Halaman ini berisi artikel tentang negara kepulauan di Afrika Timur. Untuk kepulauan, lihat Kepulauan Komoro. Untuk kegunaan lain, lihat Komoro (disambiguasi).
Penduduk pertama yang menduduki Kepulauan Komoro diperkirakan adalah penduduk, nelayan, dan pedagang dari Afrika dan Austronesia, yang melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu. Mereka datang ke Komoro sekitar abad keenam Masehi, pencatatan sejarah yang paling awal berupa jejak arkeologi yang diketahui ditemukan di Anjouan.[6] Sehingga Komoro ditempati oleh penduduk dari berbagai wilayah di pantai Afrika, Teluk Persia, Indonesia, dan Madagaskar.[7]
Pendudukan Arab
Pada abad ke-10, para pedagang Arab yang pertama telah membawa pengaruh Islam ke pulau-pulau di Komoro. Salah satu fakta yang paling kuat adalah jual beli para budak-budak dari Afrika, dan meningkatkan penyebaran dan dominasi budaya Arab di penjuru dunia.[7]
Di samping jaraknya yang jauh dari pantai Afrika, Komoro terletak di sepanjang selat utama antara Afrika dan Mozambik. Kepulauan Komoro, seperti daerah pesisir lain di kawasan itu, merupakan kawasan persinggahan yang penting di jalur perdagangan pada masa awal penyebaran agama Islam. Jalur ini sering dilalui oleh pedagang-pedagang Persia dan Arab. Untuk penyebaran agama Islam di Komoro, penduduk Arab membangun masjid besar.[8]
Pada tahun 933, pengaruh berbahasa ArabSunniPersia dari Shiraz, Iran, mendominasi pulau-pulau di Komoro. Syirazi berdagang di sepanjang pantai Afrika Timur dan Timur Tengah, mendirikan pemerintahan dan tanah jajahan di kepulauan Komoro.[7]
Selama 3 (tiga) abad selanjutnya, keempat pulau (Mayotte, Komoro Besar, Anjouan dan Moheli), dan juga banyak pulau kecil di Komoro dikuasai oleh bangsa Shiraz. Selama bertahun-tahun dibagi menjadi 11 kesultanan.
Pendudukan Arab di daerah semakin meningkat bersamaan ketika Zanzibar jatuh pada kekuasaan bangsa ArabOman, dan kebudayaan masyarakat Komoro, terutama sastra, budaya dan agama juga semakin berada di bawah kekuasaan bangsa Arab menggantikan kebudayaan Swahili dan Afrika asli.[9]
Pendudukan Prancis dan Eropa
Para pelaut Portugis berlabuh di Komoro pada awal 1500-an. Prancis mengklaim pendudukan komoro pada tahun 1530, dan Inggris menyatakan klaim mereka pada tahun 1554.[7]
Pada abad ke-17, bajak laut dari Madagaskar dan Eropa mengincar Komoro dan menjarah kapal-kapal yang berlayar menuju timur Samudra Hindia.[7] Pada tahun 1793, prajurit dari Madagaskar mulai menyerang pulau-pulau dikomoro untuk pertama kali, mereka mengambil penduduk Komoro untuk dijadikan sebagai budak, dan kemudian menetap dan merebut kekuasaan dari bangsa Arab di berbagai wilayah. Di Komoro, diperkirakan pada tahun 1865, sebanyak 40% dari populasi penduduk Komoro terdiri dari para budak.[10] Prancis pertama kali mendirikan kolonial dan aturan di Komoro sekitar tahun 1841. Koloni Prancis terlebih dahdulu menduduki Mayotte, dan Andrian Tsouli, sebagai Raja Malagasi Mayotte, menandatangani Perjanjian pada bulan April 1841, yang menyerahkan kekuasaan di pulau Mahori ke otoritas Prancis.[11]
Kemerdekaan
Pada tahun 1973 Komoro mengadakan sebuah kesepakatan dengan Prancis untuk kemerdekaan Komoro pada tahun 1978. Para wakil dari Mayotte abstain. Referendum dilakukan di empat pulau utama, tiga pulau sepakat untuk merdeka, sedangkan pulau Maori/Mayotte memilih untuk tetap di bawah pemerintahan Prancis.
