Liberalisme

Liberalisme adalah sebuah ideologi politik, pandangan filsafat politik dan moral yang didasarkan pada kebebasan, persetujuan dari yang diperintah dan persamaan di hadapan hukum.[1][2][3] Orang-orang liberal mendukung beragam pandangan tergantung kepada pemahaman mereka tentang prinsip-prinsip ini, tetapi umumnya mereka mendukung hak-hak individu (termasuk hak-hak sipil dan hak asasi manusia), demokrasi, sekularisme, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan beragama dan ekonomi pasar.[4][5][6]

Liberalisme menjadi salah satu gerakan utama di Zaman Pencerahan dan menjadi populer di kalangan filsuf dan ekonom Barat. Liberalisme berusaha untuk menggantikan norma-norma hak istimewa turun-temurun, agama negara, monarki absolut, hak ilahi raja dan konservatisme tradisional dengan demokrasi perwakilan dan supremasi hukum. Para liberal juga mengakhiri kebijakan merkantilis, monopoli kerajaan dan hambatan perdagangan lainnya. Ini dimaksudkan untuk mempromosikan perdagangan bebas dan marketisasi.[7] Filsuf John Locke sering dianggap sebagai pendiri liberalisme, sebuah tradisi yang didasarkan kontrak sosial, dengan alasan bahwa setiap orang memiliki hak alami untuk hidup, atas kebebasan dan properti dan pemerintah tidak boleh melanggar hak-hak ini.[8] Jika tradisi liberal Inggris menekankan perluasan demokrasi, liberalisme Prancis menekankan penolakan otoritarianisme dan terkait dengan pembangunan bangsa.[9]

Para pemimpin dalam Revolusi Agung Inggris tahun 1688,[10] Revolusi Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun 1789 menggunakan filosofi liberal untuk menggulingkan kedaulatan kerajaan yang absolut dengan senjata. Liberalisme mulai menyebar dengan cepat terutama setelah Revolusi Perancis. Pada abad ke-19, banyak pemerintahan liberal didirikan di sebagian besar negara-negara di Eropa dan Amerika Selatan. Ini bersamaan dengan mapannya republikanisme di Amerika Serikat.[11] Di Inggris era Victoria, liberalisme digunakan untuk mengkritik institusi politik yang mapan, dengan merujuk pada ilmu pengetahuan dan akal budi atas nama rakyat.[12] Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, liberalisme di Kekaisaran Ottoman dan Timur Tengah mempengaruhi periode reformasi seperti Tanzimat dan Al-Nahda serta munculnya konstitusionalisme, nasionalisme, dan sekularisme. Sebelum 1920, lawan ideologi utama liberalisme adalah komunisme, konservatisme dan sosialisme,[13] tetapi liberalisme kemudian menghadapi tantangan ideologis utama dari fasisme dan Marxisme-Leninisme sebagai lawan baru. Selama abad ke-20, ide-ide liberal menyebar lebih jauh, terutama di Eropa Barat, ketika demokrasi liberal tampil sebagai pemenang dalam kedua perang dunia.[14]

Di Eropa dan Amerika Utara, pembentukan liberalisme sosial (sering disebut liberalisme sederhana di Amerika Serikat) menjadi elemen penting dalam perluasan negara kesejahteraan.[15] Hari ini, partai-partai liberal banyak memegang kekuasaan dan pengaruh di seluruh dunia. Elemen fundamental masyarakat kontemporer memiliki akar liberal. Gelombang awal liberalisme mempopulerkan individualisme ekonomi sambil memperluas pemerintahan konstitusional dan otoritas parlementer.[7] Kaum liberal mencari dan menetapkan tatanan konstitusional yang menghargai kebebasan individu yang penting, seperti kebebasan berbicara dan kebebasan berserikat; kebebasan beragama, pengadilan yang independen, pengadilan publik oleh juri; dan penghapusan hak-hak istimewa aristokrat.[7] Gelombang pemikiran dan perjuangan liberal modern belakangan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk memperluas hak-hak sipil.[16] Kaum liberal banyak mendukung kesetaraan gender dan kesetaraan ras dalam upaya mereka untuk mempromosikan hak-hak sipil. Gerakan hak-hak sipil global di abad ke-20 bermaksud untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Tujuan lain yang sering dipromosikan oleh kaum liberal termasuk hak pilih universal dan akses universal ke pendidikan.

Etimologi dan definisi

Kata-kata seperti liberal, liberty, libertarian, dan libertine semuanya mempunyai akar sejarah ke bahasa Latin liber, yang berarti "bebas".[17] Salah satu contoh pertama yang tercatat dari penggunaan kata liberal terjadi pada tahun 1375, ketika digunakan untuk menggambarkan seni liberal dalam konteks pendidikan yang diinginkan untuk orang yang merdeka.[17] Hubungan awal kata itu dengan pendidikan klasik universitas abad pertengahan membuka jalan bagi munculnya denotasi dan konotasi yang berbeda. Liberal dapat merujuk pada "bebas dalam menganugerahkan" sejak tahun 1387, "dibuat tanpa tugas" pada tahun 1433, "diizinkan secara bebas" pada tahun 1530 dan "bebas dari pengekangan"—seringkali sebagai komentar yang merendahkan—pada abad ke-16 dan ke-17.[17] Di Inggris abad ke-16, liberal bisa memiliki atribut positif atau negatif dalam mengacu pada kemurahan hati atau kecerobohan seseorang.[17] Dalam Much Ado About Nothing, William Shakespeare menulis tentang "seorang penjahat liberal" yang "telah [...] mengakui pertemuan kejinya".[17] Dengan munculnya Abad Pencerahan, kata liberal memperoleh makna yang lebih positif yang didefinisikan sebagai "bebas dari prasangka yang sempit" pada tahun 1781 dan "bebas dari kefanatikan" pada tahun 1823.[17] Pada tahun 1815, penggunaan pertama kata "liberalisme" muncul dalam bahasa Inggris.[18] Di Spanyol, kaum liberal, kelompok pertama yang menggunakan label liberal dalam konteks politik,[19] berjuang selama beberapa dekade untuk melakukan implementasi Konstitusi 1812. Dari tahun 1820 hingga 1823 selama Trienio Liberal, Raja Ferdinand VII dipaksa oleh kaum liberal untuk bersumpah untuk menegakkan Konstitusi. Pada pertengahan abad ke-19, kata liberal digunakan sebagai istilah politis untuk partai dan gerakan di seluruh dunia.[20]

Seiring berjalannya waktu, arti kata liberalisme mulai menjadi berbeda di berbagai belahan dunia. Menurut Encyclopædia Britannica: "Di Amerika Serikat, liberalisme diasosiasikan dengan kebijakan negara kesejahteraan dari program New Deal dari administrasi Demokrat Pres. Franklin D. Roosevelt, sedangkan di Eropa lebih sering dikaitkan dengan komitmen pemerintahan yang terbatas dan kebijakan ekonomi laissez-faire".[21] Akibatnya, di Amerika Serikat ide-ide individualisme dan ekonomi laissez-faire yang sebelumnya dikaitkan dengan liberalisme klasik menjadi dasar bagi munculnya aliran pemikiran libertarian[22] dan merupakan bagian penting dari konservatisme Amerika.

Di Eropa dan Amerika Latin, kata liberalisme berarti bentuk moderat dari liberalisme klasik, tidak seperti Amerika Utara. Istilah ini mencakup liberalisme konservatif kanan-tengah (liberalisme kanan) dan liberalisme sosial kiri-tengah (liberalisme kiri).[23] Tidak seperti Eropa dan Amerika Latin, kata liberalisme di Amerika Utara hampir secara eksklusif merujuk pada liberalisme sosial (liberalisme kiri). Partai Kanada yang dominan adalah Partai Liberal dan Partai Demokrat biasanya dianggap liberal di Amerika Serikat.[24][25][26] Di Amerika Serikat, kaum liberal konservatif biasanya disebut konservatif dalam arti luas.[27][28]

Filosofi

Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara pada tahun 1789

Liberalisme—baik sebagai arus politik maupun tradisi intelektual—sebagian besar merupakan fenomena modern yang bermula di abad ke-17, meskipun beberapa gagasan filosofis liberal telah mempunyai pendahulu di zaman klasik dan di Kekaisaran Tiongkok.[29][30] Kaisar Romawi Marcus Aurelius memuji, "gagasan tentang pemerintahan yang diatur dengan memperhatikan persamaan hak dan kebebasan berbicara yang sama, dan gagasan tentang pemerintahan yang menghormati hampir semua kebebasan dari yang diperintah".[31] Para sarjana mengakui sejumlah prinsip yang umum bagi kaum liberal kontemporer dalam karya-karya beberapa Sofis dan dalam Orasi Pemakaman oleh Pericles.[32] Filsafat liberal melambangkan tradisi intelektual yang luas yang telah meneliti dan mempopulerkan beberapa prinsip yang paling penting dan kontroversial di dunia modern. Hasil ilmiah dan akademisnya yang luar biasa dianggap mempunyai "kekayaan dan keragaman", tetapi keragaman itu sering diartikan bahwa liberalisme datang dalam formulasi yang berbeda dan menghadirkan tantangan bagi siapa pun untuk mencari definisi yang tepat.[32]

Liberalisme Eropa Kontinental terbagi antara moderat dan progresif, dengan moderat cenderung ke elitisme dan progresif mendukung universalisasi institusi fundamental seperti hak pilih universal, pendidikan universal dan perluasan hak milik. Seiring berjalannya waktu, kaum moderat menggantikan kaum progresif sebagai penjaga utama liberalisme Eropa kontinental.[9]

Tema utama

Meskipun semua doktrin liberal memiliki warisan yang sama, para sarjana sering berasumsi bahwa doktrin-doktrin tersebut mengandung "aliran pemikiran yang terpisah dan seringkali bertentangan".[32] Tujuan para ahli teori dan filsuf liberal berbeda di berbagai waktu, budaya, dan benua. Keragaman liberalisme dapat dilihat dari banyaknya kualifikasi yang dilekatkan oleh para pemikir dan gerakan liberal pada istilah "liberalisme", termasuk klasik, egaliter, ekonomi, sosial, negara kesejahteraan, etika, humanis, deontologis, perfeksionis, demokratis, institusional dan sebagainya.[32] Terlepas dari variasi-variasi ini, pemikiran liberal memang mempunyai beberapa konsepsi yang pasti dan mendasar.

Filsuf politik John Gray mengidentifikasi hal umum dalam pemikiran liberal seperti menjadi individualis, egaliter, melioris dan universalis. Elemen individualis menentang tekanan kolektivisme sosial; elemen egaliter memberikan nilai dan status moral yang sama untuk semua individu; elemen melioris menegaskan bahwa generasi berikutnya dapat meningkatkan pengaturan sosial politik mereka dan elemen universalis menegaskan kesatuan moral yang dimiliki oleh spesies manusia dan meminggirkan perbedaan budaya lokal.[33] Unsur melioris telah menjadi suatu kontroversi. Namun, para pemikir seperti Immanuel Kant percaya pada kemajuan manusia. Sementara pandangan ini dikritik oleh para pemikir seperti Jean-Jacques Rousseau, yang menganggap bahwa upaya manusia untuk memperbaiki diri melalui kerja sama sosial akan mengalami kegagalan.[34]

Tradisi filsafat liberal melakukan pembenaran melalui beberapa proyek intelektual. Anggapan moral dan politik liberalisme telah didasarkan pada tradisi seperti hak alami dan teori utilitarian, meskipun terkadang kaum liberal juga meminta dukungan dari kalangan ilmiah dan agama.[33] Melalui semua aliran dan tradisi ini, para sarjana telah mengidentifikasi aspek umum utama pemikiran liberal sebagai berikut: percaya pada kesetaraan dan kebebasan individu, mendukung kepemilikan pribadi dan hak-hak individu, mendukung gagasan pemerintahan konstitusional yang kekuasannya dibatasi, dan mengakui pentingnya nilai-nilai terkait seperti pluralisme, toleransi, otonomi, integritas tubuh dan persetujuan.[32]

