Leimena berasal dari Ambon, Maluku, dari sebuah keluarga Kristen dengan orang tua yang berprofesi sebagai guru. Pada usia dini, ia pindah ke Cimahi tahun 1914 dan tak lama kemudian Batavia untuk melanjutkan sekolahnya. Ia turut serta dalam pergerakan kebangkitan nasional, sebagai anggota Jong Ambon dan sebagai panitia Kongres Pemuda Pertama dan Kedua. Dalam perihal keagamaan, Leimena juga aktif dalam gerakan oikumene. Selulusnya dari STOVIA tahun 1930, ia bekerja di berbagai rumah sakit, mulai di Batavia sebelum pindah ke Bandung. Selama pendudukan Jepang, ia menjabat sebagai direktur rumah sakit di Purwakarta dan Tangerang.
Selama Revolusi Nasional Indonesia, Leimena memulai karirnya dalam pemerintah sebagai wakil menteri kesehatan, lalu sebagai menteri kesehatan. Ia juga merupakan seorang diplomat yang diutus ke perundingan-perundingan seperti Linggarjati, Renville, Roem-Roijen, dan Konferensi Meja Bundar. Leimena membantu pendirian Parkindo selama masa ini, dan mulai menjadi ketua umum sejak 1950. Dalam karirnya sebagai Menkes, Leimena memprioritaskan pencegahan penyakit di wilayah pedesaan dan melandasi sistem Puskesmas yang kini ada. Leimena juga sempat menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Distribusi, sebagai salah satu menteri yang paling dekat ke Presiden Soekarno.
Leimena sangat terdampak oleh peristiwa-peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengingat rumahnya sempat diserang. Dalam pertemuan-pertemuan yang berlangsung seusai peristiwa tersebut, Leimena dianggap telah memberikan nasihat yang mencegah pecahnya perang saudara kepada Soekarno. Ia juga menyaksikan penandatanganan Supersemar pada 1966. Selama masa Orde Baru, Leimena tidak lagi menjabat menteri, tetapi ia masih aktif dalam politik sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung sementara banyak koleganya yang dipenjarakan. Ia wafat pada tahun 1977 dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010.
Masa muda
Leimena dilahirkan di kota Ambon, Maluku pada tanggal 6 Maret 1905. Ayahnya, Dominggus Leimena, merupakan guru yang diperbantukan ke sekolah dasar di Ambon, dan ibunya Elizabeth Sulilatu juga merupakan seorang guru. Selama kanak-kanak, Leimena biasa tinggal di kota Ambon itu sendiri atau di kampung-kampung asal orangtuanya di Ema atau Lateri.[4] Dominggus Leimena merupakan keturunan dari raja Ema, dan keluarga Leimena merupakan pemeluk agama Kristen.[5] Dominggus meninggal saat Leimena berusia lima tahun dan Elizabeth menikah lagi, sehingga Leimena pindah ke rumah paman dan bibinya sementara ketiga saudaranya tinggal bersama ayah tiri.[6] Selama di Ambon, Leimena bersekolah di Ambonsche Burgerschool yang berbahasa Belanda.[7]
Pada tahun 1914, Leimena pindah ke Cimahi, Jawa Barat, karena pamannya diangkat menjadi kepala sekolah di sana. Setelah sembilan bulan, pamannya dipindahkan lagi ke Batavia, sehingga Leimena turut kesana.[8] Di Batavia, Leimena sempat belajar di Europeesche Lagere School (ELS, setara sekolah dasar), tetapi kemudian pindah ke Paul Krugerschool. Leimena melanjutkan studinya ke salah satu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara SMP) yang dikhususkan untuk murid Kristen. Selulusnya dari MULO, Leimena berniat untuk lanjut ke Hogereburgerschool (HBS, setara SMA) atau sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS), tetapi bibinya melarang masuk HBS dan ia gagal seleksi KWS. Ia juga ditolak saat melamar kerja ke kantor pos dan kantor kereta api, sampai akhirnya ia diterima di sekolah kedokteran STOVIA.[9]