Pada tanggal 6 Juli 1975 parlemen Komoro mengeluarkan resolusi sepihak untuk menyatakan kemerdekaan dari keempat pulau, Ahmed Abdallah memproklamasikan kemerdekaan Komoro menjadi Negara Merdeka Komoro daulat al qamar (bahasa Arab: دولة القمر) atau État comorien dalam bahasa Prancis, dan ia menjadi presiden pertama Komoro.[7]
Ketika kemerdekaan Komoro diakui oleh PBB, Prancis menarik dukungan ekonomi untuk Komoro sehingga terjadinya kekacauan ekonomi dan politik; paling tidak telah terjadi 20 kudeta untuk menjatuhkan pemerintah pusat Komoro.[7] Pemerintahan Komoro juga berkali-kali berdalih dari menggunakan sistem sosialis ke sistem berbasis Syariat Islam. Sebaliknya, Mayotte yang memilih untuk tetap menjadi bagian dari Prancis terus mendapatkan dukungan ekonomi dan politik dari Prancis Metropolitan dan alhasil dapat makmur dan berkembang dengan PDB perkapita 13.5 kali dari Komoro. Situasi ini membuat banyak warga Komoro yang mencoba bermigrasi ke Mayotte; diperkirakan bahwa hampir 30% jumlah penduduk Mayotte adalah imigran gelap dari Komoro. Beberapa pulau Komoro seperti Anjouan dan Moheli juga berkeinginan untuk kembali masuk dalam lingkup area Prancis, namun Prancis menolak permintaan ini.
Geografi
Komoro terletak di pengujung utara Selat Mozambik, di antara Madagaskar and Mozambik. Secara resmi negara Komoro terdiri atas empat pulau di kepulauan gunung berapi Komoro, yaitu: Mayotte, Komoro Besar, Anjouan dan Moheli, dan juga banyak pulau kecil. Ibu kotanya ialah Moroni yang terletak di pulau Komoro Besar. Keseluruhan kepulauan Komoro merupakan jajahan Prancis hingga tahun 1975 ketika referendum untuk kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Prancis pada tahun 1974 diumumkan. Hasil dari referendum menunjukkan bahwa tiga dari empat pulau utama Komoro: Komoro Besar, Anjouan, dan Moheli memilih untuk memerdekakan diri dan membentuk Perserikatan Komoro.
Pulau Mayotte atau Maori adalah satu-satunya pulau di kepulauan Komoro yang memilih menentang kemerdekaan dari Prancis untuk menjadi bagian dari Persekutuan Komoro; referendum tahun 1974 dan 1976 secara konsisten menunjukkan bahwa warga kepulauan Mayotte lebih memilih untuk tetap menjadi jajahan Prancis daripada bergabung dengan Komoro.[12][13] Perbedaan pendapat ini lebih mengarah ke sisi politik dan ekonomi karena warga Mayotte memiliki budaya yang sama dengan warga kepulauan Komoro lain dan mayoritas juga menganut agama yang sama, yakni Islam. Meskipun demikian, pemerintahan Komoro masih tetap mengklaim Mayotte sebagai bagian dari Komoro dan mengecam keberadaan pemerintah Prancis di sana. PBB telah menetapkan bahwa Mayotte merupakan bagian dari negara Komoro, namun Prancis telah memveto resolusi Majelis Keselamatan PBB yang akan meneguhkan kedaulatan Komoro terhadap pulau itu.[14][15] Di samping itu juga, pada 29 Maret 2009 warga Mayotte menyetujui referendum yang disahkan pada tahun 2011 untuk mengubah status Mayotte sebagai departemen seberang laut Prancis dan sekaligus bagian dari Uni Eropa. Presiden Komoro sendiri menolak hasil keputusan dari referendum ini.[16]
Politik Komoro terjadi dalam kerangka republikpresidensialfederal, di mana Presiden Komoro adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, dan sistem multi-partai. Konstitusi Persatuan Komoro diratifikasi melalui referendum pada 23 Desember 2001, dan konstitusi dan eksekutif kepulauan itu dipilih pada bulan-bulan berikutnya. Itu sebelumnya dianggap sebagai kediktatoran militer, dan pengalihan kekuasaan dari Azali Assoumani ke Ahmed Abdallah Mohamed Sambi pada Mei 2006 adalah momen pemindahan kekuasaan damai pertama dalam sejarah Komoro.