Liberalisme klasik dan modern

John Locke dan Thomas Hobbes

Para filsuf pencerahan dianggap berjasa membentuk ide-ide liberal. Ide-ide ini pertama kali disatukan dan disistematisasikan sebagai ideologi yang berbeda oleh filsuf Inggris John Locke, yang umumnya dianggap sebagai bapak liberalisme modern.[35][36] Thomas Hobbes berusaha untuk menentukan tujuan dan pembenaran otoritas pemerintahan di Inggris pasca perang saudara. Menggunakan gagasan tentang keadaan alamiah — skenario hipotetis seperti perang sebelum adanya negara — ia membangun gagasan tentang kontrak sosial yang dimasuki individu untuk menjamin keamanan mereka dan dengan demikian membentuk Negara. Hobbes menyimpulkan bahwa hanya kedaulatan mutlak yang sepenuhnya mampu mempertahankan keamanan tersebut. Hobbes mengembangkan konsep kontrak sosial hal mana individu, yang berada dalam keadaan alamiah yang anarkis dan brutal, berkumpul dan secara sukarela menyerahkan beberapa hak individu mereka kepada otoritas negara yang mapan. Ini menciptakan undang-undang untuk mengatur interaksi sosial guna mengurangi atau menengahi konflik dan menegakkan keadilan. Jika Hobbes menganjurkan persemakmuran monarki yang kuat (Leviathan), Locke mengembangkan gagasan bahwa pemerintah yang sah memperoleh persetujuan dari yang diperintah secara terus-menerus hadir agar pemerintah itu tetap sah.[37] Dengan mengadopsi ide Hobbes tentang keadaan alamiah dan kontrak sosial, Locke berpendapat bahwa ketika raja menjadi tiran, hal itu merupakan pelanggaran kontrak sosial, yang dimaksudkan untuk melindungi kehidupan, kebebasan dan properti sebagai hak alamiah. Dia menyimpulkan bahwa rakyat memiliki hak untuk menggulingkan seorang tiran. Dengan menempatkan keamanan hidup, kebebasan dan hak milik sebagai nilai tertinggi dari hukum dan otoritas, Locke merumuskan dasar liberalisme berdasarkan teori kontrak sosial. Bagi para pemikir pencerahan awal ini, mengamankan fasilitas kehidupan yang paling esensial— kebebasan dan kepemilikan pribadi di antaranya—membutuhkan pembentukan otoritas "berdaulat" dengan yurisdiksi universal.[38]

Karya Locke, Two Treatises (1690) merupakan teks dasar ideologi liberal yang sangat berpengaruh yang menguraikan ide-ide utamanya. Begitu manusia keluar dari keadaan alamiah mereka dan membentuk masyarakat, Locke berpendapat, "apa yang memulai dan benar-benar membentuk masyarakat politik tidak lain adalah persetujuan dari sejumlah orang bebas yang mampu menjadi mayoritas untuk bersatu dan bergabung ke dalam masyarakat semacam itu. Hanya hal itulah yang menjalankan atau dapat memulai pemerintahan yang sah di dunia".[39] Penegasan bahwa pemerintahan yang sah tidak memiliki dasar supernatural adalah pemutusan tajam dengan teori-teori dominan pemerintahan yang menganjurkan hak ilahi raja[40] dan menggaungkan pemikiran Aristoteles sebelumnya. Seorang ilmuwan politik menggambarkan pemikiran ini sebagai berikut: "Dalam pemahaman liberal, tidak ada warga negara dalam rezim yang dapat mengklaim untuk memerintah dengan hak alami atau supernatural, tanpa persetujuan dari yang diperintah".[41]

Locke mempunyai lawan intelektual lain selain Hobbes. Dalam First Treatise, Locke mengarahkan argumennya pertama dan terutama pada salah satu ahli filsafat konservatif Inggris abad ke-17: Robert Filmer. Kaya Filmer, Patriarcha (1680), mendukung hak ilahi raja dengan mengacu pada ajaran Alkitab dan mengklaim bahwa otoritas yang diberikan kepada Adam oleh Tuhan memberikan penerus Adam dalam garis keturunan laki-laki hak untuk berkuasa atas semua manusia dan makhluk lain di dunia.[42] Namun, Locke sangat tidak setuju dan obsesif dengan Filmer bahwa First Treatise merupakan sanggahan kalimat demi kalimat dari Patriarcha. Memperkuat rasa hormatnya terhadap konsensus, Locke berpendapat bahwa "masyarakat suami istri dibentuk oleh kesepakatan sukarela antara pria dan wanita".[43] Locke menyatakan bahwa pemberian kekuasaan dalam Genesis bukan kepada laki-laki atas perempuan, seperti yang diyakini Filmer, tetapi kepada manusia atas binatang.[43] Locke jelas bukan feminis menurut standar modern, tetapi pemikir liberal besar pertama dalam sejarah yang membuka jalan untuk membuat dunia lebih pluralistik: integrasi perempuan ke dalam teori sosial.[43]

Areopagitica (1644) karya John Milton mengemukakan pentingnya kebebasan berbicara

Locke juga mencetuskan konsep pemisahan gereja dan negara.[44] Berdasarkan prinsip kontrak sosial, Locke berpendapat bahwa pemerintah tidak memiliki otoritas dalam ranah hati nurani individu, karena ini adalah sesuatu yang rasional yang tidak dapat diserahkan kepada pemerintah untuk dikendalikan olehnya atau orang lain. Bagi Locke, hal ini menciptakan hak alami dalam kebebasan hati nurani, yang menurutnya harus tetap dilindungi dari otoritas pemerintah mana pun.[45] Ia juga merumuskan pembelaan umum untuk toleransi beragama dalam karyanya, Letters Concerning Toleration. Tiga argumen pentingnya adalah sebagai berikut: (1) hakim yang ada di dunia, atau dalam suatu negara pada khususnya, dan manusia pada umumnya, tidak dapat secara handal mengevaluasi klaim kebenaran dari sudut pandang agama yang berbeda; (2) bahkan jika mereka bisa, menegakkan satu "agama yang benar" tidak akan memiliki efek yang berarti karena kepercayaan tidak dapat dipaksakan dengan kekerasan; (3) pemaksaan keseragaman agama akan menyebabkan lebih banyak kekacauan sosial daripada membiarkan keragaman.[46]

Locke juga dipengaruhi oleh ide-ide liberal politisi dan penyair Presbiterian John Milton, yang merupakan pendukung setia kebebasan dalam segala bentuknya.[47] Milton mendukung pembubaran gereja resmi negara sebagai satu-satunya cara efektif untuk mencapai toleransi yang luas. Alih-alih memaksakan hati nurani seseorang, pemerintah harus mengakui kekuatan persuasif dari Injil.[48] Sebagai asisten Oliver Cromwell, Milton juga turut andil dalam penyusunan konstitusi kemerdekaan (Agreement of the People ; 1647) yang sangat menekankan kesetaraan semua manusia sebagai konsekuensi dari tendensi demokrasi.[49] Dalam Areopagitica -nya, Milton merupakan salah satu orang pertama yang mengajukan argumen tentang pentingnya kebebasan berbicara—"kebebasan untuk mengetahui, mengucapkan, dan berpendapat secara bebas menurut hati nurani, di atas semua kebebasan". Argumen utamanya adalah bahwa individu mampu menggunakan akal untuk membedakan yang benar dan yang salah. Untuk dapat menggunakan hak ini, setiap orang harus memiliki akses yang tidak terbatas terhadap gagasan-gagasan sesamanya dalam "pertemuan yang bebas dan terbuka" dan ini akan memungkinkan argumen-argumen yang baik untuk menang.

Dalam keadaan alamiah, kaum liberal berpendapat, manusia didorong oleh naluri bertahan hidup dan pelestarian diri. Satu-satunya cara untuk melarikan diri dari keberadaan yang berbahaya seperti itu adalah dengan membentuk kekuatan bersama dan tertinggi yang mampu menengahi antara keinginan manusia yang saling bertentangan.[32] Kekuasaan ini dapat dibentuk dalam suatu kerangka masyarakat sipil yang memungkinkan individu untuk membuat kontrak sosial sukarela dengan otoritas yang berdaulat, mentransfer hak-hak alami mereka kepada otoritas itu dengan imbalan perlindungan kehidupan, kebebasan, dan properti.[32] Kaum liberal awal ini sering tidak setuju tentang bentuk pemerintahan yang paling tepat, tetapi mereka semua memiliki keyakinan yang sama bahwa kebebasan itu adalah natural dan bahwa pembatasannya membutuhkan pembenaran yang kuat.[32] Kaum liberal umumnya percaya pada pemerintahan yang terbatas, meskipun beberapa filsuf liberal mengecam pemerintah secara langsung, dengan Thomas Paine menulis "pemerintah bahkan dalam keadaan terbaiknya adalah kejahatan yang diperlukan".[32]

James Madison dan Montesquieu

Sebagai bagian dari proyek untuk membatasi kekuasaan pemerintah, ahli teori liberal seperti James Madison dan Montesquieu menyusun gagasan pemisahan kekuasaan, sebuah sistem yang dirancang untuk mendistribusikan otoritas pemerintah secara merata di antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.[32] Kaum liberal awal mengatakan bahwa pemerintah harus menyadari bahwa pemerintahan yang buruk dapat memberi rakyat wewenang untuk menggulingkan tatanan yang berkuasa melalui segala cara yang mungkin, bahkan melalui jalur kekerasan dan revolusi langsung, jika diperlukan.[32] Kaum liberal kontemporer, yang sangat dipengaruhi oleh liberalisme sosial, terus mendukung pemerintahan konstitusional yang terbatas dan mengadvokasi layanan dan hukum negara untuk memastikan persamaan hak. Kaum liberal modern mengklaim bahwa jaminan formal atas hak-hak individu tidak relevan ketika individu tidak memiliki sarana material untuk mendapatkan keuntungan dari hak-hak tersebut dan menyerukan peran yang lebih besar bagi pemerintah dalam administrasi urusan ekonomi.[32] Kaum liberal awal juga meletakkan dasar bagi pemisahan gereja dan negara. Sebagai pewaris Abad Pencerahan, kaum liberal percaya bahwa setiap tatanan sosial dan politik yang ada berasal dari interaksi manusia, bukan dari kehendak ilahi.[50] Sebagian besar orang-orang liberal memusatkan penentangan mereka terhadap penyatuan otoritas agama dan politik, dengan alasan bahwa agama dan kepercayaan dapat berkembang dengan sendirinya, tanpa sponsor resmi atau administrasi oleh negara.[50]

Selain mengidentifikasi peran pemerintah dalam masyarakat modern, kaum liberal juga memperdebatkan makna dan sifat dari prinsip terpenting dalam filsafat liberal, yaitu kebebasan. Dari abad ke-17 hingga abad ke-19, para pemikir liberal (dari Adam Smith hingga John Stuart Mill) mengkonseptualisasikan kebebasan sebagai tidak adanya campur tangan dari pemerintah dan individu lain, dengan mengklaim bahwa semua orang harus memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan dan kapasitas unik mereka sendiri tanpa disabotase oleh orang lain.[32] Karya Mill, On Liberty (1859), merupakan salah satu teks klasik dalam filsafat liberal yang menyatakan, "satu-satunya kebebasan yang layak disebut sebagai kebebasan adalah kebebasan untuk mengejar hal yang baik bagi kita dengan cara kita sendiri".[32] Dukungan untuk kapitalisme laissez-faire sering dikaitkan dengan prinsip ini, dengan Friedrich Hayek berargumen dalam The Road to Serfdom (1944) bahwa ketergantungan pada pasar bebas akan menghalangi kontrol totaliter oleh negara.[51]

Selain kebebasan, kaum liberal telah mengembangkan beberapa prinsip lain yang penting untuk konstruksi struktur filosofis mereka, seperti kesetaraan, pluralisme, dan toleransi. Mengenai kesetaraan, Voltaire berkomentar bahwa "kesetaraan pada saat yang sama adalah hal yang paling alami dan kadang-kadang paling chimeral".[52] Semua bentuk liberalisme mengasumsikan pengertian dasar bahwa individu adalah setara.[32] Dalam mempertahankan bahwa orang secara alami adalah setara, kaum liberal berasumsi bahwa mereka semua memiliki hak yang sama atas kebebasan.[32] Dengan kata lain, tidak seorang pun berhak untuk menikmati manfaat dari masyarakat liberal lebih dari siapa pun dan semua orang adalah subjek yang sama di hadapan hukum.[32] Di luar konsepsi dasar ini, para ahli teori liberal berbeda dalam pemahaman mereka tentang kesetaraan. Filsuf Amerika John Rawls menekankan perlunya memastikan tidak hanya kesetaraan di hadapan hukum, tetapi juga pemerataan sumber daya material yang dibutuhkan individu untuk mengembangkan aspirasi mereka dalam hidup.[32] Pemikir libertarian Robert Nozick tidak setuju dengan Rawls, dan sebagai gantinya memperjuangkan versi sebelumnya dari kesetaraan Lockean.[32]