Selama studinya di STOVIA, Leimena aktif dalam organisasi pemuda seperti Jong Ambon dan Christen Studenten Vereniging (Perkumpulan Pelajar Kristen).[10] Ia menjadi tokoh yang berpengaruh dalam organisasi Jong Ambon, pada masa ketika banyak organisasi Ambon yang terbelah antara mendukung gerakan kebangkitan nasional Indonesia atau mendukung pemerintah Hindia Belanda (di bawah Leimena, Jong Ambon awalnya mengambil sikap netral).[11] Karena pergaulannya dengan tokoh-tokoh Sumatra seperti Amir Sjarifuddin dan Mohammad Yamin, Leimena bergabung dengan Perhimpunan Teosofi.[12] Pergeseran pandangan Leimena ke arah mendukung kemerdekaan Indonesia berlangsung selama pertengahan 1920-an, didorong oleh dibentuknya Partai Nasional Indonesia oleh Soekarno dan berkembangnya Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Leimena menjadi salah seorang anggota panitia dalam Kongres Pemuda Pertama tahun 1926, dan juga Kongres Pemuda Kedua tahun 1928.[13]Gerakan oikumene yang pada masa itu baru mulai masuk Indonesia juga menarik perhatian Leimena.[14] Ia lulus dari STOVIA tahun 1930.[15]
Karier
Masa Hindia Belanda
Setelah lulus dari STOVIA, Leimena mulai bekerja di Centraal Burgerlijke Ziekenhuis (sekarang RS Cipto Mangunkusumo). Ia sempat ditugaskan ke Keresidenan Kedu seusai meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1930, sebelum pindah ke RS Zending Imanuel di Bandung.[16][17] Di Bandung ia diberikan tanggung jawab untuk melatih perawat-perawat baru sejak tahun 1936, dan ia bekerja sama dengan sejumlah bidan dan klinik yang beroperasi di sekitar rumah sakit.[18] Karena banyak rakyat Muslim setempat yang ragu untuk berobat ke rumah sakit misionaris Kristen, Leimena memulai sistem pengumpan dengan poliklinik-poliklinik di desa-desa yang dijalankan oleh mantri-mantri setempat untuk menyediakan pelayanan kesehatan, khususnya fungsi pencegahan penyakit.[19]
Selagi menjadi dokter, ia juga melanjutkan studinya dan pada tahun 1939 ia lulus dari Geneeskundige Hoogeschool te Batavia sebagai seorang dokter spesialis penyakit hati.[20] Pada tahun 1941, ia ditunjuk menjadi kepala RS Banyu Asin di Purwakarta. Seusai invasi Jepang, RS Banyu Asin sempat diduduki pasukan Jepang untuk sementara sebelum Leimena diperbolehkan kembali bekerja. Leimena ditahan oleh tentara pendudukan Jepang pada tahun 1943, kemungkinan karena perkawanannya dengan Amir Sjarifuddin atau karena ia merawat tentara Belanda yang terluka dalam Pertempuran Kalijati. Selama enam bulan di dalam tahanan, Leimena dipukuli oleh tentara Jepang.[21][22] Ia dilepaskan setelah merawat perwira Kenpeitai yang terjangkit malaria sampai sembuh, tetapi tempat kerjanya dipindahkan dari Purwakarta ke Tangerang.[23]
Revolusi dan RMS
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Leimana sedang bertugas di Tangerang. Seusai tewasnya 30 orang kadet TKR dalam peristiwa Lengkong, Leimena merawat sejumlah korban luka dan selama menjalankan tugas ini Leimena bertemu Soekarno yang menjenguk korban.[24] Dua bulan setelah peristiwa ini ia diundang untuk menjadi Menteri Muda Kesehatan dalam Kabinet Sjahrir II. Awalnya ia menolak karena tugasnya sebagai dokter, tetapi kawannya Amir Sjarifuddin mendorongnya untuk menerima tawaran tersebut.[24][25] Leimena ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I yang dibentuk tanggal 3 Juli 1947, dan terus menjabat sebagai Menkes sampai jatuhnya Kabinet Wilopo pada tahun 1953.[26] Selama periode revolusi, Leimena juga berperan dalam pendirian Parkindo tahun 1947 dan menjadi anggota pimpinan partai.[27][28] Belakangan Leimena ditunjuk menjadi Ketua Umum Parkindo seusai Kongres III Parkindo April 1950.[29]
