Jalur kereta api Anyer Kidul–Kampung Bandan adalah jalur kereta api di ujung paling barat Jawa yang menghubungkan Stasiun Merak dengan Stasiun Tanah Abang. Seluruh jalur ini termasuk dalam pengelolaan KAI Commuter wilayah I Jakarta, dan secara kolektif, jalur utama yang melayani wilayah Banten ini dirujuk sebagai "lintas barat Jawa", bersama dengan Labuan–Rangkasbitung dan Saketi–Bayah; dan dalam bahasa Belanda, jalur ini secara kolektif disebut Bantamlijn.
Segmen Rangkasbitung–Kampung Bandan merupakan segmen yang saat ini sudah digandakan dan telah menjalani elektrifikasi untuk pelayanan KRL Commuter Line. Sampai sekarang, jalur ini tidak memiliki percabangan jalur sama sekali selain di Tonjong Baru (saat ini kondisinya nonaktif) menuju Pelabuhan Bojonegara dan Krenceng menuju Stasiun Cigading, tetapi dahulu jalur ini memiliki percabangan di beberapa tempat, antara lain di Rangkasbitung menuju Labuan dan Krenceng menuju Anyer Kidul. Anyer Kidul dahulu merupakan terminus untuk jalur ini, sebelum akhirnya dipindahkan ke Merak. Jalur ini merupakan salah satu jalur yang tidak dilayani dan dilintasi Kereta api Jarak Jauh (KAJJ) manapun selain lintas Tangerang–Duri setelah berhenti beroperasinya Kereta api Krakatau.
Sebelum dibangunnya jalur ini, Banten masih terisolasi dari Batavia. Agar mobilitas penumpang dari Batavia hingga kawasan Banten semakin lancar, maka pada tahun 1890-an perusahaan Staatsspoorwegen (SS) berencana membangun sebuah jalur kereta api yang menghubungkan daerah Duri hingga daerah Serang, melalui daerah Tangerang dan Cikande.[2]
Pada 15 Juli 1896, pemerintah menerbtkan Wet 15 Juli 1896 Staatssblad No. 180. guna mengizinkan SS untuk membangun jalur kereta api dari Stasiun Batavia BOS sampai Anyer ditambah dengan cabang dari Duri ke Tangerang dan dari Tanah Abang ke Weltevreden.[1] Di tengah jalannya pembangunan, rencana trase jalur yang semula melalui Cikande hingga akhirnya Serang ini akhirnya diubah menjadi melalui daerah Parung Panjang hingga ke Rangkasbitung,[2] Segmen yang terwujud ini selesai pada 1 Oktober 1899; mulanya berawal dari Batavia BOS kemudian membelok ke kiri arah Angke.[3] Trase jalur kereta api pertama yang sudah telanjur dibangun pun dicukupkan pembangunannya hanya sampai di daerah Tangerang, dan diresmikan sebagai jalur kereta api Tangerang–Duri yang berstatus sebagai jalur cabang. Jalur ini selesai dibangun pada 2 Januari 1899.[4]
Pada tanggal 12 September 1923, sehubungan dengan penataan tata ruang Batavia yang baru, segmen Angke menuju Batavia BOS (Batavia-Zuid) kemudian diubah menjadi membelok ke kanan melalui Gerbang Amsterdam, kemudian membelok lagi ke kanan menuju Stasiun Kampung Bandan lama.[7]:73 Jalur segmen Kampung Bandan–Tanah Abang sudah otomatis digandakan saat proyek berlangsung.[8]
Pembangunan jalur ganda dan elektrifikasi
Tragedi Bintaro 1987 di petak jalan Sudimara–Kebayoran rupanya telah memberikan ilham terhadap masa depan perkeretaapian Indonesia. Salah satu hal yang memberi pengaruh adalah terkait sejarah pembangunan jalur ganda dan elektrifikasi untuk kereta api jarak jauh dan perkotaan di Pulau Jawa.