Untuk berkontribusi pada pengembangan kebebasan, kaum liberal juga mempromosikan konsep-konsep seperti pluralisme dan toleransi. Dengan pluralisme, kaum liberal mengacu pada proliferasi pendapat dan keyakinan yang mencirikan tatanan sosial yang stabil.[32] Tidak seperti banyak lawan dan pendahulu mereka, kaum liberal tidak mencari kesesuaian dan homogenitas tentang cara orang berpikir. Faktanya, upaya mereka diarahkan untuk membangun kerangka kerja pemerintahan yang menyelaraskan dan meminimalkan pandangan yang saling bertentangan, namun tetap memungkinkan pandangan tersebut untuk tetap ada dan berkembang.[32] Bagi filsafat liberal, pluralisme akan mengarah pada toleransi. Karena individu memiliki sudut pandang yang berbeda, kaum liberal berpendapat, mereka harus menjunjung tinggi dan menghormati hak satu sama lain untuk tidak setuju.[32] Dari perspektif liberal, toleransi pada awalnya terhubung dengan toleransi agama, dengan Baruch Spinoza mengutuk "kebodohan persekusi agama dan perang ideologis".[32] Toleransi juga berperan penting dalam gagasan Kant dan John Stuart Mill. Kedua pemikir tersebut percaya bahwa masyarakat akan memiliki konsepsi yang berbeda tentang kehidupan etik yang baik dan bahwa setiap orang harus diizinkan untuk membuat pilihan mereka sendiri tanpa campur tangan dari negara atau individu lain.[32]

Kelompok Coppet dan Benjamin Constant

Madame de Staël

Perkembangan menuju pematangan teori klasik modern terjadi sebelum dan segera setelah Revolusi Perancis. Salah satu tempat bersejarah dari perkembangan ini adalah di Kastil Coppet dekat Jenewa. Di sini kelompok Coppet berkumpul di bawah naungan penulis dan salonnière yang diasingkan, Madame de Staël pada periode antara pembentukan Kekaisaran Pertama Napoleon (1804) dan Restorasi Bourbon tahun 1814–1815.[53][54][55][56] Pertemuan para pemikir Eropa yang belum pernah terjadi sebelumnya terjadi di sana. Pertemuan ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan liberalisme abad kesembilan belas dan juga romantisisme.[57][58][59] Para pemikir ini termasuk Wilhelm von Humboldt, Jean de Sismondi, Charles Victor de Bonstetten, Prosper de Barante, Henry Brougham, Lord Byron, Alphonse de Lamartine, Sir James Mackintosh, Juliette Récamier dan August Wilhelm Schlegel.[60]

Benjamin Constant, seorang aktivis politik dan ahli teori Prancis-Swiss

Di antara mereka juga ada salah satu pemikir pertama yang menggunakan nama "liberal". Dia adalah seorang Protestan Swiss berpendidikan di Universitas Edinburgh, Benjamin Constant. Constant melihat Inggris dibandingkan Roma kuno untuk model praktis kebebasan dalam skala besar masyarakat dagang. Dia membuat perbedaan antara "Liberty of the Ancients" dan "Liberty of the Moderns".[61] The Liberty of the Ancients adalah kebebasan republik partisipatif,[62] yang memberikan warga hak untuk mempengaruhi politik secara langsung melalui debat dan pemungutan suara di majelis umum.[61] Untuk mendukung tingkat partisipasi ini, kewarganegaraan merupakan kewajiban moral yang memberatkan yang membutuhkan investasi waktu dan energi yang cukup besar. Umumnya, ini membutuhkan sub-kelompok budak untuk melakukan banyak pekerjaan produktif dan membiarkan warga negara yang merdeka untuk berunding tentang urusan publik. Kebebasan Kuno juga terbatas pada masyarakat laki-laki yang relatif kecil dan homogen. Mereka dapat berkumpul di satu tempat untuk berdiskusi tentang urusan publik.[61]

Sebaliknya, Liberty of the Moderns, didasarkan pada kepemilikan kebebasan sipil, supremasi hukum, dan kebebasan dari campur tangan negara yang berlebihan. Partisipasi langsung menjadi terbatas: konsekuensi yang diperlukan dari ukuran negara modern, dan juga hasil yang tak terhindarkan dari masyarakat dagang tnapa budak. Sehingga hampir semua orang harus mencari nafkah dengan bekerja. Para pemilih akan memilih perwakilan, yang akan berunding di Parlemen atas nama rakyat dan akan menyelamatkan warga dari keterlibatan politik sehari-hari.[61] Pentingnya tulisan-tulisan Constant tentang kebebasan orang-orang kuno dan kebebasan orang-orang "modern" telah membentuk pemahaman tentang liberalisme, seperti juga kritiknya terhadap Revolusi Prancis.[63] Filsuf Inggris dan sejarawan liberal, Sir Isaiah Berlin mengatakan bahwa Constant sangat berjasa dalam perkembangan filsafat politik liberalisme.[64]

Teori ekonomi liberal

Karya Adam Smith, The Wealth of Nations, diterbitkan pada tahun 1776, diikuti oleh ekonom liberal Prancis, risalah Jean-Baptiste Say tentang Political Economy yang diterbitkan pada tahun 1803. Karya ini diperluas pada tahun 1830 dengan aplikasi praktis yang memberikan sebagian besar ide-ide ekonomi. sampai terbitnya karya John Stuart Mill, Principles of Political Economy pada tahun 1848.[65] Smith membahas motivasi kegiatan ekonomi, penyebab harga dan distribusi kekayaan dan kebijakan yang harus diikuti negara untuk memaksimalkan kekayaan.[66]

Smith menulis bahwa selama penawaran, permintaan, harga, dan persaingan dibiarkan bebas dari peraturan pemerintah, pengejaran kepentingan material, bukan altruisme, yang akan memaksimalkan kekayaan masyarakat[67] melalui produksi barang dan jasa yang digerakkan oleh profit. Sebuah "tangan tak terlihat" mengarahkan individu dan perusahaan untuk bekerja demi kebaikan nasional sebagai konsekuensi yang tidak disengaja dari upaya untuk memaksimalkan keuntungan mereka sendiri. Ini memberikan pembenaran moral untuk akumulasi kekayaan, yang sebelumnya dipandang oleh beberapa orang sebagai dosa.[66]

Smith menganggap bahwa pekerja dapat dibayar serendah yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka, yang kemudian diubah oleh David Ricardo dan Thomas Robert Malthus menjadi "hukum besi upah".[68] Penekanan utamanya adalah pada manfaat perdagangan internal dan internasional yang bebas, yang menurutnya dapat meningkatkan kekayaan melalui spesialisasi dalam produksi.[69] Dia juga menentang preferensi perdagangan yang membatasi, hibah negara untuk monopoli dan organisasi pengusaha dan serikat pekerja.[70] Pemerintah harus dibatasi pada pertahanan, pekerjaan umum dan administrasi peradilan, dibiayai oleh pajak berdasarkan pendapatan.[71] Smith adalah salah satu pemikir awal gagasan, yang telah lama menjadi pusat liberalisme klasik dan telah muncul kembali dalam literatur globalisasi akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, bahwa perdagangan bebas mempromosikan perdamaian.[72] Teori Ekonomi Smith dipraktekkan pada abad ke-19 dengan penurunan tarif pada tahun 1820-an, pencabutan Undang-Undang Pertolongan Kemiskinan yang telah membatasi mobilitas tenaga kerja pada tahun 1834 dan berakhirnya kekuasaan Perusahaan India Timur atas India pada tahun 1858.[73]

Dalam risalahnya (Traité d'économie politique), Say menyatakan bahwa setiap proses produksi membutuhkan usaha, pengetahuan dan "aplikasi" dari pengusaha. Ia melihat pengusaha sebagai perantara dalam proses produksi yang menggabungkan faktor-faktor produktif seperti tanah, modal dan tenaga kerja untuk memenuhi permintaan konsumen. Akibatnya, mereka mempunyai peran sentral dalam perekonomian melalui fungsi koordinasi mereka. Dia juga menyoroti kualitas penting untuk kewirausahaan yang sukses dan berfokus pada penilaian bahwa mereka harus terus menilai kebutuhan pasar dan sarana untuk memenuhinya. Ini membutuhkan "pengertian pasar yang tepat". Say memandang pendapatan wirausaha sebagai pendapatan tinggi yang dibayarkan sebagai kompensasi atas keterampilan dan pengetahuan ahli mereka. Dia melakukannya dengan mengontraskan fungsi perusahaan dan fungsi penawaran modal yang membedakan pendapatan pengusaha di satu sisi dan imbalan kapital di sisi lain. Ini jelas membedakan teorinya dari Joseph Schumpeter, yang menggambarkan sewa wirausaha sebagai keuntungan jangka pendek yang mengkompensasi risiko tinggi (sewa Schumpeter). Say sendiri memang merujuk pada risiko dan ketidakpastian bersama dengan inovasi, tanpa menganalisisnya secara detail.

Say juga diasosiasikan dengan hukum Say, atau hukum pasar yang dapat diringkas sebagai: "Penawaran agregat menciptakan permintaan agregatnya sendiri", dan "Penawaran menciptakan permintaannya sendiri" atau "Penawaran merupakan permintaannya sendiri" dan "Inheren dalam penawaran adalah kebutuhan untuk konsumsinya sendiri”. Ungkapan terkait "penawaran menciptakan permintaannya sendiri" sebenarnya diciptakan oleh John Maynard Keynes, yang mengkritik formulasi terpisah Say sebagai hal yang sama. Beberapa pendukung hukum Say yang tidak setuju dengan Keynes mengklaim bahwa hukum Say sebenarnya dapat diringkas lebih akurat sebagai "produksi mendahului konsumsi" dan bahwa apa yang sebenarnya dikatakan Say adalah agar konsumsi terjadi, seseorang harus menghasilkan sesuatu yang bernilai sehingga bisa ditukar dengan uang atau barter untuk konsumsi nanti.[74][75] Say berpendapat, "produk dibayar dengan produk" (1803, hal. 153) atau "kekenyangan hanya terjadi ketika terlalu banyak sumber daya diterapkan untuk membuat satu produk dan tidak cukup untuk yang lain" (1803, hlm. 178-179).[76]

Penalaran terkait muncul dalam karya John Stuart Mill dan sebelumnya dalam karya ayahnya yang juga seorang ekonom klasik Skotlandia James Mill (1808). Mill senior menyatakan kembali hukum Say pada tahun 1808, menulis: "produksi komoditas menciptakan, dan merupakan satu-satunya penyebab universal yang menciptakan pasar untuk komoditas yang diproduksi".[77]

Selain warisan Smith dan Say, teori populasi Thomas Malthus dan hukum upah besi David Ricardo menjadi doktrin sentral ekonomi klasik.[78] Sementara itu, Jean-Baptiste Say menantang teori nilai kerja Smith. Say percaya bahwa harga ditentukan oleh utilitas dan juga menekankan peran penting pengusaha dalam perekonomian. Namun, tak satu pun dari pengamatan tersebut diterima oleh para ekonom Inggris pada saat itu. Malthus menulis An Essay on the Principle of Population pada tahun 1798,[79] yang mempenyai pengaruh besar pada liberalisme klasik. Malthus menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk akan melebihi produksi pangan karena penduduk tumbuh secara geometris sedangkan produksi pangan tumbuh secara aritmatika. Ketika orang diberi makanan, mereka akan bereproduksi sampai pertumbuhan mereka melampaui pasokan makanan. Alam kemudian akan memberikan cek untuk pertumbuhan dalam bentuk kejahatan dan kesengsaraan. Tidak ada perolehan pendapatan yang dapat mencegah hal ini dan kesejahteraan apa pun bagi orang miskin akan merugikan diri sendiri. Orang miskin sebenarnya bertanggung jawab atas masalah mereka sendiri yang sebenarnya bisa dihindari dengan menahan diri.[80]

Beberapa pemikir liberal, termasuk Adam Smith dan Richard Cobden, berpendapat bahwa pertukaran barang antar negara secara bebas akan mengarah pada perdamaian dunia.[81] Smith berpendapat bahwa seiring kemajuan masyarakat, rampasan perang akan meningkat, tetapi biaya perang akan meningkat lebih jauh. Ini membuat perang menjadi sulit dan mahal bagi negara-negara industri.[82] Cobden percaya bahwa pengeluaran militer memperburuk kesejahteraan negara dan menguntungkan minoritas elit yang kecil namun terkonsentrasi; menggabungkan keyakinan Little Englander-nya dengan oposisi terhadap pembatasan ekonomi dari kebijakan merkantilis. Bagi Cobden dan banyak pemikir liberal klasik, mereka yang menganjurkan perdamaian juga harus menganjurkan pasar bebas.[83]

Utilitarianisme dilihat sebagai pembenaran politik untuk penerapan liberalisme ekonomi oleh pemerintah Inggris, sebuah gagasan yang mendominasi kebijakan ekonomi dari tahun 1840-an. Meskipun utilitarianisme mendorong reformasi legislatif dan administratif dan tulisan-tulisan John Stuart Mill selanjutnya meramalkan negara kesejahteraan, itu terutama digunakan sebagai premis untuk pendekatan laissez-faire.[84] Konsep sentral utilitarianisme, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham, adalah bahwa kebijakan publik harus berusaha memberikan "kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbesar". Pandangan ini dapat ditafsirkan sebagai pembenaran atas tindakan negara untuk mengurangi kemiskinan. Ini juga digunakan oleh pemikir liberal klasik untuk membenarkan kelambanan tindakan dengan argumen bahwa keuntungan bersih bagi semua individu akan lebih tinggi.[78] Filosofinya terbukti sangat berpengaruh pada kebijakan pemerintah dan menyebabkan peningkatan upaya Benthamite di kontrol sosial pemerintah, termasuk Polisi Metropolitan Robert Peel, reformasi penjara, rumah kerja dan rumah sakit jiwa.