Di luar jabatannya sebagai menteri Leimena juga menjabat Ketua Umum organisasi Pemuda Indonesia Maluku (PIM), sebuah organisasi yang didirikan oleh Johannes Latuharhary yang beranggotakan pemuda Ambon yang mendukung kemerdekaan Indonesia.[30] Meskipun kedua tokoh tersebut dihormati oleh anggota-anggota PIM, pengaruh mereka atas kegiatan PIM sehari-hari terbatas karena kurangnya koordinasi PIM (yang bergerak di Indonesia Timur) dengan tokoh-tokoh di pulau Jawa.[31] Selama menjabat menteri, Leimena awalnya tinggal di Jakarta, tetapi pada tahun 1946 ia pindah ke Yogyakarta karena tentara Belanda yang kelamaan semakin banyak di Jakarta.[30] Leimena dikirim sebagai anggota tim perundingan dalam berbagai perjanjian[32] – Perundingan Linggarjati tahun 1946,[33]Perjanjian Renville dan Perjanjian Roem-Roijen tahun 1948, dan Konferensi Meja Bundar tahun 1949 (sebagai anggota delegasi militer).[34][35] Leimena merupakan salah seorang menteri RI yang tidak tertangkap selama Agresi Militer Belanda II, dan pada bulan Januari 1949 ia turut berunding dengan perwakilan negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat di Jakarta.[36]
Setelah kedaulatan diserahkan ke Indonesia, Republik Maluku Selatan dideklarasikan di Ambon, sehingga Leimena diutus sebagai kepala juru runding pemerintah ("misi Leimena") beserta kapal perang KRI Hang Tuah. Sebelumnya, Leimena berencana terbang ke Ambon, tetapi keputusannya dianulir Menteri Pertahanan. Para pemimpin RMS tidak bersedia menerima undangan Leimena untuk berunding di atas kapal Hang Tuah dan meminta agar perundingan dilangsungkan di atas kapal berbendera netral dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[37] Mereka juga meminta agar dalam perundingan RMS diberlakukan sebagai suatu negara merdeka, dan permintaan ini tidak dapat diterima tim perundingan Indonesia.[38] Setelah beberapa kali gagal, Leimena kembali dikirim pada Juni 1950 untuk mencoba lagi, tetapi kali ini gagal karena tidak adanya jalur transportasi ke Maluku. Pada tanggal 27 September, Leimena diutus kembali ke Namlea, Buru dengan wewenang memberikan amnesti ke pemimpin RMS dan untuk merundingkan otonomi khusus, tetapi sehari kemudian TNI mendarat di Ambon sebelum perundingan dapat bermulai.[39]
Sebagai Menkes
Ketika perang kemerdekaan sudah usai, kondisi pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia berada di bawah harapan para pemimpin Republik, karena pemerintah kolonial yang kurang peduli, malnutrisi dan pengambilalihan rumah sakit selama pendudukan militer Jepang. Ditambah lagi oleh keributan selama masa perang kemerdekaan.[40] Sebagai Menteri Kesehatan, Leimena memandang kesehatan masyarakat sebagai komponen penting untuk pembangunan Indonesia dan untuk memajukan sosioekonomi masyarakat, karena itu ia berfokus untuk mengembangkan sistem profilaksis (pencegahan) dan kebersihan di wilayah-wilayah pedesaan.[41] Kebijakan ini bertolakbelakang dengan kebijakan zaman kolonial, yang memfokuskan pelayanan kesehatan di wilayah perkotaan.[42]
Pada tahun 1950, pemerintah daerah Bandung merintis proyek kesehatan yang berdasarkan jaringan rumah sakit misionaris seperti tempat Leimena sempat bekerja, dengan sejumlah klinik di pedesaan yang mendukung jalannya pelayanan dari rumah sakit pusat di kota. Sistem ini dijalankan dengan sistemnya sendiri dan diarahkan oleh dokter kepala di tingkatan kabupaten. Sistem ini, yang dikenal dengan istilah "Bandung Plan" (alias "Leimena Plan"[43]), didukung oleh Leimena,[41][44] dan berdasarkan hasil kerjanya di RS Zending Imanuel.[19][45] Bandung Plan ini awalnya direncanakan akan diimplementasikan di seluruh Indonesia pada tahun 1954, tetapi rencana ini batal karena masalah administratif dan ketersediaan anggaran.[41] Di luar kedua masalah tersebut, ketersediaan dokter menjadi faktor lainnya. Banyak dokter warga Indonesia yang menjadi perwira militer atau politikus sedangkan dokter keturunan Eropa banyak yang meninggalkan Indonesia setelah perang kemerdekaan.[46] Walaupun terhalang oleh rintangan-rintangan tersebut, Bandung Plan menjadi landasan dari sistem Puskesmas yang mulai diluncurkan pada akhir tahun 1960-an.[47]
