Hukuman mati dan hak asasi manusia seringkali dianggap tidak lagi berhubungan satu sama lain, terutama dalam bahasan hak untuk hidup. Meskipun timbul pertentangan, masih banyak negara-negara di dunia yang menggunakan hukuman mati sebagai sanksi pidana. Contohnya di Amerika Serikat, di mana 38 dari 50 negara bagian masih memberlakukan hukuman mati sebagai sanksi pidana.[4]
Pada abad ke-17 pelaksanaan hukuman mati masih dengan cara yang dianggap kurang manusiawi. Contohnya dengan cara pemancungan, hukuman gantung, memukul hingga mati, mematahkan tulang iga, dibakar, dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, dan lain sebagainya. Kini perkembangannya jauh lebih modern. Di Pakistan dan Malaysia, hukuman mati dilakukan dengan cara digantung. Di Amerika Serikat dilaksanakan dengan menggunakan kursi listrik, ruang gas, atau pemberian suntik mati.[4]
Pertentangan mengenai hukuman mati pertama kali muncul dari Eropa Barat yang didukung oleh tokoh bernama Cesare Beccaria yang tertuang dalam sebuah tulisan yang diberi judul On Crime and Punishment pada tahun 1764. Setelah tulisan itu terbit, di abad ke 20 mulai terjadi reaksi untuk mereformasi beberapa kebijakan tentang pelaksanaan hukuman pidana, termasuk di dalamnya membahas tentang perubahan mengenai hukuman mati.[5]
Di tahun 1863, negara Venezuela menjadi negara pertama yang menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kriminalitas. Di tahun 1865, San Marino (di Eropa) juga ikut menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Di benua Asia, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati yaitu Kamboja, Timor Leste, Turkmenistan, dan Nepal. Di benua Afrika, negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati di antaranya, Mozambik, Namibia, Sao Tome dan Principe, dan Tanjung Verde.[5]
Teori absolut memiliki tujuan untuk pembalasan. Satu-satunya syarat untuk pemidanaan yaitu kesalahan moral. Pemberian hukuman harus sesuai dan setara dengan kejahatan moral yang dilakukannya. Teori ini tidak memiliki tujuan untuk memperbaiki kesalahan seperti mendidik atau mensosialisasikan pelaku kejahatan.[6] Mutlak pembalasan dari pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Orang yang melakukan kejahatan harus ada pembalasan yang berupa pidana (hukuman). Teori ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
Hukuman bertujuan untuk menakut-nakuti calon penjahat. Selain itu, penjahat yang mendapat hukuman dapat memperbaiki dan menyingkirkan penjahat.[4] Teori ini memberikan penjelasan bahwa tindak kejahatan bisa bertemu dengan pembenarannya, dengan syarat memberi manfaat bagi hak warga negara. Hukuman yang memberikan efek penderitaan diperbolehkan, sejauh dibutuhkan untuk menghasilkan pencegahan kerugian yang lebih besar. Hukuman juga dimaksudkan untuk memberikan kesadaran bagi pelaku kejahatan agar menyesali perbuatannya.[6] Teori ini dibagi menjadi empat yaitu:
Hukuman mati pertama kali dibahas dalam forum internasional di Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang tawanan perang. Isinya memuat tentang prosedur dan cara mengenai pemberian hukuman mati kepada tawanan perang. Peraturan yang dibuat, berlaku hingga kini. Selain itu, Konvensi Jenewa juga membahas tentang warga sipil, yang tidak diperbolehkan mendapatkan hukuman mati di wilayah yang ditempatinya.[5]
Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu. Isi pasal tersebut tidak menyebutkan secara spesifik mengenai hukuman mati.[5]
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memiliki tujuan untuk mewujudkan standar pencapaian bersama yang sudah ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hal Asasi Manusia. Isi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang berkaitan dengan hukuman mati tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 7.[5]
Rangkuman isi dari Pasal 6 berisi tentang:
Pasal 6 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dirumuskan oleh Komite Ketiga Majelis Umum PPB di tahu 1957. Latar belakangnya, karena pada tahun tersebut masih banyak negara-negara yang memberlakukan hukuman mati. Pasal 7 membahas tentang bahwa tidak boleh memberikan hukuman mati kepada setiap orang dengan alasan untuk merendahkan harga dirinya. Selain itu, tidak boleh melakukan eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan pihak yang bersangkutan.[5]
Di tahun 1959, pembahasan tentang hukuman mati masuk ke dalam forum PPB, di mana Majelis Umum menyetujui sebuah resolusi untuk meminta Dewan Ekonomi dan Sosial agar mempelajari hukuman mati kembali. Kajiannya meliputi hukum dan pelaksanaanya di beberapa negara. Setelah dikaji, lalu diuji apakah hukuman mati tersebut mempengaruhi efektivitas pengurangan kriminalitas di suatu negara. Di tahun 1962 kajian tersebut selesai. Hasilnya, penghapusan hukuman mati di suatu negara tidak meningkatkan kriminalitas untuk negaranya. Di tahun 1968, Majelis Umum PBB memberikan persetujuan untuk sebuh resolusi tentang perlindungan bagi seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Resolusi tersebut berisi tentang bahwa seseorang yang sedang menunggu waktu hukuman matinya tiba, seseorang tersebut masih bisa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan banding, hasilnya bisa berupa ampunan atau masih tetap dengan hukuman matinya.[5]