Politik Komoro terjadi dalam kerangka republikpresidensialfederal, di mana Presiden Komoro adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, dan sistem multi-partai. Konstitusi Persatuan Komoro diratifikasi melalui referendum pada 23 Desember 2001, dan konstitusi dan eksekutif kepulauan itu dipilih pada bulan-bulan berikutnya. Itu sebelumnya dianggap sebagai kediktatoran militer, dan pengalihan kekuasaan dari Azali Assoumani ke Ahmed Abdallah Mohamed Sambi pada Mei 2006 adalah momen pemindahan kekuasaan damai pertama dalam sejarah Komoro.
Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh pemerintah. Kekuasaan legislatif federal berada di tangan pemerintah dan parlemen. Pembukaan konstitusi menjamin inspirasi Islam dalam pemerintahan, komitmen terhadap hak asasi manusia, dan beberapa hak khusus yang disebutkan, demokrasi, "takdir bersama" untuk semua orang Komoro.[17] Masing-masing pulau (menurut Bab II Konstitusi) memiliki sejumlah besar otonomi di Persatuan, termasuk memiliki konstitusi, presiden, dan parlemen sendiri. Kepresidenan dan Majelis Persatuan berbeda dari masing-masing pemerintah pulau. Kepresidenan Persatuan bergilir di antara pulau-pulau.[18] Terlepas dari keraguan yang meluas tentang ketahanan sistem rotasi presiden, Ngazidja memegang rotasi presiden saat ini, dan Azali adalah Presiden Persatuan; Ndzwani secara teori akan menjadi presiden berikutnya.[19]
Hubungan luar negeri
Pada November 1975, Komoro menjadi anggota ke-143 Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara baru itu didefinisikan sebagai terdiri dari seluruh kepulauan, meskipun warga Mayotte memilih untuk menjadi warga negara Prancis dan mempertahankan pulau mereka sebagai wilayah Prancis.[20]
Komoro telah berulang kali mengajukan klaimnya atas Mayotte di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengadopsi serangkaian resolusi dengan judul "Pertanyaan Pulau Mayotte di Komoro", berpendapat bahwa Mayotte adalah milik Komoro berdasarkan prinsip bahwa integritas teritorial dari wilayah jajahan harus dipertahankan setelah kemerdekaan. Namun, sebagai masalah praktis, resolusi ini memiliki pengaruh yang kecil dan tidak ada kemungkinan Mayotte akan menjadi bagian de facto dari Komoro tanpa persetujuan rakyatnya. Baru-baru ini, Majelis mempertahankan item ini dalam agendanya tetapi menundanya dari tahun ke tahun tanpa mengambil tindakan. Badan-badan lain, termasuk Organisasi Kesatuan Afrika, Gerakan Non-Blok, dan Organisasi Kerjasama Islam, juga mempertanyakan kedaulatan Prancis atas Mayotte.[12][21] Untuk menutup perdebatan dan untuk menghindari integrasi paksa ke dalam Persatuan Komoro, penduduk Mayotte memilih untuk menjadi departemen luar negeri dan wilayah Prancis dalam referendum tahun 2009. Status baru berlaku efektif pada 31 Maret 2011 dan Mayotte telah diakui sebagai wilayah terluar oleh Uni Eropa pada 1 Januari 2014. Keputusan ini secara hukum mengintegrasikan Mayotte bagian dari Republik Perancis.