Selain itu, masalah angka kematian ibu dan anak yang cukup tinggi juga menjadi perhatian Leimena. Pada tahun 1951, statistik di rumah sakit besar menunjukkan angka kematian ibu melahirkan mencapai 12-16%, yang artinya ada 12-16 kematian per 1000 ibu melahirkan. Angka kematian bayi mencapai 115-300%, yang artinya ada 115-300 kematian per 1000 bayi yang dilahirkan. Angka mortalitas ibu dan bayi selain di rumah sakit besar diperkirakan lebih tinggi lagi.[48] Sebagai menteri kesehatan, Leimena menginisiasi pendirian Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) pada 1951.[49]
Di bawah kepemimpinan Leimena, sejumlah UU yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk UU yang mencakup aturan yang mewajibkan dokter bekerja sebagai dokter pemerintah minimal tiga tahun sebelum menjadi dokter swasta, memperbolehkan pemerintah melarang klinik-klinik swasta, dan memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih jasa medis swasta dalam keadaan genting.[50] Pada tahun 1952, Leimena juga merumuskan peraturan yang membatasi perizinan membuka praktek kesehatan hanya kepada dokter yang memenuhi kualifikasi dan bukan kepada praktisi medis lain seperti perawat atau bidan.[51] Dalam hal gizi, Leimena membentuk Lembaga Makanan Rakyat yang berfungsi mendidik masyarakat mengenai nutrisi.[52]
Pada tahun 1953, Leimena melakukan kunjungan kerja ke Eropa dengan pendanaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di Eropa, ia mengamati sistem kesehatan publik di Norwegia, Britania Raya (National Health Service), dan Yugoslavia. Dalam perjalanan pulang, ia juga berkunjung ke Mesir, India, dan Singapura untuk berpartisipasi dalam kuliah dan diskusi publik selain juga mempelajari sistem kesehatan di sana. Leimena terkesan khususnya oleh sistem kesehatan di Norwegia yang mengaitkan pentingnya asupan gizi dan kondisi kerja dalam kesehatan publik.[53] Dalam hal urusan luar negeri, Leimena khawatir akan kemungkinan bantuan kesehatan yang digunakan negara maju untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri dan politik internal Indonesia, sehingga ia menyerukan agar bantuan kesehatan diberikan tanpa syarat.[54] Periode pertamanya sebagai Menkes berakhir tanggal 30 Juli 1953. Leimena kemudian kembali menjabat sebagai Menkes dalam Kabinet Burhanuddin Harahap pada 12 Agustus 1955.[55]
Dalam bulan-bulan terakhir Kabinet Burhanuddin Harahap, Leimena diutus ke Jenewa untuk merundingkan masalah Irian Barat dengan Belanda. Meskipun delegasinya berhasil mendapatkan persetujuan delegasi Belanda terhadap penghapusan Uni Belanda-Indonesia dan sejumlah konsesi ekonomisi lainnya, pergolakan politik di Indonesia mengakibatkan delegasi tersebut dipanggil kembali. Leimena tinggal di Jenewa selama beberapa waktu dan merasa frustasi, sampai ia sempat mempertimbangkan untuk mundur dari jabatannya karena merasa "seperti nelayan yang sudah menangkap ikan, disuruh dilempar kembali".[56] Setelah jatuhnya Kabinet Burhanuddin Harahap, Ali Sastroamidjojo dengan sengaja tidak mengundang menteri-menteri dalam kabinet tersebut untuk kembali menjadi menteri, sehingga Leimena tidak lagi menjabat sebagai menteri kesehatan.[57] Sekitar waktu itu, Leimena sudah terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari dapil Maluku dan fraksi Parkindo seusai Pemilu 1955.[58][59] Setelah DPR hasil pemilihan umum tersebut dibubarkan pada tahun 1959, Leimena ditunjuk kembali sebagai anggota DPR transisional oleh Soekarno. Namun, ia tidak hadir dalam pengambilan sumpah jabatan DPR pada tanggal 23 Juli 1959 dan ia pun mengundurkan diri dari DPR beberapa minggu kemudian.[60] Leimena juga terpilih sebagai anggota Konstituante dari dapil Maluku[61] dan menjadi wakil ketua lembaga tersebut, namun mengundurkan diri setahun kemudian karena ditunjuk sebagai menteri.[62]