Ekonomi Keynesian

John Maynard Keynes, salah satu ekonom paling berpengaruh di zaman modern dan gagasannya, yang masih dirasakan secara luas, memformalkan kebijakan ekonomi liberal modern.

Selama masa Depresi Besar, tanggapan liberal definitif terhadap krisis ekonomi diberikan oleh ekonom Inggris John Maynard Keynes (1883–1946). Keynes telah "dibesarkan" sebagai seorang liberal klasik, tetapi terutama setelah Perang Dunia I semakin mendukung konsep liberal kesejahteraan atau sosial.[85] Sebagai seorang penulis yang produktif, ia memulai sebuah karya teoretis yang meneliti hubungan antara pengangguran, uang, dan harga pada tahun 1920-an.[86] Keynes sangat kritis terhadap langkah-langkah penghematan pemerintah Inggris selama masa Depresi Hebat. Dia percaya bahwa defisit anggaran adalah hal yang baik, produk dari resesi. Dia menulis: "Untuk pinjaman Pemerintah dari satu jenis atau lainnya adalah obat alam, sehingga untuk berbicara, untuk mencegah kerugian bisnis dari kemerosotan yang begitu parah seperti yang sekarang, begitu besar untuk membawa produksi sama sekali terhenti".[87] Pada puncak Depresi Hebat pada tahun 1933, Keynes menerbitkan The Means to Prosperity, yang berisi rekomendasi kebijakan khusus untuk mengatasi pengangguran dalam resesi global, terutama melawan pengeluaran publik siklis. Sarana untuk Kemakmuran berisi salah satu penyebutan pertama dari efek pengganda.[88]

Karya Magnum opus Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money, diterbitkan pada tahun 1936[89] dan memberikan pembenaran teoretis untuk kebijakan intervensionis untuk mengatasi resesi. Karya ini menantang paradigma ekonomi neo-klasik sebelumnya, yang berpendapat bahwa asalkan tidak terkekang oleh campur tangan pemerintah, pasar secara alami akan membangun keseimbangan lapangan kerja penuh. Ekonom klasik telah percaya pada hukum Say, yang secara sederhana menyatakan bahwa "penawaran menciptakan permintaannya sendiri" dan bahwa dalam pasar bebas pekerja akan selalu bersedia menurunkan upah mereka ke tingkat ketika majikan dapat menawarkan pekerjaan secara menguntungkan kepada mereka. Sebuah inovasi dari Keynes adalah konsep price stickiness, yaitu pengakuan bahwa pada kenyataannya pekerja sering menolak untuk menurunkan tuntutan upah mereka bahkan dalam kasus ketika seorang ekonom klasik mungkin berpendapat bahwa hal itu rasional bagi mereka untuk melakukannya. Sebagian karena kekakuan harga, telah ditetapkan bahwa interaksi "permintaan agregat" dan "penawaran agregat" dapat menyebabkan keseimbangan pengangguran yang stabil dan dalam kasus-kasus itu adalah negara dan bukan pasar yang harus diandalkan oleh ekonomi untuk keselamatan mereka. Buku tersebut menganjurkan kebijakan ekonomi aktivis oleh pemerintah untuk merangsang permintaan pada saat pengangguran tinggi, misalnya dengan pengeluaran untuk pekerjaan umum. Pada tahun 1928, dia menulis: "Mari kita bangun dan melakukan, menggunakan sumber daya kita yang tidak berguna untuk meningkatkan kekayaan kita. [. . . ] Dengan pria dan tanaman menganggur, adalah konyol untuk mengatakan bahwa kita tidak mampu membayar perkembangan baru ini. Justru dengan tanaman ini dan orang-orang inilah kita akan membelinya".[87] Ketika pasar gagal mengalokasikan sumber daya dengan tepat, pemerintah diharuskan untuk merangsang ekonomi sampai dana swasta dapat mulai mengalir kembali—strategi "prime the pump" yang dirancang untuk meningkatkan produksi industri.[90]

Teori feminis liberal

Feminisme liberal, sebuah tradisi dominan dalam sejarah feminis, adalah bentuk teori feminis individualistik yang berfokus pada kemampuan perempuan untuk mempertahankan kesetaraan mereka melalui tindakan dan pilihan mereka sendiri. Feminis liberal mempunyai tujuan untuk menghapus semua hambatan terhadap kesetaraan gender dan menyatakan bahwa keberadaan hambatan-hambatan ini akan terus menghilangkan hak dan kebebasan individu yang seolah-olah dijamin oleh tatanan sosial liberal.[91] Mereka berargumen bahwa masyarakat memegang keyakinan yang salah dengan meyakini bahwa perempuan pada dasarnya kurang mampu secara intelektual dan fisik dibandingkan laki-laki; sehingga cenderung mendiskriminasi perempuan di universitas, forum dan pasar tenaga kerja. Feminis liberal percaya bahwa "subordinasi perempuan berakar pada seperangkat batasan adat dan hukum yang menghalangi perempuan untuk mencapai kesuksesan di ruang publik". Mereka berjuang untuk kesetaraan gender melalui reformasi politik dan hukum.[92]

Filsuf Inggris Mary Wollstonecraft (1759-1797) secara luas dianggap sebagai pelopor feminisme liberal, dengan karyanya A Vindication of the Rights of Woman (1792) yang memperluas kerangka pemikiran liberalisme dengan memasukkan perempuan dalam struktur politik masyarakat liberal.[93] Dalam A Vindication of the Rights of Woman, Wollstonecraft mengomentari pandangan masyarakat tentang perempuan dan mendorong perempuan untuk menggunakan suara mereka dalam membuat keputusan sendiri, bukan berdasarkan keputusan yang dibuat sebelumnya untuk mereka. Wollstonecraft menentang anggapan "bahwa perempuan, secara alami, lebih suka mencari kesenangan dan memberi kesenangan dibandingkan laki-laki. Dia beralasan bahwa jika laki-laki dikurung di kandang yang sama yang menghambat perempuan, laki-laki juga akan mengembangkan karakter cacat yang sama." Apa yang paling diinginkan Wollstonecraft untuk perempuan adalah agar mereka juga diperlakukan sebagai manusia yang setara, seperti halnya laki-laki.[92]

John Stuart Mill juga merupakan pendukung awal feminisme. Dalam artikelnya The Subjection of Women (1861, diterbitkan 1869), Mill ingin membuktikan bahwa penindasan terhadap perempuan adalah salah dan bahwa harus ada jalan untuk mencapai kesetaraan yang sempurna antara laki-laki dan perempuan.[94][95] Dia percaya bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Dia juga mengatakan bahwa "sampai kondisi kesetaraan ada, tidak ada yang bisa menilai perbedaan alami antara perempuan dan laki-laki yang terdistorsi seperti sebelumnya. Apa yang alami bagi laki-laki dan perempuan hanya dapat ditemukan dengan membiarkan keduanya mengembangkan dan menggunakan kemampuan mereka secara bebas".[96] Mill sering berbicara tentang ketidaksetaraan ini dan bertanya-tanya apakah perempuan dapat merasakan "ketidakegoisan sejati" yang sama seperti yang dilakukan laki-laki dalam menafkahi keluarga mereka. Ketidakegoisan yang diadvokasi ini adalah "yang memotivasi orang untuk memperhitungkan kebaikan masyarakat serta kebaikan individu atau unit keluarga kecil".[92] Mirip dengan Mary Wollstonecraft, Mill menyamakan ketidaksetaraan gender dengan perbudakan. Ia beralasan bahwa suami mereka seringkali sama kasarnya dengan majikan seorang budak dan bahwa seorang suami mengendalikan hampir setiap aspek kehidupan perempuan seperti halnya seorang majikan mengendalikan budaknya. Dalam bukunya The Subjection of Women, Mill berpendapat bahwa tiga aspek kehidupan perempuan yang menghalangi kemajuan mereka: masyarakat dan konstruksi gender, akses pendidikan dan pernikahan.[97]

Feminisme kesetaraan adalah bentuk feminisme liberal yang dibahas sejak tahun 1980-an,[98][99] khususnya jenis feminisme liberal klasik atau libertarian.[100] Steven Pinker, seorang psikolog evolusioner, mendefinisikan feminisme kesetaraan sebagai "sebuah doktrin moral tentang perlakuan yang sama yang tidak membuat komitmen mengenai masalah empiris terbuka dalam psikologi atau biologi".[101] Barry Kuhle menegaskan bahwa feminisme kesetaraan sesuai dengan psikologi evolusioner, berbeda dengan feminisme gender[pranala nonaktif permanen].[102]

Teori liberal sosial

Sismondi, orang yang pertama menulis kritik pasar bebas dari perspektif liberal pada tahun 1819

Karya Jean Charles Léonard Simonde de Sismondi, Nouveaux principes d'économie politique, ou de la richesse dans ses rapports avec la population (1819), merepresentasikan kritik liberal komprehensif pertama terhadap kapitalisme awal dan ekonomi laissez-faire. Tulisannya, yang dipelajari oleh John Stuart Mill dan Karl Marx di antara banyak pemikir lainnya, memiliki pengaruh besar pada tanggapan liberal dan sosialis terhadap kegagalan dan kontradiksi masyarakat industri.[103][104][105] Pada akhir abad ke-19, prinsip- prinsip liberalisme klasik semakin ditantang oleh penurunan pertumbuhan ekonomi, persepsi yang berkembang tentang masalah kemiskinan, pengangguran dan kemiskinan yang relatif ada di kota-kota industri modern serta agitasi buruh terorganisir. Cita-cita individu yang dibuat sendiri, yang melalui kerja keras dan bakat dapat memberinya tempat di dunia, tampaknya semakin tidak masuk akal. Reaksi politik utama terhadap perubahan yang diperkenalkan oleh industrialisasi dan kapitalisme laissez-faire datang dari kaum konservatif yang peduli dengan keseimbangan sosial, meskipun sosialisme kemudian menjadi kekuatan yang lebih penting untuk perubahan dan reformasi. Beberapa penulis Victoria, termasuk Charles Dickens, Thomas Carlyle dan Matthew Arnold, menjadi kritikus awal terhadap ketidakadilan sosial yang berpengaruh.[106]

Kelompok liberal baru mulai mengadaptasi bahasa lama liberalisme untuk menghadapi keadaan sulit ini, yang mereka yakini hanya dapat diselesaikan melalui konsepsi negara yang lebih luas dan intervensionis. Hak yang sama atas kebebasan tidak dapat ditegakkan hanya dengan memastikan bahwa individu-individu tidak secara fisik saling mengganggu, atau hanya dengan memiliki undang-undang yang dirumuskan dan diterapkan secara tidak memihak. Langkah-langkah yang lebih positif dan proaktif diperlukan untuk memastikan bahwa setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kesuksesan.[107]

John Stuart Mill, Karyanya, On Liberty, sangat mempengaruhi jalannya liberalisme abad ke-19

John Stuart Mill berkontribusi besar pada pemikiran liberal dengan menggabungkan unsur-unsur liberalisme klasik dengan apa yang akhirnya dikenal sebagai liberalisme baru. Karya Mill On Liberty (1859) membahas sifat dan batas kekuasaan yang dapat dijalankan secara sah oleh masyarakat atas individu.[108] Dia memberikan pembelaan yang penuh semangat atas kebebasan berbicara, dengan alasan bahwa wacana bebas adalah kondisi yang diperlukan untuk kemajuan intelektual seseorang dan kemajuan sosial. Mill mendefinisikan "kebebasan sosial" sebagai perlindungan dari "tirani penguasa politik". Dia memperkenalkan sejumlah konsep tentang bentuk tirani yang dapat diambil, masing-masing disebut sebagai tirani sosial dan tirani mayoritas. Kebebasan sosial berarti pembatasan kekuasaan penguasa dengan memperoleh pengakuan atas kebebasan atau hak politik dan dengan pembentukan sistem "pemeriksaan konstitusional".[109]

Definisinya tentang kebebasan dipengaruhi oleh Joseph Priestley dan Josiah Warren. Kebebasan, menurutnya, adalah bahwa individu harus bebas melakukan apa yang dia inginkan kecuali dia merugikan orang lain.[110] Namun, meskipun filosofi ekonomi awal Mill mendukung pasar bebas dan berpendapat bahwa pajak progresif menghukum mereka yang bekerja keras,[111] ia kemudian mengubah pandangannya ke arah yang lebih sosialis, menambahkan bab ke Principles of Political Economy-nya untuk membela pandangan sosialis dan membela beberapa tujuan sosialis,[112] termasuk proposal radikal bahwa seluruh sistem upah dihapuskan demi sistem upah koperasi.

