dan bahkan tentara Afrika ini sebenarnya datang dari latar belakang (kelompok etnis, bahasa, budaya) yang sangat berbeda, mereka bersatu dalam menuntut hak-hak serta kesamaan dengan tentara Eropa yang telah dijanjikan kepada mereka.[27]
Di antara tahun 1838 hingga tahun 1841, terjadi beberapa peristiwa pemberontakan: pada bulan April 1840, anggota Afrika di Purworejo memberontak karena gaji. Pemberontakan ini didahului dengan beberapa keluhan karena janji tentang kesamaan dari segi pakaian, tempat tidur dan beberapa hal lain yang tidak ditepati. Pada bulan Juni 1841, beberapa orang tentara Afrika di kubu Van der Capellen di Sumatra menolak mengikuti perintah karena mereka dibayar dengan gaji yang lebih rendah dari orang Eropa. Pertempuran terjadi dengan tim yang mengejar mereka dan berujung dengan hilangnya nyawa dua orang Afrika.[23] Kejadian di Sumatra membuat pemerintah kolonial meninjau ulang sistem perekrutan dan partisipasi anggota Afrika di dalam KNIL.
Ulasan Belanda pada masa itu mengungkap beberapa sebab terjadinya pemberontakan di kalangan tentara dari Afrika. Penyebab-penyebab ini berhubungan dengan struktur etnis KNIL, persepsi status serta janji 'kesamaan dengan orang Eropa' yang diberikan Belanda kepada anggota dari Afrika. Dari sudut pandang pejabat militer Eropa, orang Afrika tidak begitu beda dari orang Ambon ataupun anggota pribumi lain. Khususnya, mereka heran mengapa tentara Afrika diberi perlakuan khusus dibandingkan dengan anggota Ambon yang mereka anggap lebih handal dan seagama dengan mereka. Dari sudut pandang orang Afrika pula, mereka berstatus 'Eropa' dan meremehkan anggota pribumi, termasuk orang Ambon yang juga diberi layanan istimewa sebagai orang Kristen. Tentara Afrika menuntut kesamaan hak dengan orang Eropa secara mutlak. Mereka menganggap diri mereka 'Eropa' dan tidak membedakan orang Ambon dari anggota pribumi lainnya, dan merasa tersinggung ketika, misalnya, diberikan pelapis tidur (sama dengan tentara Ambon) dan bukannya kasur seperti orang Eropa. Bahkan kasus pelapis tidur ini menjadi isu besar buat mereka, dan bersama-sama dengan apa yang dilihat sebagai pelanggaran janji lain, menyebabkan pemberontakan. Bagi anggota militer pribumi lainnya juga heran, mengapa para bekas budak ini diberikan status yang lebih tinggi dari orang bebas seperti mereka.[28]
Masyarakat Indo-Afrika
Perekrutan orang Afrika berakhir pada tahun 1872 setelah Elmina diserahkan kepada Inggris. Namun banyak anggota tentara Afrika yang telah menikah dengan wanita pribumi memilih untuk tinggal di Hindia Belanda setelah masa jabatan mereka berakhir.[29][note 4] Ini menjadikan Jawa tempat yang memiliki masyarakat Indo-Afrika yang tetap utuh dan berkembang di desa-desa tertentu hingga Perang Dunia Kedua. Mayoritas masyarakat Indo-Afrika tinggal di Semarang, kemudian diikuti oleh kota-kota administrasi seperti Purworejo di Jawa Tengah, tempat di mana Raja Willem III mengalokasikan sebidang tanah bagi orang Afrika pada tahun 1859.