Di luar jabatan menterinya, Leimena turut serta dalam organisasi Dewan Gereja Indonesia (sekarang menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, PGI) dan terpilih sebagai wakil ketuanya pada tahun 1950. Jabatan ini dipegang Leimena sampai tahun 1964 dan sejak tahun itu hingga ia wafat, ia memegang jabatan ketua kehormatan.[63] Pada tahun 1950 juga, Leimena mendirikan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.[64]
Demokrasi Terpimpin
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh, Leimena menyatakan bahwa kabinet-kabinet kedepannya harus bersifat lebih inklusif dan mencakup partai-partai yang sebelumnya tidak masuk dalam pemerintahan.[65] Leimena sendiri diikutsertakan dalam Kabinet Djuanda, awalnya sebagai Menteri Sosial ketika kabinet tersebut diumumkan tanggal 9 April 1957, tetapi ia ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) tahun itu juga.[55] Sejak bulan Mei 1957, Leimena menjadi anggota Dewan Nasional dan masih di tahun itu ia ditunjuk sebagai anggota Panitia 7 orang yang bertugas untuk menangani permasalahan dalam TNI Angkatan Darat beserta Presiden dan Wapres Soekarno dan Mohammad Hatta, Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, Kasad TNI AD Abdul Haris Nasution, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Menkes Abdul Azis Saleh.[66] Leimena dianggap seorang loyalis Soekarno yang masih mendukung Soekarno seusai Dekret Presiden 5 Juli 1959. Dikarenakan kesibukan Leimena dalam pemerintahan, jabatan ketua umum Parkindo didelegasikan ke Albert Mangaratua Tambunan.[67]
Seusai Dekret 1959, Leimena ditunjuk menjadi Menteri Distribusi, lalu kembali menjadi Waperdam.[55] Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Distribusi, Leimena memandang pentingnya memperbaiki asupan gizi untuk meningkatkan produktivitas pekerja, sehingga ia bertekad untuk mencapai swasembada beras. Untuk mencapai target ini, ia mendorong memajukan pertanian intensif di pulau Jawa, dan memperluas lahan pertanian di luar Jawa. Meskipun rencana Leimena dianggap ambisius, implementasinya menghadapi masalah karena perlunya koordinasi dengan kementerian-kementerian lainnya.[68]
Selama Operasi Trikora, Leimena menjadi anggota Komando Operasi Tertinggi. Dalam kapasitas ini, ia diberikan pangkat tituler sebagai Laksamana Madya pada tahun 1962 dan Laksamana (bintang empat) pada tahun 1964.[69][70] Djuanda mendadak wafat pada bulan November 1963, sehingga presiden Soekarno membentuk presidium beranggotakan tiga orang yang terdiri dari Leimena, Subandrio dan Chaerul Saleh untuk memimpin kabinet.[71] Selama masa demokrasi terpimpin ini, Leimena yang dikenal berpihak ke Soekarno dinilai berbakat dalam menangani kalangan politikus dan elite lainnya, meskipun ia tidak begitu sukses dalam menggalang dukungan masyarakat umum.[72] Ia sempat tujuh kali menjabat sebagai penjabat Presiden selama masa ini.[17]
G30S dan Supersemar
Biarlah saya terus saja disini, saya tidak akan lari, kalau mereka masuk pintu ini... biarkan saya mati, karena anak saya Karel Sadsuitubun telah meninggal dalam rangka tugas pengawalan terhadap diri saya.