Pemikir liberal awal lainnya yang beralih ke intervensi pemerintah yang lebih besar adalah Thomas Hill Green. Melihat efek alkohol, ia percaya bahwa negara harus mendorong dan melindungi lingkungan sosial, politik dan ekonomi agar individu dapat memiliki kesempatan terbaik untuk bertindak sesuai dengan hati nurani mereka. Negara harus campur tangan hanya jika terdapat kecenderungan yang jelas, terbukti dan kuat bahwa kebebasan akan memperbudak individu.[113] Green menganggap negara nasional sebagai sah hanya sejauh ia menjunjung tinggi sistem hak dan kewajiban yang paling mungkin untuk mendorong realisasi diri individu.

Liberalisme Baru atau gerakan liberalisme sosial muncul sekitar tahun 1900 di Inggris.[114] Kelompok Liberal Baru mencakup intelektual seperti LT Hobhouse dan John A. Hobson, yang melihat kebebasan individu sebagai sesuatu yang hanya dapat dicapai dalam keadaan sosial dan ekonomi yang menguntungkan.[115] Dalam pandangan mereka, kemiskinan, kemelaratan, dan ketidaktahuan yang menjadi tempat hidup banyak orang membuat kebebasan dan individualitas tidak mungkin berkembang. Kelompok Liberal Baru percaya bahwa kondisi ini hanya dapat diperbaiki melalui tindakan kolektif yang dikoordinasikan oleh negara yang kuat, berorientasi pada kesejahteraan, dan intervensionis.[116] Ini mendukung ekonomi campuran yang mencakup kepemilikan publik dan swasta terhadap barang modal.[117][118]

Prinsip-prinsip yang dapat digambarkan sebagai liberal sosial telah didasarkan atau dikembangkan oleh para filsuf seperti John Stuart Mill, Eduard Bernstein, John Dewey, Carlo Rosselli, Norberto Bobbio dan Chantal Mouffe.[119] Tokoh sosial liberal penting lainnya termasuk Guido Calogero, Piero Gobetti, Leonard Trelawny Hobhouse dan RH Tawney.[120] Sosialisme liberal sangat berperan dalam politik Inggris dan Italia.[120]

Teori anarko-kapitalis

Gustave de Molinari
Julius Faucher

Liberalisme klasik menganjurkan perdagangan bebas di bawah aturan hukum. Anarko-kapitalisme melangkah lebih jauh dengan penegakan hukum dan pengadilan disediakan oleh perusahaan swasta. Berbagai pemikir telah menganut filsafat hukum yang mirip dengan anarko-kapitalisme. Salah satu pemikir liberal pertama yang membahas kemungkinan privatisasi perlindungan kebebasan individu dan properti adalah Jakob Mauvillon dari Prancis pada abad ke-18. Kemudian pada tahun 1840-an, Julius Faucher dan Gustave de Molinari menganjurkan hal yang sama. Dalam esainya The Production of Security, Molinari berpendapat: "Tidak ada pemerintah yang berhak mencegah pemerintah lain bersaing dengannya, atau meminta konsumen keamanan untuk datang secara eksklusif ke sana untuk komoditas ini". Molinari dan tipe baru liberal anti-negara ini mendasarkan penalaran mereka pada cita-cita liberal dan ekonomi klasik. Sejarawan dan libertarian Ralph Raico berpendapat bahwa apa yang "telah dikemukakan oleh para filsuf liberal ini adalah bentuk anarkisme individualis, atau, seperti yang akan disebut sekarang, anarko-kapitalisme atau anarkisme pasar".[121] Berbeda dengan liberalisme Locke, yang melihat negara berkembang dari masyarakat, kaum liberal anti-negara melihat konflik yang mendasar antara interaksi sukarela orang, yaitu masyarakat; dan lembaga-lembaga kekuatan, yaitu negara. Ide masyarakat versus negara ini diekspresikan dalam berbagai cara: masyarakat alami vs. masyarakat buatan, kebebasan vs. otoritas, masyarakat kontrak vs. masyarakat otoritas dan masyarakat industri vs. masyarakat militan.[122] Tradisi liberal anti-negara di Eropa dan Amerika Serikat berlanjut setelah Molinari dengan munculnya tulisan-tulisan awal Herbert Spencer serta para pemikir seperti Paul mile de Puydt dan Auberon Herbert. Namun, orang pertama yang menggunakan istilah anarko-kapitalisme adalah Murray Rothbard, yang pada pertengahan abad ke-20 mensintesis elemen-elemen dari aliran ekonomi Austria, liberalisme klasik, dan anarkis individualis Amerika abad ke-19 Lysander Spooner dan Benjamin Tucker (sambil menolak teori nilai kerja dan norma-norma yang mereka peroleh darinya).[123] Anarko-kapitalisme menganjurkan penghapusan negara demi kedaulatan individu, kepemilikan pribadi, dan pasar bebas. Anarko-kapitalis percaya bahwa dengan tidak adanya undang-undang (hukum dengan keputusan atau undang- undang ), masyarakat akan memperbaiki dirinya sendiri melalui disiplin pasar bebas (atau apa yang digambarkan oleh para pendukungnya sebagai "masyarakat sukarela").[124][125]

Dalam masyarakat anarko-kapitalis teoretis, penegakan hukum, pengadilan, dan semua layanan keamanan lainnya akan dioperasikan oleh swasta yang didanai secara pribadi dibandingkan secara terpusat melalui perpajakan. Uang, bersama dengan semua barang dan jasa lainnya, akan disediakan secara pribadi dan kompetitif di pasar terbuka. Anarko-kapitalis mengatakan kegiatan pribadi dan ekonomi di bawah anarko-kapitalisme akan diatur oleh organisasi penyelesaian sengketa berbasis korban di bawah hukum gugatan dan kontrak, bukan oleh undang-undang melalui hukuman yang ditentukan secara terpusat di bawah apa yang mereka gambarkan sebagai "monopoli politik".[126] Sebuah masyarakat anarko-kapitalis Rothbardian akan beroperasi di bawah "kode hukum libertarian yang disepakati bersama yang akan diterima secara umum, dan yang akan dipatuhi oleh pengadilan".[127] Pakta ini akan mengakui kepemilikan diri dan prinsip non-agresi (NAP), meskipun metode penegakannya bervariasi.

Sejarah

John Locke merupakan orang pertama yang mengembangkan filsafat liberal, termasuk hak atas kepemilikan pribadi dan persetujuan dari yang diperintah.

Pemikiran liberal yang terisolasi telah ada dalam filsafat Barat sejak Yunani Kuno dan dalam filsafat Timur sejak periode Song dan Ming. Ide-ide ini pertama kali disatukan dan disistematisasikan sebagai ideologi yang berbeda oleh filsuf Inggris John Locke, yang umumnya dianggap sebagai bapak liberalisme modern.[29][30][35][36] Tanda-tanda besar pertama dari politik liberal muncul di zaman modern. Ide-ide ini mulai menyatu pada saat Perang Saudara Inggris. Selama masa perang, the Levellers, sebuah gerakan politik radikal, menyerukan kebebasan beragama dan persamaan di hadapan hukum. Pengaruh dari ide-ide ini terus berkembang selama abad ke-17 di Inggris, yang berpuncak pada Revolusi Agung 1688, yang mengabadikan kedaulatan parlementer dan hak revolusi serta berpengaruh pada pembentukan apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai negara liberal modern pertama.[10] Perkembangan liberalisme berlanjut sepanjang abad ke-18 dengan berkembangnya cita-cita Pencerahan pada zaman itu. Pada masa ini, para intelektual mempertanyakan tradisi lama dan mempengaruhi dijalankannya beberapa monarki Eropa sepanjang abad ke-18. Ketegangan politik antara Inggris dan koloni Amerika terjadi setelah 1765 dan Perang Tujuh Tahun karena masalah perpajakan tanpa perwakilan, yang berpuncak pada Deklarasi Kemerdekaan republik baru, dan Perang Revolusi Amerika yang dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan itu. Setelah perang, para pemimpin berdebat tentang bagaimana cara untuk bergerak maju. Pasal-Pasal Konfederasi, yang ditulis pada tahun 1776, sekarang tampak tidak memadai untuk memberikan keamanan, atau bahkan pemerintahan yang fungsional. Kongres Konfederasi yang disebut Konvensi Konstitusi pada tahun 1787 mengakibatkan penulisan Konstitusi baru Amerika Serikat untuk membentuk pemerintah federal. Pada periode-periode ini, Konstitusi adalah sebuah dokumen republik dan liberal.[128][129] Konstitusi Amerika Serikat tetap menjadi dokumen pemerintahan liberal tertua yang berlaku di dunia.

Montesquieu mendukung pemisahan kekuasaan negara

Di Eropa, liberalisme memiliki tradisi panjang terutama sejak abad ke-17.[130] Revolusi Perancis dimulai pada tahun 1789. Dua peristiwa penting yang menandai kemenangan liberalisme adalah penghapusan feodalisme di Prancis pada malam tanggal 4 Agustus 1789, yang menandai runtuhnya hak-hak tradisional feodal dan hak-hak istimewa serta adanya pembatasan kekuasaan dengan pengesahan Deklarasi Hak Man dan Citizen pada bulan Agustus.[131] Selama Perang Napoleon, orang-orang Prancis mempengaruhi negara-negara Eropa Barat dengan penghapusan sistem feodal, liberalisasi hukum properti, akhir iuran seigneurial, penghapusan serikat, legalisasi perceraian, disintegrasi ghetto Yahudi, runtuhnya Inkuisisi, runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci, penghapusan pengadilan gereja dan otoritas agama di ruang publik, pembentukan sistem metrik dan pengakuan atas kesetaraan hukum untuk semua orang.[132] Salah satu pengaruh Prancis yang paling bertahan lama, KUH Perdata, telah diadopsi di banyak negara di seluruh dunia",[133] tetapi juga melanggengkan diskriminasi lebih lanjut terhadap perempuan di bawah konsep "tatanan alam".[134]

Perkembangan liberalisme klasik terjadi sebelum dan sesudah Revolusi Perancis di Inggris.[135] Karya Adam Smith, The Wealth of Nations, yang diterbitkan pada tahun 1776, memberikan sebagian besar ide-ide ekonomi setidaknya sampai publikasi Principles of Political Economy karya John Stuart Mill pada tahun 1848.[65] Smith membahas motivasi kegiatan ekonomi, penyebab harga dan distribusi kekayaan dan kebijakan yang harus diikuti negara untuk memaksimalkan kekayaan.[66] Gerakan liberal radikal dimulai pada tahun 1790-an di Inggris dan berkonsentrasi pada reformasi parlementer dan elektoral, menekankan hak-hak alami dan kedaulatan rakyat. Kaum radikal seperti Richard Price dan Joseph Priestley melihat reformasi parlemen sebagai langkah pertama untuk menangani banyak keluhan mereka, termasuk perlakuan terhadap Pembangkang Protestan, perdagangan budak, harga tinggi dan pajak tinggi.[136]

Di Amerika Latin, kerusuhan liberal dimulai pada abad ke-18, ketika agitasi liberal di Amerika Latin menyebabkan kemerdekaan dari kekuasaan kekaisaran Spanyol dan Portugal. Rezim-rezim baru ini umumnya liberal dalam pandangan politik mereka dan menggunakan filosofi positivisme, yang menekankan kebenaran ilmu pengetahuan modern, untuk menopang posisi mereka.[137] Di Amerika Serikat, perang saudara yang besar menghasilkan penghapusan perbudakan di Selatan. Sejarawan Don Doyle berpendapat bahwa kemenangan Union dalam Perang Saudara Amerika (1861–1865) memberikan dorongan besar bagi jalannya liberalisme.[138]

Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Kekaisaran Ottoman dan Timur Tengah, liberalisme mempengaruhi periode reformasi seperti Tanzimat dan Al-Nahda; bangkitnya sekularisme, konstitusionalisme dan nasionalisme; dan munculnya kelompok dan gerakan intelektual dan agama yang berbeda, seperti Utsmaniyah Muda dan Modernisme Islam. Tokoh terkemuka pada zaman itu adalah Rifa'a al-Tahtawi, Namık Kemal dan brahim inasi. Namun, ide dan tren reformis tidak berhasil menjangkau masyarakat umum karena buku, majalah, dan surat kabar hanya dapat diakses oleh para intelektual dan segmen kelas menengah yang baru muncul, sementara banyak Muslim melihatnya sebagai pengaruh asing di dunia Islam. Persepsi itu memperumit upaya reformis yang dilakukan di negara-negara Timur Tengah.[139][140] Perubahan-perubahan ini, bersama dengan faktor-faktor lain, menciptakan rasa krisis dalam Islam, yang berlanjut hingga hari ini. Hal ini turut menyebabkan kebangkitan Islamisme.[141]

