Kasus korupsi pengadaan Al-Quran merujuk pada kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Agama pada APBN-P 2011 dan APBN 2012. Anggaran sebesar Rp 22,855 miliar untuk pengadaan Al-Quran menjadi latar belakang dari perkara ini. Kasus ini melibatkan beberapa nama sebagai tersangka, mulai dari Zulkarnaen Djabbar, Dendy Prasetia, Ahmad Jauhari bahkan hingga Fahd El Fouz alias Fahd A Rafqi. Atas kasus ini, total kerugian yang ditanggung oleh negara adalah sebesar Rp 14 miliar.[1][2]
Kronologi awal
Kasus ini bermula dari adanya dana sebesar Rp 22,855 miliar untuk proyek pengadaan Al-Quran yang dimiliki oleh Kementerian Agama untuk tahun 2011. Pada September 2011 Zulkarnaen Djabar, anggota badan anggaran DPR RI periode 2009-2014 melakukan pertemuan dengan Dendy Prasetia dan Fahd A Rafiq di ruang kerjanya di Gedung DPR RI. Dalam pertemuan tersebut, ia memberitahukan kepada mereka berdua perihal proyek pengadaan Al-Quran dan laboratorium komputer. Ia juga meminta mereka berdua untuk memeriksa informasi itu dan meminta keduanya untuk menjadi broker dari proyek tersebut.[3]
Di bulan yang sama, Zulkarnaen Djabar melakukan percakapan via telepon dengan Setditjen Binmas Islam, Abdul Karim via telepon. Isi percakapan tersebut adalah tentang persetujuan Nasaruddin Umar akan proyek pengadaan Al-Quran dan peringatan untuk melakukan proyek dengan sebagaimana mestinya. Setelah melalui proses lelang, ditetapkanlah PT Adhi Aksara Abadi Indonesia (AAAI) sebagai pemenang. Namun hasil tersebut tidaklah murni karena telah direkayasa oleh Fahd. Berstatus sebagai pemenang, PT AAAI lalu melakukan subkontrak sebanyak 200 ribu dari 653 ribu eksemplar Al-Quran kepada PT Macanan Jaya Cemerlang.[4]
Setelah menjadi broker pada pengadaan Al-Quran untuk tahun 2011, Fahd dan Dendy kembali menjadi broker untuk tahun 2012 dengan APBN sebesar Rp 59,375 miliar. Untuk mengerjakan proyek, pelaku proyek harus membayar fee kepada Fahd dan Dendy sebesar 15 persen. Abdul Kadir Alaydrus selaku perwakilan dari PT Sinergi Pustaka Indonesia dan Ali Djufrie dari PT Adhi Aksara Abadi Indonesia kemudian memenuhi permintaan tersebut. Setelah melalui proses lelang, ditetapkanlah PT Sinergi Pustaka Utama sebagai pemenang lelang. Atas pembayaran fee yang diberikan oleh kedua pemenang lelang, Dendy dan Fahd lalu diperkaya dengan Rp 9,25 miliar untuk pengadaan Al-Quran tahun 2011 dan Rp 400 juta untuk pengadaan Al-Quran tahun 2011. Fahd bahkan tercatat pernah menerima keseluruhan uang sebesar Rp 3,411 miliar.[3]
Zulkarnaen dan Dendy
Pada 29 Juni 2012 KPK menetapkan Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetia sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama setelah memiliki dua alat bukti. Zulkarnaen dinilai bersalah karena menerima suap dari sebuah perusahaan yang ingin terlibat dalam proyek pengadaan Al-Quran. Sementara itu Dendy Prasetia dinilai bersalah karena telah memberikan suap kepada Zulkarnaen karena telah memuluskan rencananya untuk terlibat dalam proyek dan berusaha mempengaruhi oknum Ditjen Bimas Islam untuk menggolkan perusahaan tertentu dalam proyek pengadaan Al Quran.[5][6][7]
Menindaklanjuti penetapan tersangka, KPK lalu melakukan penahanan terhadap Zulkarnaen Djabar usai diperiksa pertama kali oleh KPK pada 7 September 2012. Untuk penyidikan lebih lanjut, KPK kemudian mengirimnya ke Rumah Tahanan KPK. Walau ditahan selama 20 hari ke depan, Zulkarnaen mengaku bahwa ia akan bersifat kooperatif.[8]
Sementara itu Dedy Prasetia lalu diperiksa oleh KPK untuk pertama kalinya pada 18 Oktober 2012 di gedung KPK. Saat itu ia datang bersama kuasa hukumnya, Erman Umar dengan menggunakan tongkat penyangga kaki karena sempat mengalami kecelakaan mobil. Atas kondisi tersebut, pihak Dedy meminta kepada KPK untuk tidak menahannya dengan istri Dedy, Della Savitri sendiri sebagai jaminan.[9][10]
Perkembangan kasus atas nama Dendy kemudian berlanjut pada penahanan dirinya oleh KPK pada 4 Januari 2013. Sejak itu Dendy dijebloskan ke Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Timur selama 20 hari ke depan. Penahanan tersebut dilakukan karena berkas P21 atas namanya sudah lengkap.[11]