— Leimena ke istrinya setelah mendengar berita kematian Sadsuitubun, 1 Oktober 1965[73]
Pada saat kejadian Gerakan 30 September (G30S) pada 1965, Leimena bertempat tinggal dekat rumah jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi salah satu sasaran utama pihak G30S. Pada dini hari itu, ada sekitar seratus orang yang terlibat upaya penculikan Nasution, dan karena Leimena dijaga secara pribadi oleh tiga orang pengawal, para penculik bermaksud untuk memastikan ketiga orang tersebut tidak mengganggu. Baku tembak pun terjadi dan seorang pengawal Leimena Karel Sadsuitubun gugur. Seusai kejadian tersebut, rumah Leimana tidak diusik lagi, dan Leimena sendiri tidak disentuh.[74][75] Begitu Leimena tahu bahwa pengawalnya terbunuh, ia menolak untuk melarikan diri dan berkeras untuk tinggal di rumah.[76] Sebelum peristiwa-peristiwa yang berlangsung menjadi jelas, Leimena awalnya dianggap sebagai sasaran utama para penculik dan laporan berita awalnya lebih berfokus ke kejadian di rumah Leimena.[75] Bahkan, awalnya Soeharto (saat itu panglima Kostrad) diberitahu oleh Umar Wirahadikusumah bahwa Leimena telah ikut diculik.[77]
Beberapa jam setelah peristiwa tersebut, masih di tanggal 1 Oktober, Leimena dipanggil oleh Soekarno ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, tempat Soekarno sedang berunding dengan beberapa pimpinan G30S.[78][79] Sebelum berangkat ke Halim, Leimena berdiskusi dengan Soeharto dan membawakan pesan dari Soeharto yang meminta Soekarno meninggalkan Halim sebelum pukul 16.30. Soeharto sebelumnya telah mengultimatum pihak G30S untuk meletakkan senjata sebelum pukul 16:30 dan mengancam akan menyerbu Halim apabila mereka tidak menyerah.[79] Setelah tiba di Halim, Leimena terus berada di dekat Soekarno sepanjang sore itu.[80] Setelah pembicaraan disana dan persetujuan Soekarno untuk menggantikan Ahmad Yani yang baru dibunuh dengan Pranoto Reksosamudro sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, mereka diberitahukan bahwa Soeharto sedang mempersiapkan penyerbuan ke Halim. Tokoh-tokoh G30S seperti Omar Dhani mencoba meyakinkan Soekarno untuk mengikuti mereka ke Madiun, ke Jawa Timur atau ke Bali, tetapi Leimena berhasil memastikan bahwa Soekarno tidak dibawa pergi. Leimena menganggap bahwa apabila Soekarno mengikuti saran Dhani dkk, perang saudara dapat saja pecah.[80][81] Karena Leimena, rencana pihak G30S yang ingin membawa Soekarno ke lokasi yang dikendalikan mereka digagalkan, dan Soekarno sendiri memutuskan untuk kembali ke Istana Bogor sehingga ia tidak dapat dilibatkan dalam rencana-rencana kudeta.[82][83][80] Sore itu, pihak G30S di bawah Kolonel Untung Syamsuri mengumumkan "Dewan Revolusi Indonesia" yang termasuk Leimena, beserta banyak menteri dan petinggi negara lainnya.[84][85]
Leimena kemudian ditunjuk sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan ad interim dan pada tanggal 3 Maret 1966 ia memerintahkan universitas-universitas ditutup. Perintahnya diabaikan oleh kesatuan-kesatuan TNI yang mengawal aktivitas di kampus-kampus.[86] Pada tanggal 11 Maret, Leimena ikut dalam suatu rapat kabinet di Jakarta, ketika sejumlah tentara memosisikan diri di depan Istana Presiden. Sore itu, Soekarno beserta ketiga Waperdam (Leimena, Subandrio, dan Chaerul Saleh) bertemu sejumlah jenderal TNI (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rachmat) di Istana Bogor. Hasil dari pertemuan tersebut merupakan Surat Perintah Sebelas Maret yang pada dasarnya menyerahkan sejumlah besar kekuasaan darurat ke Soeharto.[87] Tak lama kemudian, pada tanggal 16 Maret, pertemuan lain yang diikuti Leimena berlangsung, dan dalam pertemuan itu Soekarno menolak permintaan untuk merombak kabinetnya.[88] Akan tetapi, pada tanggal 18 Maret 1966, 15 orang menteri Soekarno ditangkap.[b] Meskipun demikian, Leimena tetap menjabat sebagai menteri dan ditunjuk sebagai anggota bagian kabinet beranggotakan lima orang: Leimena, Hamengkubuwono IX, Idham Chalid, Adam Malik, dan Ruslan Abdulgani.[90][91] Ia pada waktu itu sudah menjabat sebagai menteri dalam berbagai kabinet selama hampir dua puluh tahun.[92]
Orde Baru
Awalnya Soeharto berniat untuk menjadikan Leimena menteri juga dalam pemerintahannya, tetapi Leimena sendiri menolak secara tidak langsung melalui Hamengkubuwono IX.[92] Maka itu, Leimena ditunjuk sebagai caretaker (pejabat sementara) Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) antara 1966 dan 1968. Seusai masa jabatannya habis, ia tetap menjadi anggota DPA sampai tahun 1973. Dalam ranah ini ia meluruskan isu-isu internal DPA, khususnya dalam perihal perpajakan, pendidikan, dan suksesi presiden.[82] Ia juga ditunjuk sebagai direktur di Rumah Sakit Cikini pada tahun 1968.[93] Selama masa Orde Baru, Leimena menjadi salah satu dari segelintir politisi yang tidak menjauhkan diri dari Soekarno.[94]
Tugas seorang Kristen Indonesia adalah memperlihatkan bahwa menjadi Kristen tidak ada sangkut pautnya dengan kolonialisme. Menjadi Kristen berarti hidup dalam dua dunia, sebagai anggota yang hidup dari bangsa sendiri dan juga sebagai anggota persekutuan orang-orang kudus di dalam Kristus.