Lukisan ikonik Liberty Leading the People oleh Eugène Delacroix, sebuah tablo Revolusi Juli tahun 1830

Gerakan abolisionis dan hak pilih semakin menyebar, bersama dengan cita-cita perwakilan dan demokrasi. Prancis mendirikan republik ketiga pada tahun 1870-an. Namun, nasionalisme juga menyebar dengan cepat setelah tahun 1815. Campuran sentimen liberal dan nasionalis di Italia dan Jerman membawa penyatuan kedua negara pada akhir abad ke-19. Sebuah rezim liberal berkuasa di Italia dan mengakhiri kekuasaan para Paus. Namun, Vatikan melancarkan perang salib melawan liberalisme. Paus Pius IX mengeluarkan Silabus Kesalahan pada tahun 1864 yang mengutuk liberalisme dalam segala bentuknya. Di banyak negara, kekuatan liberal merespons dengan mengusir ordo Jesuit. Pada akhir abad kesembilan belas, prinsip-prinsip liberalisme klasik semakin ditentang dan cita-cita individu yang mandiri tampaknya semakin dianggap tidak masuk akal. Penulis Inggris era Victoria seperti Charles Dickens, Thomas Carlyle dan Matthew Arnold adalah kritikus berpengaruh awal ketidakadilan sosial.[106]

Sebagai seorang nasionalis liberal,[142] KJ Ståhlberg (1865–1952), Presiden Finlandia, menambatkan negara dalam demokrasi liberal, menjaga supremasi hukum, dan memulai reformasi internal.[143]

Liberalisme memperoleh momentum pada awal abad ke-20. Benteng otokrasi, Tsar Rusia, digulingkan pada fase pertama Revolusi Rusia. Kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia Pertama dan runtuhnya empat kerajaan tampaknya menandai kemenangan liberalisme di seluruh benua Eropa. Tidak hanya di antara negara-negara sekutu yang menang, tetapi juga di Jerman dan negara-negara Eropa Timur yang baru terbentuk. Militerisme, seperti yang dilambangkan oleh Jerman, dikalahkan dan didiskreditkan. Seperti yang dikemukakan Blinkhorn, tema-tema liberal sangat berpengaruh dalam hal "pluralisme budaya, toleransi agama dan etnis, penentuan nasib sendiri nasional, ekonomi pasar bebas, pemerintahan yang representatif dan bertanggung jawab, perdagangan bebas, serikat pekerja, dan penyelesaian damai perselisihan internasional melalui cara baru, Liga Bangsa-Bangsa".

Foto berwarna Franklin D. Roosevelt sebagai Man of the Year of Time pada Januari 1933

Di Amerika Serikat, liberalisme modern berawal dari kepresidenan populer Franklin D. Roosevelt, yang memprakarsai Kesepakatan Baru dalam menanggapi Depresi Hebat dan memenangkan empat pemilihan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Koalisi New Deal yang didirikan oleh Roosevelt meninggalkan warisan yang menentukan dan memengaruhi banyak presiden Amerika di masa depan, termasuk John F. Kennedy.[144] Sementara itu, tanggapan liberal definitif terhadap Depresi Hebat diberikan oleh ekonom Inggris John Maynard Keynes, yang telah memulai sebuah karya teoretis yang meneliti hubungan antara pengangguran, uang, dan harga pada tahun 1920-an.[145] Depresi Hebat di seluruh dunia, mulai tahun 1929, mempercepat pendiskreditan ekonomi liberal dan memperkuat seruan untuk kontrol negara atas urusan ekonomi. Kesengsaraan ekonomi mendorong kerusuhan yang meluas di dunia politik Eropa, yang mengarah pada kebangkitan fasisme sebagai ideologi dan gerakan yang menentang liberalisme dan komunisme, terutama di Jerman Nazi dan Italia.[146] Kebangkitan fasisme di tahun 1930-an akhirnya memuncak dalam Perang Dunia II, salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah manusia. Blok Sekutu menang dalam perang pada tahun 1945 dan kemenangan mereka memulai babak baru untuk Perang Dingin antara Blok Timur Komunis dan Blok Barat liberal.

Di Iran, liberalisme sempat menikmati popularitas yang luas. Pada April 1951, Front Nasional menjadi koalisi pemerintahan ketika seorang politisi yang terpilih secara demokratis, Mohammad Mosaddegh, seorang nasionalis liberal, menjabat sebagai Perdana Menteri. Namun, cara pemerintahannya bertentangan dengan kepentingan Barat dan ia dilengserkan dari kekuasaan melalui kudeta pada 19 Agustus 1953. Kudeta tersebut mengakhiri dominasi liberalisme dalam politik negara itu.[152]

Di antara berbagai gerakan regional dan nasional, gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat selama tahun 1960-an sangat menonjolkan upaya-upaya liberal untuk mewujudkan persamaan hak.[153] Proyek Great Society yang diluncurkan oleh Presiden Lyndon B. Johnson mengawasi pembentukan Medicare dan Medicaid, pembentukan Head Start dan Job Corps sebagai bagian dari Perang Melawan Kemiskinan dan pengesahan Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964, serangkaian peristiwa yang oleh beberapa sejarawan dijuluki "the Liberal Hour".[154]

Protes Rusia 2017 diorganisir oleh oposisi liberal Rusia

Perang Dingin menampilkan persaingan ideologis yang luas dan beberapa perang proksi, tetapi Perang Dunia III yang dikhawatirkan akan terjadi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat tidak pernah terjadi. Sementara negara-negara komunis dan demokrasi liberal bersaing satu sama lain, krisis ekonomi pada 1970-an mengilhami perpindahan dari ekonomi Keynesian, terutama di bawah Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat. Tren ini, yang dikenal sebagai neoliberalisme, merupakan pergeseran paradigma dari konsensus Keynesian pascaperang yang berlangsung dari 1945 hingga 1980.[155][156] Sementara itu, menjelang akhir abad ke-20, negara-negara komunis di Eropa Timur runtuh secara drastis. Ini membuat demokrasi liberal sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan utama di Barat.

Pada awal Perang Dunia II, jumlah demokrasi di seluruh dunia hampir sama dengan empat puluh tahun sebelumnya.[157] Setelah 1945, demokrasi liberal menyebar sangat cepat, tetapi kemudian mengalami kemunduran. Dalam The Spirit of Democracy, Larry Diamond berpendapat bahwa pada tahun 1974 "kediktatoran, bukan demokrasi, adalah cara dunia" dan bahwa "hampir seperempat negara merdeka memilih pemerintah mereka melalui pemilihan yang kompetitif, bebas, dan adil". Diamond selanjutnya mengatakan bahwa demokrasi bangkit kembali dan pada tahun 1995 dunia menjadi "sangat demokratis".[158][159]

Kritik dan dukungan

Eksekusi José María de Torrijos y Uriarte dan anak buahnya pada tahun 1831 ketika Raja Spanyol Ferdinand VII mengambil tindakan represif terhadap kekuatan liberal di negaranya
Raif Badawi, seorang penulis Arab Saudi dan pencipta situs web Free Saudi Liberals dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara dan 1.000 cambukan karena dianggap "menghina Islam" pada tahun 2014

Liberalisme telah menuai kritik dan dukungan dalam sejarahnya dari berbagai kelompok ideologis. Yang kurang bersahabat dengan tujuan liberalisme adalah konservatisme. Edmund Burke, yang sering dianggap sebagai pendukung pertama pemikiran konservatif modern, menawarkan kritik pedas terhadap Revolusi Prancis dengan menyerang pretensi liberal terhadap kekuatan rasionalitas dan kesetaraan alami semua manusia.[160]

Terdapat pula kebingungan tentang hubungan antara liberalisme sosial dan sosialisme, meskipun faktanya banyak varian sosialisme yang membedakan diri mereka dengan liberalisme dengan menentang kapitalisme, hierarki, dan kepemilikan pribadi. Sosialisme terbentuk sebagai sekelompok ideologi yang terkait namun berbeda pada abad ke-19 seperti sosialisme Kristen, komunisme (dengan tulisan-tulisan Karl Marx) dan anarkisme sosial (dengan tulisan-tulisan Mikhail Bakunin). Komunisme dan anarkisme sosial dipengaruhi oleh Komune Paris. Ideologi-ideologi ini—seperti halnya liberalisme dan konservatisme—terpecah menjadi beberapa gerakan besar dan kecil dalam dekade-dekade berikutnya.[161] Marx menolak aspek-aspek dasar teori liberal. Dia berharap untuk menghancurkan negara dan perbedaan liberal antara masyarakat dan individu sambil menggabungkan keduanya menjadi satu kesatuan kolektif yang dirancang untuk menggulingkan tatanan kapitalis yang berkembang pada abad ke-19.[162] Saat ini, partai dan gagasan sosialis tetap menjadi kekuatan politik dengan tingkat pengaruh yang berbeda di banyak negara.

Vladimir Lenin menyatakan bahwa—berlawanan dengan Marxisme — pandangan liberal membela perbudakan upahan.[163][164] Namun, beberapa pendukung liberalisme seperti George Henry Evans, Silvio Gesell dan Thomas Paine mengkritik perbudakan upah.[165][166] Salah satu kritikus liberalisme yang paling vokal adalah Gereja Katolik Roma,[167] yang mengakibatkan perebutan kekuasaan yang panjang antara pemerintah nasional dan Gereja. Kaum konservatif juga menyerang apa yang mereka anggap sebagai tujuan liberal terhadap kemajuan dan keuntungan materi, dengan alasan bahwa kesenangan semacam itu merusak nilai-nilai sosial tradisional yang berakar pada komunitas dan kesinambungan.[168] Namun, beberapa variasi konservatisme, seperti konservatisme liberal, menguraikan beberapa ide dan prinsip yang sama yang diperjuangkan oleh liberalisme klasik, termasuk "pemerintahan kecil dan kapitalisme yang berkembang".[160]

Demokrasi sosial, sebuah ideologi yang menganjurkan modifikasi progresif kapitalisme, muncul pada abad ke-20 dan dipengaruhi oleh sosialisme. Secara luas demokrasi sosial didefinisikan sebagai proyek yang bertujuan untuk memperbaiki masyarakat melalui reformasi pemerintah terhadap "cacat intrinsik kapitalisme" dengan mengurangi ketidaksetaraan ekonomi.[169] Sosial demokrasi juga tidak menentang kekuasaan negara. Beberapa komentator telah mencatat kesamaan yang kuat antara liberalisme sosial dan demokrasi sosial. Seorang ilmuwan politik bahkan menyebut liberalisme Amerika sebagai "demokrasi sosial bajakan" karena tidak adanya tradisi sosial demokrasi yang signifikan di Amerika Serikat yang ingin diperbaiki oleh kelompok liberal.[170] Gerakan lain yang terkait dengan demokrasi modern seperti demokrasi Kristen bermaksud untuk menyebarkan ide-ide sosial Katolik dan telah memperoleh banyak pengikut di beberapa negara Eropa.[171] Akar awal demokrasi Kristen berkembang sebagai reaksi terhadap industrialisasi dan urbanisasi yang terkait dengan liberalisme laissez-faire di abad ke-19.[172] Terlepas dari hubungan yang kompleks ini, beberapa sarjana berpendapat bahwa liberalisme sebenarnya "menolak pemikiran ideologis" sama sekali, terutama karena pemikiran seperti itu dapat mengarah pada harapan yang tidak realistis bagi umat manusia.[173]

Kelompok Fasis menuduh liberalisme sebagai materialisme dan kurangnya nilai-nilai spiritual.[174] Secara khusus, fasisme menentang liberalisme karena materialisme, rasionalisme, individualisme, dan utilitarianismenya.[175] Kaum fasis percaya bahwa penekanan liberal pada kebebasan individu akan menghasilkan perpecahan nasional,[174] tetapi banyak kelompok fasis yang setuju dengan kaum liberal dalam mendukung hak milik pribadi dan ekonomi pasar.[175]

Kaum kiri menuduh doktrin ekonomi liberalisme, seperti kebebasan ekonomi individu, memunculkan apa yang mereka pandang sebagai sistem eksploitasi yang bertentangan dengan prinsip demokrasi liberalisme.[176] Kelompok sayap kanan menuduh doktrin sosial liberalisme, seperti sekularisme dan hak-hak individu, menghancurkan komunitas dan merusak tatanan sosial yang mereka pandang perlu dilestarikan oleh sebuah negara.[176]