[29] Purworejo bahkan masih memiliki catatan pembaptisan keluarga Katolik Indo-Afrika tersebut.[30] Selain itu, keluarga Indo-Afrika juga tinggal di kota-kota besar lainnya seperti Batavia, Salatiga, Surabaya, dan Yogyakarta.[29] Secara tradisional banyak anggota pria masyarakat ini yang bertugas di angkatan tentara KNIL, dan profesi tentara biasa diteruskan dari ayah kepada anak lelakinya. Ini menjelaskan kehadiran orang Afrika Barat yang berkelanjutan dalam tentara Belanda di Aceh maupun dalam perekrutan yang berakhir pada tahun 1872.[9]
Pelayanan mereka juga tercatat dalam daftar tertentu. Sebagai contoh, dalam catatan tahun 1896 disebutkan tentang dua kematian ini: Penembak Afrika W. Denk dengan nomor pendaftaran 35700 meninggal dunia akibat cedera yang dialaminya pada 11 Agustus 1896 saat kunjungan ke Lepong dan Lubang, dan Sersan Afrika J. Boon dengan nomor pendaftaran 18401 meninggal akibat cedera yang dialaminya pada 24 Agustus 1896 selama kunjungan di XXII Mukim.[31] Sebaliknya, juga terdapat catatan bahwa Pieter Hermans berhasil menjadi Letnan Dua pada akhir tahun 1837, dua kali menerima sebutan khusus, dan juga mendapatkan Medali Perunggu Keberanian dan Loyalitas.[32][note 5]
Sebagian kecil dari tentara Afrika kembali ke Elmina setelah tugas mereka berakhir, tempat mereka menetap di sebuah bukit di belakang benteng Saint George.[33] Bukit itu diberi nama Java Hill, dan itu adalah tempat peringatan pengalaman mereka.[29] Dari Hindia Belanda, mereka membawa bahan-bahan batik, yang menjadi begitu populer di Ghana dan bagian Afrika Barat lainnya, sehingga muncullah pasar untuk batik buatan yang pada tahun 1876 mulai diberikan oleh perusahaan Belanda, Vlisco.[34][35]
Setelah kemerdekaan Indonesia, sebagian besar keturunan tentara Afrika ini pindah ke Belanda. Sebagian masyarakat ini masih berhubungan dan melakukan pertemuan di Belanda, melalui Indo-Afrika Kontakt Foundation (Yayasan Hubungan Indo-Afrika).[8] Pada tahun-tahun terakhir ini, kelompok ini semakin berada dalam fokus utama. Pameran Zwart in Dienst van Oranje (Si Hitam dalam layanan Oranye) dibuka pada 12 Mei 2005 di Tropenmuseum, Amsterdam.[36] Pada bulan Juli tahun yang sama, karya penulisan Ineke van Kessel bertajuk Zwarte Hollanders: Afrikaanse soldaten in Nederlands-Indië (Belanda Hitam: Tentara Afrika di Hindia Belanda) terbit,[19] diikuti dengan Zwarte huid, Oranje hart. Afrikaanse KNIL-nazaten in de diaspora (Kulit Hitam, Hati Oranye: KNIL Keturunan Afrika dalam Diaspora) pada tahun 2010, karya Griselda Molemans dan fotografer Armando Ello.[37]
Jan Kooi, Belanda Hitam yang paling terkenal
Jan Kooi adalah seorang kopral Afrika yang mencapai ketenaran di Belanda untuk aksi-aksi beraninya yang mengagumkan dalam Perang Aceh, yaitu perang yang paling lama, paling berdarah, dan paling tidak memiliki akhir dalam sejarah kolonial Belanda. Kooi lahir di St. George d'Elmina, di Pantai Barat Afrika.[3] Nama aslinya kemungkinan besar dianggap "tak terkatakan"; sehingga ia serta banyak anggota tentara Afrika Barat lainnya diberi nama-nama panggilan Belanda.