Pada Mei 2013, Persatuan Komoro dikenal karena mengajukan rujukan ke Kantor Kejaksaan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengenai peristiwa "serangan 31 Mei 2010 Israel terhadap Armada Bantuan Kemanusiaan menuju Jalur Gaza". Pada bulan November 2014, Jaksa Penuntut ICC akhirnya memutuskan[24] bahwa peristiwa tersebut merupakan kejahatan perang tetapi tidak memenuhi standar berat untuk membawa kasus tersebut ke hadapan ICC.[25]
Tingkat emigrasi pekerja terampil adalah sekitar 21,2% pada tahun 2000.[26]
Angkatan Bersenjata Komoro terdiri dari pasukan kecil dan pasukan polisi beranggotakan 500 orang, serta pasukan pertahanan beranggotakan 500 orang. Perjanjian pertahanan dengan Prancis menyediakan sumber daya angkatan laut untuk perlindungan perairan teritorial, pelatihan personel militer Komoro, dan pengawasan udara. Prancis mempertahankan kehadiran beberapa perwira senior di Komoro atas permintaan pemerintah, serta pangkalan maritim kecil dan Detasemen Legiun Asing (DLEM) di Mayotte.
Setelah pemerintah baru dilantik pada Mei–Juni 2011, misi ahli dari UNREC (Lomé) datang ke Komoro dan menghasilkan panduan untuk penjabaran kebijakan keamanan nasional, yang dibahas oleh berbagai pejabat, terutama otoritas pertahanan nasional dan lembaga masyarakat.[27]
Seperti dilansir oleh Newser pada 31 Maret 2013, komoro termasuk ke dalam 10 negara di dunia yang paling jarang dikunjungi oleh wisatawan asing. Pada tahun 2010 negara ini berhasil menarik sebanyak 15.000 wisatawan asing.[28][29]
Komoro dikenal dengan suasana yang tenang, terpencil dan bebas dari minuman keras, pulau-pulau di Komoro menawarkan liburan yang magis dan natural bagi wisatawan. Vegetasi di Pulau-pulau Komoro kaya dan beragam: 65% dari esensi parfum dunia berasal dari sini, diproses dari bunga ylang-ylang, melati, dan jeruk. Rempah-rempah, termasuk pala, cengkih, lada dan vanili, juga banyak ditemukan di kepulauan ini.[30]
Pulau-pulau di Komoro adalah pulau vulkanik dan dikelilingi oleh terumbu karang, dan wisata yang lebih menantang bisa mengunjungi puncak Gunung Kartala, sebuah gunung berapi aktif di Komoro Besar, atau menikmati berbagai macam olahraga air.[30]
Untuk wisata religi, wisatawan bisa mengunjungi beberapa masjid besar yang ada di Pulau-pulau Komoro, seperti Masjid Besar Ancienne Mosquée du Vendredi atau Masjid Jumat Kuno menjadi tempat wisata andalan di kota Moroni.[31]
Demografi
Budaya Arab dan Islam sangat melekat di Komoro, bahasa Arab sendiri menjadi salah satu bahasa resmi dari tiga bahasa yang digunakan.[7]
Negara ini adalah anggota negara Liga Arab yang terselatan. Pada 1.862 km2 (719 sq mi),[32] (tidak termasuk Mayotte) Komoro adalah negara ketiga terkecil dari seluruh wilayah Afrika. Dan dengan jumlah penduduk diperkirakan 798.000, hal tersebut menjadikan Komoro sebagai negara Afrika keenam terkecil menurut populasi, meskipun Komoro memiliki kepadatan penduduk terpadat di Afrika.
Kepulauan ini terkenal dengan berbagai budaya dan sejarah, sebagai bangsa yang terbentuk di persimpangan benua, negara ini memiliki tiga bahasa resmi, yaitu: Bahasa Komoro (Shikomor), Bahasa Arab dan Bahasa Prancis, namun di Mayotte satu-satunya bahasa resmi yang digunakan hanyalah Bahasa Prancis.