Para sarjana telah memuji pengaruh internasionalisme liberal dengan mengklaim bahwa kebangkitan globalisasi "merupakan kemenangan visi liberal yang muncul pertama kali pada abad kedelapan belas". Mereka juga menulis bahwa liberalisme adalah "satu-satunya visi yang komprehensif dan optimistis untuk urusan-urusan dunia".[177]

Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin, seperti dilansir Financial Times, "liberalisme telah menjadi usang". Dia mengklaim bahwa sebagian besar orang di dunia menentang multikulturalisme, imigrasi, dan hak bagi orang-orang yang LGBT.[178]

Referensi

  1. ^ "liberalism In general, the belief that it is the aim of politics to preserve individual rights and to maximize freedom of choice." Concise Oxford Dictionary of Politics, Iain McLean and Alistair McMillan, Third edition 2009, ISBN 978-0-19-920516-5.
  2. ^ "political rationalism, hostility to autocracy, cultural distaste for conservatism and for tradition in general, tolerance, and [...] individualism". John Dunn. Western Political Theory in the Face of the Future (1993). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-43755-4.
  3. ^ "With a nod to Robert Trivers' definition of altruistic behaviour" (Trivers 1971), Satoshi Kanazawa defines liberalism (as opposed to conservatism) as "the genuine concern for the welfare of genetically unrelated others and the willingness to contribute larger proportions of private resources for the welfare of such others" (Kanazawa 2010).
  4. ^ Adams, Sean; Morioka, Noreen; Stone, Terry Lee (2006). Color Design Workbook: A Real World Guide to Using Color in Graphic Design. Gloucester, Mass.: Rockport Publishers. hlm. 86. ISBN 1-59253-192-X. OCLC 60393965. 
  5. ^ Kumar, Rohit Vishal; Joshi, Radhika (October–December 2006). "Colour, Colour Everywhere: In Marketing Too". SCMS Journal of Indian Management. 3 (4): 40–46. ISSN 0973-3167. SSRN 969272alt=Dapat diakses gratis. 
  6. ^ Cassel-Picot, Muriel "The Liberal Democrats and the Green Cause: From Yellow to Green" in Leydier, Gilles and Martin, Alexia (2013) Environmental Issues in Political Discourse in Britain and Ireland. Cambridge Scholars Publishing. p.105. ISBN 9781443852838
  7. ^ a b c Gould, p. 3.
  8. ^ "All mankind [...] being all equal and independent, no one ought to harm another in his life, health, liberty, or possessions", John Locke, Second Treatise of Government
  9. ^ a b Kirchner, p. 3.
  10. ^ a b Steven Pincus (2009). 1688: The First Modern RevolutionPerlu mendaftar (gratis). Yale University Press. ISBN 978-0-300-15605-8. Diakses tanggal 7 February 2013. 
  11. ^ Milan Zafirovski (2007). Liberal Modernity and Its Adversaries: Freedom, Liberalism and Anti-Liberalism in the 21st Century. Brill. hlm. 237. ISBN 978-90-04-16052-1. 
  12. ^ Eddy, Matthew Daniel (2017). "The Politics of Cognition: Liberalism and the Evolutionary Origins of Victorian Education". British Journal for the History of Science. 50 (4): 677–699. doi:10.1017/S0007087417000863. PMID 29019300. 
  13. ^ Koerner, Kirk F. (1985). Liberalism and Its Critics. London: Routledge. ISBN 978-0-429-27957-7. 
  14. ^ Conway, Martin (2014). "The Limits of an Anti-liberal Europe". Dalam Gosewinkel, Dieter. Anti-liberal Europe: A Neglected Story of Europeanization. Berghahn Books. hlm. 184. ISBN 978-1-78238-426-7. Liberalism, liberal values and liberal institutions formed an integral part of that process of European consolidation. Fifteen years after the end of the Second World War, the liberal and democratic identity of Western Europe had been reinforced on almost all sides by the definition of the West as a place of freedom. Set against the oppression in the Communist East, by the slow development of a greater understanding of the moral horror of Nazism, and by the engagement of intellectuals and others with the new states (and social and political systems) emerging in the non-European world to the South 
  15. ^ "Liberalism in America: A Note for Europeans" by Arthur M. Schlesinger Jr. (1956) from: The Politics of Hope (Boston: Riverside Press, 1962). "Liberalism in the U.S. usage has little in common with the word as used in the politics of any other country, save possibly Britain."
  16. ^ Worell, p. 470.
  17. ^ a b c d e f Gross, p. 5.
  18. ^ Kirchner, pp. 2–3.
  19. ^ Colton and Palmer, p. 479.
  20. ^ Emil J. Kirchner, Liberal Parties in Western Europe, "Liberal parties were among the first political parties to form, and their long-serving and influential records, as participants in parliaments and governments, raise important questions [...]", Cambridge University Press, 1988, ISBN 978-0-521-32394-9.
  21. ^ "Liberalism", Encyclopædia Britannica.
  22. ^ Rothbard, The Libertarian Heritage: The American Revolution and Classical Liberalism.
  23. ^ "Content". Parties and Elections in Europe. 2020. 
  24. ^ Puddington, p. 142. "After a dozen years of centre-left Liberal Party rule, the Conservative Party emerged from the 2006 parliamentary elections with a plurality and established a fragile minority government."
  25. ^ Grigsby, pp. 106–07. [Talking about the Democratic Party] "Its liberalism is, for the most part, the later version of liberalism – modern liberalism."
  26. ^ Arnold, p. 3. "Modern liberalism occupies the left-of-center in the traditional political spectrum and is represented by the Democratic Party in the United States."
  27. ^ David Cayla, ed. (2021). Populism and Neoliberalism. Routledge. hlm. 62. ISBN 9781000366709. 
  28. ^ Hans Slomp, ed. (2011). Europe, A Political Profile: An American Companion to European Politics, Volume 1. ABC-CLIO. hlm. 106–108. ISBN 9780313391811. 
  29. ^ a b Bevir, Mark (2010). Encyclopedia of Political Theory: A–E, Volume 1. SAGE Publications. hlm. 164. ISBN 978-1-4129-5865-3. Diakses tanggal 19 May 2017. 
  30. ^ a b Fung, Edmund S. K. (2010). The Intellectual Foundations of Chinese Modernity: Cultural and Political Thought in the Republican Era. Cambridge University Press. hlm. 130. ISBN 978-1-139-48823-5. Diakses tanggal 16 May 2017. 
  31. ^ Antoninus, p. 3.
  32. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x Young 2002.
  33. ^ a b Gray, p. xii.
  34. ^ Wolfe, pp. 33–36.
  35. ^ a b Delaney, p. 18.
  36. ^ a b Godwin et al., p. 12.
  37. ^ Copleston, pp. 39–41.
  38. ^ Young 2002
  39. ^ Locke, p. 170.
  40. ^ Forster, p. 219.
  41. ^ Zvesper, p. 93.
  42. ^ Copleston, p. 33.
  43. ^ a b c Kerber, p. 189.
  44. ^ Feldman, Noah (2005). Divided by God. Farrar, Straus and Giroux, p. 29 ("It took John Locke to translate the demand for liberty of conscience into a systematic argument for distinguishing the realm of government from the realm of religion.")
  45. ^ Feldman, Noah (2005). Divided by God. Farrar, Straus and Giroux, p. 29
  46. ^ McGrath, Alister. 1998. Historical Theology, An Introduction to the History of Christian Thought. Oxford: Blackwell Publishers. pp. 214–15.
  47. ^ Bornkamm, Heinrich (1962), "Toleranz. In der Geschichte des Christentums", Die Religion in Geschichte und Gegenwart (dalam bahasa Jerman) , 3. Auflage, Band VI, col. 942
  48. ^ Hunter, William Bridges. A Milton Encyclopedia, Volume 8 (East Brunswick, NJ: Associated University Presses, 1980). pp. 71, 72. ISBN 0-8387-1841-8.
  49. ^ Wertenbruch, W (1960), "Menschenrechte", Die Religion in Geschichte und Gegenwart (dalam bahasa Jerman), Tübingen, DE , 3. Auflage, Band IV, col. 869
  50. ^ a b Gould, p. 4.
  51. ^ Wolfe, p. 74.
  52. ^ Wolfe, p. 63.
  53. ^ Tenenbaum, Susan (1980). "The Coppet Circle. Literary Criticism as Political Discourse". History of Political Thought. 1 (2): 453–473. 
  54. ^ Lefevere, Andre (2016). Translation, Rewriting, and the Manipulation of Literary Fame. Taylor & Francis. hlm. 109. 
  55. ^ Fairweather, Maria (2013). Madame de Stael. Little, Brown Book Group. 
  56. ^ Hofmann, Etienne; Rosset, François (2005). Le Groupe de Coppet. Une constellation d'intellectuels européens. Presses polytechniques et universitaires romandes. 
  57. ^ Jaume, Lucien (2000). Coppet, creuset de l'esprit libéral: Les idées politiques et constitutionnelles du Groupe de Madame de Staël. Presses Universitaires d'Aix-Marseille. hlm. 10. 
  58. ^ Delon, Michel (1996). "Le Groupe de Coppet". Dalam Francillon, Roger. Histoire de la littérature en Suisse romande t.1. Payot. 
  59. ^ "The Home of French Liberalism". The Coppet Institute. Diakses tanggal 2020-02-20. 
  60. ^ Kete, Kathleen (2012). Making Way for Genius: The Aspiring Self in France from the Old Regime to the New. Yale University Press. ISBN 978-0-300-17482-3. 
  61. ^ a b c d "Constant, Benjamin, 1988, 'The Liberty of the Ancients Compared with that of the Moderns' (1819), in The Political Writings of Benjamin Constant, ed. Biancamaria Fontana, Cambridge, pp. 309–28". Uark.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 August 2012. Diakses tanggal 2013-09-17. 
  62. ^ Bertholet, Auguste (2021). "Constant, Sismondi et la Pologne". Annales Benjamin Constant. 46: 65–76. 
  63. ^ Hofmann, Étienne, ed. (1982). Benjamin Constant, Madame de Staël et le Groupe de Coppet: Actes du Deuxième Congrès de Lausanne à l'occasion du 150e anniversaire de la mort de Benjamin Constant Et Du Troisième Colloque de Coppet, 15–19 juilliet 1980 (dalam bahasa Prancis). Oxford, The Voltaire Foundation and Lausanne, Institut Benjamin Constant. ISBN 0-7294-0280-0. 
  64. ^ Rosen, Frederick (2005). Classical Utilitarianism from Hume to Mill. Routledge. hlm. 251.  According to Berlin, the most eloquent of all defenders of freedom and privacy [was] Benjamin Constant, who had not forgotten the Jacobin dictatorship.
  65. ^ a b Mills, pp. 63, 68
  66. ^ a b c Mills, p. 64
  67. ^ The Wealth of Nations, Strahan and Cadell, 1778
  68. ^ Mills, p. 65
  69. ^ Mills, p. 66
  70. ^ Mills, p. 67
  71. ^ Mills, p. 68
  72. ^ See, e.g., Donald Markwell, John Maynard Keynes and International Relations: Economic Paths to War and Peace, Oxford University Press, 2006, chapter 1.
  73. ^ Mills, p. 69
  74. ^ (Clower 2004)
  75. ^ Bylund, Per. "Say's Law (the Law of Markets)".
  76. ^ "Information on Jean-Baptiste Say".Diarsipkan 26 March 2009 di Wayback Machine.
  77. ^ Mill, James (1808). Commerce Defended. "Chapter VI: Consumption". p. 81.
  78. ^ a b Mills, p. 76
  79. ^ Mills, pp. 71–72
  80. ^ Mills, p. 72.
  81. ^ Erik Gartzke, "Economic Freedom and Peace," in Economic Freedom of the World: 2005 Annual Report (Vancouver: Fraser Institute, 2005).
  82. ^ Michael Doyle, Ways of War and Peace: Realism, Liberalism, and Socialism (New York: Norton, 1997), p. 237 (ISBN 0-393-96947-9).
  83. ^ Howe, Anthony; Morgan, Simon (2006). Rethinking nineteenth-century liberalism: Richard Cobden bicentenary essays. Ashgate. hlm. 231, 239. ISBN 978-0-7546-5572-5. 
  84. ^ Richardson, p. 32
  85. ^ See studies of Keynes by, e.g., Roy Harrod, Robert Skidelsky, Donald Moggridge, and Donald Markwell.
  86. ^ Pressman, Steven (1999). Fifty Great Economists. London: London: Routledge. hlm. 96–100. ISBN 978-0-415-13481-1. 