Persidangan
Sidang perdana atas tersangka Dendy Prasetia diadakan pada 28 Januari 2013 pada pukul 15.00 WIB. Sidang atas nama ayahnya, Zulkarnaen Djabar juga dilakukan pada hari yang sama.[12] Dalam sidang tersebut didapati hasil bahwa Priyo Budi Santoso yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua DPR menerima uang sebesar 3,5 persen dari pekerjaan pengadaan kitab suci al quran tahun 2011 yang senilai Rp 22 miliar. Hasil lainnya adalah perhitungan rencana pembagian fee untuk Priyo dilakukan oleh Dendy dan Fahd. Dihubungi oleh salah satu media, Prio membantahnya dan mengaku tidak terkait sama sekali dengan hal tersebut.[13]
Menindaklanjuti sidang sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lalu mengadakan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan pada 6 Mei 2013. Sedianya sidang diadakan pada pukul 14.00 WIB namun karena satu hal, sidang akhirnya molor dan baru bisa diadakan sekitar pukul 17.15 WIB. Dalam sidang tersebut majelis membahas tentang keterlibatan antara Zulkarnaen, Dendy dan Fahd dalam rencana pembagian fee terkait proyek pengadaan Al-Quran untuk 2011-2012.[14] Ditambah dengan kasus pengadaan alat laboratorium komputer, Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut Dendy untuk dihukum dengan kurungan penjara selama 9 tahun dan denda senilai Rp 300 juta subsider 4 bulan penjara. Bersama ayahnya, mereka juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp 14,39 miliar, dikurangi jumlah uang yang telah disita oleh penyidik KPK sebesar Rp 210,8 juta dalam rentang waktu 1 bulan atau penjara 3 bulan jika tidak sanggup membayarnya.[15]
Pemberian vonis
Pada sidang dengan agenda pembacaan vonis yang dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 30 Mei 2013, majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Zulkarnaen Djabar dengan kurungan penjara selama 15 tahun penjara plus denda Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan. Sementara itu Dendy divonis 8 tahun penjara beserta denda Rp 300 juta atau diganti dengan penjara selama 4 bulan. Tak hanya itu saja, hukuman mereka juga bertambah dengan penggantian uang negara sebesar masing-masig Rp 5,7 miliar. Namun jika mereka tidak membayarnya dalan rentang waktu 1 bulan setelah keputusan ditetapkan, harta benda mereka akan disita dan kemudian dilelang untuk memenuhi penggantian uang tersebut. Keputusan tersebut dibuat karena mereka berdua terbukti terlibat dalam korupsi pada pengadaan laboratorium dan pengadaan Al-Quran 2011-2012 di Kementerian Agama.[16]
Ahmad Jauhari
Tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Al-Quran tidak hanya Dzulkarnaen dan Dendy Prasetya saja, melainkan juga berasal dari orang dalam, yakni pejabat Kementerian Agama itu sendiri. Pada 9 Januari 2013 KPK menetapkan tersangka baru, yakni Ahmad Jauhari yang saat itu menjabat sebagai Direktorat Bimas Islam Kementerian Agama. Penetapan Jauhari sebagai tersangka dilakukan berdasarkan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.[17]
Pada 13 Agustus 2013 KPK melakukan pemeriksaan terhadap Jauhari sebagai saksi di gedung KPK karena dianggap mengetahui perkara pengadaan alat laboratorium dan proyek pengadaan Al-Quran.[18] Untuk pengembangan penyidikan lebih lanjut, Jauhari kembali diperiksa di gedung KPK pada Senin, 16 September 2013.[19]
Setelah melalui berbagai pemeriksaan, Ahmad Jauhari kemudian ditahan oleh KPK di Rumah Tahanan Salemba pada 25 Oktober 2013.[20] Sidang pertama atas dirinya sebagai tersangka diadakan pada 6 Januari 2014. Saat itu ia didampingi Ahmad Rivai selaku kuasa hukumnya. Dalam sidang yang beragendakan pembacaan dakwaan ini ia disebut telah memperkaya Mashuri dengan uang sebesar Rp 50 juta dan 5.000 dollar AS serta memperkaya PT Perkasa Jaya Abadi Nusantara milik keluarga Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetia dengan uang senilai Rp 6,750 miliar, PT A3I sebesar Rp 5,823 miliar dan PT SPI sebesar Rp 21,23 miliar. Disinggung mengenai apakah ada keterlibatan wakil menteri agama, Nasarudin Umar, ia memilih tak berkomentar.[21]