Sekitar separuh penduduk Komoro berada di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan sekitar US $ 1,25 dalam sehari.[33]
Meskipun negara ini tergabung dalam Liga Arab dan Bahasa Arab menjadi salah satu bahasa resminya, surat kabar utama yang ada di negara ini menggunakan Bahasa Prancis, bahasa peninggalan kolonial Prancis.[34]
Media massa yang terdapat di Komoro di antaranya ialah surat kabar utama milik pemerintah Komoro al-Watwan (الوطن) yang diterbitkan di Moroni,[35] surat kabar berbahasa Prancis yang terbit setiap minggu ini dipublikasikan sejak tahun 1985,[34] selain berbahasa Prancis surat kabar ini juga menyediakan jurnal berbahasa Arab yang bisa diunduh di laman resminya.[35]
Surat kabar utama independen adalah La Gazette des Comores, surat kabar independen berbahasa Prancis yang berpusat di Moroni, Komoro Besar. Surat kabar harian ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1999.[34]
Kashkazi adalah surat kabar independen berbahasa Prancis yang terbit setiap bulan. Surat kabar ini berbasis di Moroni, Komoro Besar ini pertama kali terbit pada tahun 2005 yang menyediakan berita nasional dan internasional, dan juga beberapa artikel investigasi. Surat kabar ini juga memiliki laman web yang baik yang bisa dikunjungi oleh pembaca.[34][36][37]
Ada pula surat kabar Kwezi yang diterbitkan di Mayotte.
Radio
Seperti negara-negara di Afrika kebanyakan, radio adalah media massa yang paling dominan. Radio milik pemerintah adalah satu-satunya jaringan radio yang bisa mencakup seluruh kepulauan.[34]
Televisi
Komoro memiliki jaringan televisi yang lemah, dan memiliki sedikit sekali saluran pribadi.[34]
Lihat pula
The Comoros Islands: Struggle Against Dependency in the Indian Ocean Malyn Newitt
Historical Dictionary of the Comoro Islands Martin and Harriet Ottenheimer
Lonely Planet World Guide: Madagascar and Comoros Gemma Pitcher and Patricia C. Wright
Referensi
^ abcd"Comoros". International Monetary Fund. Diakses tanggal 17 April 2012.
^"GINI index". World Bank. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 April 2014. Diakses tanggal 26 July 2013.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Source, unless otherwise specified: "Demographic Yearbook—Table 3: Population by sex, rate of population increase, surface area and density"(pdf). United Nations Statistics Division. 2008. Diakses tanggal 24 September 2010.
Entries in this table giving figures other than the figures given in this source are bracketed by asterisks () in the Notes field, and the rationale for the figure used are explained in the associated Note.
^Federal Research Division of the Library of Congress under the Country Studies/Area Handbook Program (1994). Ralph K. Benesch, ed. A Country Study: Comoros. Washington, D.C.: US Department of the Army. Diakses tanggal January 2007.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^Ottenheimer, Martin and Ottenheimer, Harriet (1994). Historical Dictionary of the Comoro Islands. African Historical Dictionaries; No. 59. Metuchen, N.J.: Scarecrow Press. hlm. 53–54. ISBN978-0-585-07021-6.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^ abThe first UN General Assembly Resolution regarding the matter, "Question of the Comorian island of MayotteDiarsipkan 2008-04-08 di Wayback Machine. (PDF)," United Nations General Assembly Resolution A/RES/31/4, (21 October 1976) states "the occupation by France of the Comorian island of Mayotte constitutes a flagrant encroachment on the national unity of the Comorian State, a Member of the United Nations," rejecting the French-administered referendums and condemning French presence in Mayotte.
^"Comoros 2001 (rev. 2009)". Constitute. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2015. Diakses tanggal 23 April 2015.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Statement of the Prosecutor of the International Criminal Court, Fatou Bensouda, on concluding the preliminary examination of the situation referred by the Union of the Comoros: "Rome Statute legal requirements have not been met","Statement of 6th November 2014"Diarsipkan 2 June 2015 di Wayback Machine.