Tulisan Leimena dalam majalah Belanda Eltheto, 1935[97]
Sebelum Indonesia merdeka, Leimena beberapa kali berbicara mengenai perbedaan antara gerakan Kristiani di skala internasional dan gerakan kemerdekaan Indonesia di skala nasional.[98] Dalam pidato-pidato yang disampaikan dalam pertemuan DGI, Leimena mendorong pandangannya bahwa ada kesamaan kepentingan antara pihak gereja dan pihak negara.[99]
Leimena merupakan seorang tokoh yang secara vokal menolak Darul Islam, separatisme, dan komunisme sehingga ia dinilai sehaluan dengan posisi politik Soekarno yang mendorong negara berdasarkan Pancasila serta dengan sejumlah tokoh Islam yang cenderung sosialis seperti Mohammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara. Menurut Soekarno, Leimena "berjiwa dominee, tetapi ia tak pernah berhenti melawan imperialisme-kolonialisme".[98][100][101] Soekarno sendiri sering menyebut Leimena dengan julukan "mijn dominee" (pendetaku).[92]
Kehidupan pribadi
Selama bersekolah di STOVIA, Leimena aktif bermain sepakbola dan sering kali ikut dalam tim sepakbola STOVIA dan sejumlah klub lokal pada masanya.[102] Ia bertemu dengan istrinya Wijarsih Prawiradilaga selama bertugas sebagai dokter di Bandung.[103] Pasangan ini memiliki delapan anak yaitu empat anak laki-laki dan empat anak perempuan.[104] Salah seorang putrinya, Melani Leimena Suharli, menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2009–2014.[105]
Leimena dikenang keluarganya sebagai sosok sederhana, khususnya dalam hal pakaian. Ia terbiasa memakai kemeja putih dengan gaya yang sama tiap kali.[106] Menurut Soekarno dalam autobiografinya, Leimena tidak memiliki pakaian formal selama jalannya revolusi, sehingga saat ia dikirim dalam kapasitas diplomasi ia harus meminjam jas dan dasi dari koleganya.[64]
Wafat
Leimena meninggal di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1977, sekitar pukul 7.30 pagi. Ia sempat mengeluh sakit seusai pulang dari Eropa sebelumnya dan saat kembali ke Indonesia, ia menggunakan kursi roda. Seusai acara pemakamannya, Leimena dikuburkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[107]
Penghargaan
Ia mendapatkan tanda kehormatan, diantaranya;[108]
Menurut Soekarno dan Mohammad Roem, Leimena merupakan seorang politisi yang jujur dan diplomat yang berbakat.[64][97] Menurut Sutan Sjahrir, hubungan antara Leimena dan Soekarno berjalan dengan Leimena menyampaikan pikirannya "secara tulus kepada Bung Karno, tetapi dia tak akan pernah melepaskan Bung Karno sendirian."[97] Ia dianggap sebagai tokoh senior oleh sejawatnya, sehingga ia tidak dijuluki "Bung" sebagaimana biasa, tetapi lebih umum dijuluki "Om Jo".[24]
Murakami, Saki (2015). "Call for Doctors!: Uneven Medical Provision and the Modernization of State Health Care during the Decolonization of Indonesia, 1930s–1950s". Cars, Conduits, and Kampongs. Brill. hlm. 29–62. ISBN978-9-00428-072-4. JSTOR10.1163/j.ctt1w76ts6.7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)