Sidang belum selesai dilaksanakan. Per 10 April 2014 Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi kembali menggelar sidang dengan agenda pembacaan tuntutan jaksa. Dalam sidang ini JPU meminta kepada majelis hakim untuk memberikannya hukuman berupa 13 tahun penjara dan denda 200 juta subsider 6 bulan kurungan penjara. Selain itu jaksa juga menuntutnya untuk wajib membayar uang pengganti sebesar Rp 100 juta dan 15.000 dollar AS dikurangi jumlah yang telah dikembalikan.[22][23]
Menjawab tuntutan jaksa, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi lalu mengadakan sidang terakhir dengan agenda pembacaan vonis. Dalam sidang tersebut Majelis Hakim memutuskan untuk memberikan hukuman kepada Jauhari kurungan penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsider enam bulan penjara. Keputusan tersebut diambil setelah ia terbukti menerima uang sebesar Rp 100 juta dan US$ 15 ribu dari pengadaan proyek Alquran tahun 2011 dan 2012.[24]
Fahd El Fouz
Pada Kamis, 27 April 2017 KPK menetapkan Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq sebagai tersangka keempat pada kasus korupsi pengadaan Al-Quran setelah Zulkarnaen, Dendy dan Jauhari. Ketua DPP Golkar Bidang Pemuda dan Olahraga ini ditetapkan karena ia bersama Zulkarnaen dan Dendy menerima hadiah atau janji dalam pengadaan Al-Quran dari pihak-pihak tertentu.[25] Ia disangkakan melanggar Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf b lebih subsider Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[26] Keesokkan harinya, yakni pada Jumat, 28 April 2017 KPK melakukan penahanan terhadap Fahd setelah diperiksa di gedung KPK. Fahd kemudian dikirim ke Rumah Tahanan Guntur selama 20 hari ke depan.[27]
Sebagai tindak lanjut, Fahd kemudian menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan pada Kamis, 13 Juli 2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.[28] Dalam sidang tersebut ia cukup kooperatif karena mau membantu KPK dalam menguak kasus ini.[29] Sidang kemudian berlanjut pada 31 Agustus 2017 dengan agenda pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum KPK. Dalam sidang tersebut ia dituntut hukuman selama lima tahun dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Kendati demikian, ia mengakui kesalahannya.[30]
Fahd kemudian dijatuhi hukuman oleh hakim berupa kurungan penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Vonis tersebut ditetapkan pada 28 Setember 2017 ia dalam sidang dengan agenda pembacaan vonis. Hakim memberikan hukuman lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa karena turut mempertimbangkan sikap Fahd yang kooperatif, seperti mengembalikan uang korupsi sebesar Rp 3,4 miliar.[31][32]
Tanggapan masyarakat
Kasus yang menjadikan kitab suci sebagai objek yang dikorupsi membuat kasus ini mendapatkan berbagai reaksi dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu media online di Indonesia yang berbasis di Inggris, BBC telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengeluarkan uneg-uneg dan menyampaikan pendapatnya terkait masalah ini pada akhir Juni 2012 melalui sms. Mistari, warga Banjarmasin beranggapan bahwa perilaku korupsi yang melibatkan kitab suci adalah tindakan yang hina. Ia pun mempertanyakan dimana akal dan hati para tersangka yang turut memakan uang haram dari kasus ini.[33]
Beda Mistari, beda pula dengan Riswadi. Warga Brebes, Jawa Timur ini berpendapat bahwa kasus pengadaan Al-Quran menjadi bukti bahwa betapa mudahnya uang dipermainkan di Indonesia sehingga menyebabkan maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia.Sementara itu, Dhawie yang berasal dari Medan, Sumatera Utara mengatakan bahwa buruknya iman menjadi faktor penyebab bahwa korupsi pun bisa terjadi pada kitab suci Al-Quran. Ia juga mempertanyakan apakah orang yang terlibat dalam kasus ini adalah manusia atau bukan dan berpendapat bahwa kekuatan hukum menjadi kunci dari terjadi atau tidak terjadinya suatu korupsi.[33]