Jan Kooi adalah seorang prajurit yang pemberani.[3] Pada 31 Januari 1878, ia menyelamatkan nyawa Kapten Bloom dengan membunuh dua orang pejuang Aceh, sedangkan dirinya sendiri menderita luka akibat serangan musuh.[38] Dia juga berhasil merebut sepuluh laras meriam musuh. Tidak lama setelah itu, pada 25 Juli 1878, ia kembali menyelamatkan nyawa Letnan van Bijlevelt dengan membunuh seorang pejuang Aceh yang bersenjatakan kelewang dan tombak pada saat kritis. Untuk jasanya itu, ia mendapat penghargaan 100 gulden Belanda. Selain itu, pada 26 April 1879, Kooi dan dua tentara Afrika lainnya (Bilk dan Jaap) berhasil menghalau serangan terhadap sebuah konvoi.[39] Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 tanggal 2 Maret 1878, Kooi dianugerahi medali Ksatria Kelas 4, Kelas Angkatan Willem, yaitu untuk "Atjeh 1877". Dia adalah tentara Afrika Barat pertama yang berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi dalam militer Hindia Belanda.[40] Dalam karier selanjutnya, Kooi juga mendapatkan panggilan khusus, Medali Kraton, serta Salib Ekspedisi Militer.[2]
Setelah masa tugasnya berakhir, Kooi kembali ke kampung halamannya di St. George d'Elmina, yang kini telah diserahkan kepada Inggris, melalui Depot Galangan Kolonial di Harderwijk, Belanda. Selama singgah di Harderwijk, dua potretnya telah dilukis: potret resmi oleh J.C. Leich, dan potret impresionistik oleh Isaac Israels.[2][19] Ketika itu, Kooi telah berusia 33 tahun.[40] Menurut sebuah artikel dalam surat kabar mingguan Overveluwsche Weekblad, Kooi mampu berbicara dalam bahasa Belanda dengan sempurna, dan dia sering berbicara tentang kerinduannya terhadap tanah airnya.[39] Potret lukisan minyak Jan Kooi, yang dibuat pada bulan Februari tahun 1883 oleh J.C. Leich, disimpan di Museum Bronbeek, bekas istana Kerajaan di Arnhem, Belanda.[40]
Catatan
^Kesamaan status dan kondisi pelayanan dengan orang Eropa memang dijanjikan dan dilaksanakan Belanda, akan tetapi janji kesetaraan ini juga menjadi faktor pendorong terhadap serangkaian pemberontakan oleh tentara Afrika. Contohnya adalah pemberontakan yang berawal dari pertukaran kasur ke tikar. Tentara Afrika merasa mereka tidak diberi kesamaan dengan tentara Eropa yang masih menggunakan kasur sebagai pengalas tempat tidur.
^Belanda, seperti kekuasaan kolonial lain, sengaja membuat stratifikasi ini agar orang Afrika merasa asing daripada orang pribumi dan tidak akan bersimpati dengan mereka, seandainya orang pribumi menentang orang Eropa.
^Dalam bahasa Inggris: "they were honest men; no traces of thievery had been reported. They were mostly strong, muscled, indefatigable and very adapted to the tropical climate. During military expeditions they demonstrated bravery and fearlessness, even more so than the Europeans."
^Menurut Ineke van Kessel, sama seperti anggota tentara KNIL yang lain, tentara Afrika menjalin hubungan dengan wanita lokal. Keturunan mereka berbicara dalam bahasa Belanda, beragama Kristen dan mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Lama-kelamaan mereka menjadi bagian masyarakat Indo-Eropa.
^Hermans merupakan orang yang pertama sampai di Hindia Belanda, pada tahun 1832. Dia meraih peningkatan dalam kariernya dan dipromosikan menjadi Sersan dua tahun kemudian. Gajinya sama dengan sersan dari Eropa, tetapi ia menerima setengah gaji letnan Eropa—sama dengan seorang letnan dari Ambon—saat dipromosikan. Hermans tidak puas dan mengeluh berkali-kali tentang hal ini. Pihak atasannya tidak bergeming dan akhirnya dia diberhentikan dari layanan akibat sikapnya yang tidak henti-hentinya menuntut hak kesamaan.