Proses elektrifikasi jalur kereta api di lintas ini dilakukan berbarengan dengan rencana pembukaan layanan baru KRL Jabotabek, yaitu Serpong Ekspres. Untuk mendukungnya, sejak 1990–1994, gardulistrik aliran atas (LAA) mulai dibangun di sepanjang lintas ini, serta jalur ganda untuk mengakomodasi volume KRL yang terus bertambah. Dengan dinyalakannya gardu LAA di Karet, Limo, dan Jurangmangu berturut-turut per 3 Juli, 3 Agustus, dan 3 Desember 1994, KRL akhirnya dapat beroperasi di jalur Tanah Abang–Serpong. Kapasitas lintas ini kemudian ditambah seiring selesainya gardu LAA di Stasiun Serpong dan Bintaro per April 1997.[9]
Peningkatan juga dilakukan oleh PT KA dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian di banyak stasiun. Stasiun Serpong yang saat ini ada, diresmikan oleh PresidenSusilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Juli 2007 sebagai stasiun percontohan dengan arsitektur modern, bersamaan dengan peresmian dan peningkatan jalur segmen Tanah Abang–Serpong menjadi jalur ganda.[10]
Peningkatan juga dilakukan setelah peresmian Stasiun Serpong. Jalur ganda mulai diperpanjang lagi sebagai bagian dari rencana perpanjangan relasi KRL Serpong Ekspres. Stasiun Parung Panjang mulai melayani perjalanan KRL sejak 2009.[11] Pada bulan Mei 2012, jalur ganda dan perpanjangan jaringan jalur KRL menuju Maja mulai diuji coba.[12]Stasiun Maja, sejak tanggal 17 April 2013, sudah melayani KRL/Commuter Line.[13]
Sejak 2013, petak rel antara Stasiun Maja hingga Stasiun Rangkasbitung dibangun menjadi jalur ganda.[14] Pembangunan jalur ganda ini diperkirakan akan menghabiskan biaya hingga Rp765 miliar, dan diharapkan telah selesai pada 2016 sehingga dapat digunakan untuk mengoperasikan KRL Commuter Line hingga ke Rangkasbitung.[15] Pada Desember 2014, telah dilakukan proses gali uruk dan pemadatan badan jalan (formation layer) pada lintasan baru antara Stasiun Maja dan Citeras, serta pemasangan tiang-tiang LAA (listrik aliran atas) di sekitar Stasiun Rangkasbitung.
Dengan selesainya jalur ganda dan elektrifikasi Tanah Abang–Rangkasbitung, segmen ini hanya dilayani KRL saja per 1 April 2017.[16]
Sehubungan dengan pengembangan lintas Rangkasbitung–Merak, Direktorat Jenderal Perkeretaapian akan mengganti rel dari R42 ke R54[17] serta perpanjangan elektrifikasi KRL lagi ke arah Serang.[18] Peningkatan rel tersebut sudah termasuk penggantian jenis bantalan dari besi ke beton pada segmen Rangkasbitung–Serang, sedangkan segmen Serang–Merak akan dilakukan di tahap selanjutnya.
Jalur sejauh sejauh 12 km ini lebih dahulu dibuka pada tahun 1899 dan menjadi segmen terakhir dari jalur ini hingga pengoperasian pelabuhan dan stasiun baru di Merak. Jalur ini ditutup hingga stasiun Cigading pada 2 September 1981[19] karena perkembangan Pelabuhan Merak yang lebih terjangkau untuk menyeberang ke Lampung daripada lewat Anyer, terkhususnya setelah dibukanya Pelabuhan Bakauheni.
^ abSteven Anne Reitsma (1928). Korte Geschiesdenis der Nederlands-Indische Staatsspoor- en Tramwegen. Weltevreden: G. KOLLF & Co.
^ abAnne Reitsma, Steven (1916). Indische Spoorweg-Politiek. Batavia: Landsdrukkerij.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Antwerpen: Kluwer Technische Boeken B.V.
^Anne Reitsma, Steven (1928). Korte Geschiesdenis der Nederlands-Indische Staatsspoor- en Tramwegen. Weltevreden: G. KOLLF & Co.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Staatsspoorwegen (1921–1932). Verslag der Staatsspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indië 1921-1932. Batavia: Burgerlijke Openbare Werken.
^Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero).Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.