Di tahun 1948. Dewan Ekonomi dan Sosial mebuat sebuah resolusi untuk menjadi perlindungan atas hak-hak orang yang akan menghadapi hukuman mati.[5] Beberapa resolusi itu membahas tentang:
Sejauh ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan empat perjanjian internasional mengenai penghapusan hukuman mati. Suatu negara bisa menjadi bagian dari anggota perjanjian tersebut dengan cara meratifikasinya. Ratifikasi diartikan melakukan tindakan internasional di mana negara tersebut menyatakan ikrar sebagai Negara pihak (State Party) dalam perjanjian internasional tersebut. Keempat perjanjian yang telah disahkan tersebut terdiri dari satu yang sifatnya global, dan tiga lainnya bersifat kawasan.[5] Berikut adalah deskripsi rangkuman dari empat Perjanjian Intersnasional tersebut:
Hukuman mati dianggap hukuman yang merendahkan martabat serta bertolak belakang dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah banyak negara yang menghapuskan hukuman mati dalam pemberian sanksi berat di peradilan. Negara yang tergabung dalam organisasi Uni Eropa dilarang menggunakan hukuman mati dalam sistem pidananya. Hal ini berdasarkan isi dari Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union di tahun 2000.[8] Alasan sebagian masyarakat menentang hukuman mati karena beralasan tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.[4] Isu mengenai hukuman mati pasti akan selalu dihadapkan dengan hak asasi manusia. Selain itu, masyarakat yang tidak setuju dengan hukuman mati karena bersebrangan dengan konstitusi di Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi dari pasal itu yaitu, setiap orang memiliki hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, ada beberapa simpulan ketika hukuman mati terus dijalankan, sama dengan mengkhianati konstitusi negara Indonesia, ditambah kedudukan konstitusi berada dijajaran tertinggi dalam hukum negara. Hal yang sangat berbahaya dari hukuman mati yaitu, apabila ada kelalaian dari penegak hukum, yang mengakibatkan kerugian bagi tersangka yang sudah dieksekusi hukuman mati.[9] Di Indonesia, ada beberapa tokoh hukum yang kontra terhadap hukuman mati. Tokoh hukum tersebut di antaranya Bernard Arief Sidharta dan J.E Sahetapy. Alasan mereka menolak tentang hukuman mati, karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.[10] Pada abad ke 18 gerakan organsisasi untuk menghapuskan hukuman mati menguat. Hal ini diperkuat dengan ajaran Beccaria yang tertuang dalam buku yang berjudul “Dei Delitti Delie Perie”. Isi rangkuman dari buku tersebut di antaranya:
Dalam Konvensi Internasional, tentang hukuman mati hanya memberi pembatasan bukan untuk penghapusan. Berdasarkan putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 hukuman mati harus memperhitungkan empat aspek, yaitu:
Di tahun 1949, Negara Jerman telah menghapuskan hukuman mati. Deklamasi Stockholm ditahun 1977 menghasilkan:
Bersadarkan hal-hal yang sudah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman mati tidak dapat menghapuskan kejahatan di masyarakat.
Di bawah ini merupakan negara-negara yang sudah menghapuskan hukuman mati,[4] di antaranya:
Kanada, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Spanyol, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Nikaragua, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Norwegia, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Brasil, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Fizi, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Peru, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Tanjung Verde, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Al Savador, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Liechtenstein, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Jerman, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Selandia Baru, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Rumania, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Slovenia, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Swiss, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Paraguay, menghapuskan hukuman mati untuk jenis kejahatan biasa.
Guinea-Bissau, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Hongkong, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Moldova, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
Spanyol, hukuman mati dihapuskan untuk semua jenis kejahatan.
|work=
|newspaper=
|url-status=