  87. ^ a b Cassidy, John (10 October 2011). "The Demand Doctor". The New Yorker. 
  88. ^ Skidelsky, Robert (2003). John Maynard Keynes: 1883–1946: Economist, Philosopher, Statesman. Pan MacMillan Ltd. hlm. 494–500, 504, 509–510. ISBN 978-0-330-48867-9. 
  89. ^ Keith Tribe, Economic careers: economics and economists in Britain, 1930–1970 (1997), p. 61.
  90. ^ Colton and Palmer, p. 808.
  91. ^ Jensen, p. 2.
  92. ^ a b c Tong, Rosemarie. 1989. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Oxon, United Kingdom: Unwin Human Ltd. Chapter 1
  93. ^ Falco, pp. 47–48.
  94. ^ John Stuart Mill: critical assessments, Volume 4, By John Cunningham Wood
  95. ^ Mill, J.S. (1869) The Subjection of Women, Chapter 1
  96. ^ Mill, John Stuart (1869). The Subjection of Women (1869 first ed.). London: Longmans, Green, Reader & Dyer. Retrieved 10 December 2012.
  97. ^ Brink, David (9 October 2007). "Mill's Moral and Political Philosophy". Stanford University. Diakses tanggal 1 October 2016. 
  98. ^ Black, Naomi (1989). Social Feminism. Cornell University Press. ISBN 9780801422614. 
  99. ^ Halfmann, Jost (1989). "3. Social Change and Political Mobilization in West Germany". Dalam Katzenstein, Peter J. Industry and Politics in West Germany: Toward the Third Republic. hlm. 79. ISBN 978-0-8014-9595-3. Equity-feminism differs from equality-feminism 
  100. ^ "Liberal Feminism". Stanford Encyclopedia of Philosophy. 18 October 2007. Diakses tanggal 24 February 2016.  (revised 30 September 2013)
  101. ^ Pinker, Steven (2002). The Blank Slate: The Modern Denial of Human NaturePerlu mendaftar (gratis). Viking. hlm. 341. ISBN 0-670-03151-8. 
  102. ^ Kuhle, Barry X. (2011). "Evolutionary psychology is compatible with equity feminism". Evolutionary Psychology. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 January 2012. 
  103. ^ Stewart, Ross E. (1984). "Sismondi's Forgotten Ethical Critique of Early Capitalism". Journal of Business Ethics. 3 (3): 227–234. doi:10.1007/BF00382924. 
  104. ^ Spiegel, Henry William (1991). The Growth of Economic Thought. Duke University Press. hlm. 302–303. 
  105. ^ Stedman Jones, Gareth (2006). "Saint-Simon and the Liberal origins of the Socialist critique of Political Economy". Dalam Aprile, Sylvie; Bensimon, Fabrice. La France et l'Angleterre au XIXe siècle. Échanges, représentations, comparaisons. Créaphis. hlm. 21–47. 
  106. ^ a b Richardson, pp. 36–37.
  107. ^ Eatwell, Roger; Wright, Anthony (1999). Contemporary political ideologies. Continuum International Publishing Group. ISBN 978-0-8264-5173-6. 
  108. ^ Mill, John Stuart On Liberty Penguin Classics, 2006 ISBN 978-0-14-144147-4 pp. 90–91.
  109. ^ Mill, John Stuart On Liberty Penguin Classics, 2006 ISBN 978-0-14-144147-4 pp. 10–11.
  110. ^ John Stuart Mill (1806–1873), "The Contest in America". Harper's New Monthly Magazine. Volume 24. Issue 143. pp. 683–684. Harper & Bros. New York. April 1862. Cornell.edu.
  111. ^ IREF | Pour la liberte economique et la concurrence fiscale (PDF) Diarsipkan 27 March 2009 di Wayback Machine.
  112. ^ Mill, John Stuart; Bentham, Jeremy (2004). Ryan, Alan, ed. Utilitarianism and other essays. London: Penguin Books. hlm. 11. ISBN 978-0-14-043272-5. 
  113. ^ Nicholson, P. P., "T. H. Green and State Action: Liquor Legislation", History of Political Thought, 6 (1985), 517–50. Reprinted in A. Vincent, ed., The Philosophy of T. H. Green (Aldershot: Gower, 1986), pp. 76–103
  114. ^ Michael Freeden, The New Liberalism: An Ideology of Social Reform (Oxford UP, 1978).
  115. ^ Adams, Ian (2001). Political Ideology Today (Politics Today)Perlu mendaftar (gratis). Manchester: Manchester University Press. ISBN 978-0-7190-6020-5. 
  116. ^ The Routledge Encyclopaedia of Philosophy, p. 599
  117. ^ Stanislao G. Pugliese. Carlo Rosselli: socialist heretic and antifascist exile. Harvard University Press, 1999. p. 99.
  118. ^ Noel W. Thompson. Political economy and the Labour Party: the economics of democratic socialism, 1884–2005. 2nd edition. Oxon, England; New York, New York: Routledge, 2006. pp. 60–61.
  119. ^ Nadia Urbinati. J.S. Mill's political thought: a bicentennial reassessment. Cambridge, England, UK: Cambridge University Press, 2007 p. 101.
  120. ^ a b Steve Bastow, James Martin. Third way discourse: European ideologies in the twentieth century. Edinburgh, Scotland, UK: Edinburgh University Press, Ltd, 2003. p. 72.
  121. ^ Raico, Ralph (2004) Authentic German Liberalism of the 19th century Ecole Polytechnique, Centre de Recherce en Epistemologie Appliquee Diarsipkan 10 June 2009 di Wayback Machine., Unité associée au CNRS
  122. ^ Molinari, Gustave de (1849) The Production of Security Diarsipkan 27 September 2007 di Wayback Machine. (trans. J. Huston McCulloch). Retrieved 15 July 2006.
  123. ^ "A student and disciple of the Austrian economist Ludwig von Mises, Rothbard combined the laissez-faire economics of his teacher with the absolutist views of human rights and rejection of the state he had absorbed from studying the individualist American anarchists of the 19th century such as Lysander Spooner and Benjamin Tucker." Blackwell Encyclopaedia of Political Thought, 1987, ISBN 978-0-631-17944-3, p. 290
  124. ^ Morris (2008). The Encyclopedia of Libertarianism. SAGE; Cato Institute. doi:10.4135/9781412965811.n8. ISBN 978-1-4129-6580-4. OCLC 750831024. 
  125. ^ Edward Stringham, Anarchy and the law: the political economy of choice, p. 51.
  126. ^ "Review of Kosanke's Instead of Politics – Don Stacy" Libertarian Papers VOL. 3, ART. NO. 3 (2011)
  127. ^ Rothbard, Murray. For A New Liberty. 12 The Public Sector, III: Police, Law, and the Courts
  128. ^ Roberts, p. 701.
  129. ^ Milan Zafirovski (2007). Liberal Modernity and Its Adversaries: Freedom, Liberalism and Anti-Liberalism in the 21st Century. Brill. hlm. 237–38. ISBN 978-90-04-16052-1. 
  130. ^ German songs like Die Gedanken sind frei (Thoughts Are Free) can be dated even centuries before that.
  131. ^ Jon Meacham (2014). Thomas Jefferson: President and Philosopher. Random House. hlm. 131. ISBN 978-0-385-38751-4. 
  132. ^ Colton and Palmer, pp. 428–29.
  133. ^ Lyons, p. 94.
  134. ^ Lyons, pp. 98–102.
  135. ^ Vincent, pp. 29–30
  136. ^ Turner, p. 86
  137. ^ Ardao, Arturo (1963). "Assimilation and Transformation of Positivism in Latin America" (PDF). Journal of the History of Ideas. 24 (4): 515–522. doi:10.2307/2707981. JSTOR 2707981. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 February 2015. 
  138. ^ Don H. Doyle, The Cause of All Nations: An International History of the American Civil War (2014)
  139. ^ Abdelmoula, Ezzeddine (2015). Al Jazeera and Democratization: The Rise of the Arab Public Sphere. Routledge. hlm. 50–52. ISBN 978-1-317-51847-1. Diakses tanggal 7 May 2017. 
  140. ^ Roderic. H. Davison, Essays in Ottoman and Turkish History, 1774–1923 – The Impact of West, Texas 1990, pp. 115-116.
  141. ^ Lindgren, Allana; Ross, Stephen (2015). The Modernist World. Routledge. ISBN 978-1-317-69616-2. Diakses tanggal 6 May 2017. 
  142. ^ "Edustajamatrikkeli". Eduskunta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-12. 
  143. ^ Mononen, Juha (2 February 2009). "War or Peace for Finland? Neoclassical Realist Case Study of Finnish Foreign Policy in the Context of the Anti-Bolshevik Intervention in Russia 1918–1920". University of Tampere. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 June 2015. Diakses tanggal 25 August 2020. 
  144. ^ Alterman, p. 32.
  145. ^ Pressman, Steven (1999). Fifty Great Economists. London: London: routledge. hlm. 96–100. ISBN 978-0-415-13481-1. 
  146. ^ Heywood, pp. 218–26.
  147. ^ James Risen (16 April 2000). "Secrets of History: The C.I.A. in Iran". The New York Times. Diakses tanggal 3 November 2006. 
  148. ^ Clandestine Service History: Overthrow of Premier Mossadeq of Iran (March 1954). p. iii.
  149. ^ Ends of British Imperialism: The Scramble for Empire, Suez, and Decolonization. I.B.Tauris. 2007. hlm. 775 of 1082. ISBN 978-1-84511-347-6. 
  150. ^ Bryne, Malcolm (18 August 2013). "CIA Admits It Was Behind Iran's Coup". Foreign Policy. 
  151. ^ The CIA's history of the 1953 coup in Iran is made up of the following documents: a historian's note, a summary introduction, a lengthy narrative account written by Dr. Donald N. Wilber and as appendices five planning documents he attached. Published on 18 June 2000 under the title "The C.I.A. in Iran" by The New York Times.
  152. ^ [147][148][149][150][151]
  153. ^ Mackenzie and Weisbrot, p. 178.
  154. ^ Mackenzie and Weisbrot, p. 5.
  155. ^ Palley, Thomas I (2004-05-05). "From Keynesianism to Neoliberalism: Shifting Paradigms in Economics". Foreign Policy in Focus. Diakses tanggal 25 March 2017. 
  156. ^ Vincent, Andrew (2009). Modern Political Ideologies. Hoboken, New Jersey: Wiley-Blackwell. hlm. 339. ISBN 978-1-4051-5495-6. 
  157. ^ Colomer, p. 62.
  158. ^ Larry Diamond (2008). The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World. Henry Holt. hlm. 7. ISBN 978-0-8050-7869-5. 
  159. ^ "Freedom in the World 2016". Freedom House. 2016-01-27. 
  160. ^ a b Grigsby, p. 108.
  161. ^ Grigsby, pp. 119–22.
  162. ^ Koerner, pp. 9–12.
  163. ^ Selsam, Howard; Martel, Harry (1963). Reader in Marxist PhilosophyPerlu mendaftar (gratis). International Publishers. hlm. 37. ISBN 978-0-7178-0167-1. Diakses tanggal 1 June 2017. 
  164. ^ Lenin, Vladimir (2008). On Culture and Cultural Revolution. Wildside Press LLC. hlm. 34. ISBN 978-1-4344-6352-4. Diakses tanggal 1 June 2017. 
  165. ^ Social Security Online History Pages
  166. ^ Rodriguez, Junius P. (2007). Slavery in the United States: A Social, Political, and Historical Encyclopedia, Volumen 1. ABC-CLIO. hlm. 500. ISBN 978-1-85109-544-5. Diakses tanggal 1 June 2017. 
  167. ^ Grew, Raymond (1997). "Liberty and the Catholic Church in 19th century Europe". Dalam Helmstadter, Richard. Freedom and Religion in the 19th Century. Stanford University Press. hlm. 201. ISBN 978-0-8047-3087-7. 
  168. ^ Koerner, p. 14.
  169. ^ Lightfoot, p. 17.
  170. ^ Susser, p. 110.
  171. ^ Riff, pp. 34–36.
  172. ^ Riff, p. 34.
  173. ^ Wolfe, p. 116.
  174. ^ a b Marvin Perry, Myrna Chase, Margaret Jacob, James R. Jacob. Western Civilization: Ideas, Politics, and Society – From 1600, Volume 2. 9th ed. Boston, Massaschussetts: Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company, 2009 pp. 760.
  175. ^ a b Sternhell, Zeev, Mario Sznajder and Maia Ashéri. The Birth of Fascist Ideology: From Cultural Rebellion to Political Revolution (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1994) 7.
  176. ^ a b Beauchamp, Zack (2019-09-09). "The anti-liberal moment". Vox (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-05-06. 
  177. ^ Venturelli, p. 247.
  178. ^ "Liberalism 'has outlived its purpose' — President Putin speaks exclusively to the Financial Times". Financial Times (dalam bahasa Inggris). 27 June 2019. Diakses tanggal 23 August 2019. 

Referensi lain

  • Michael Scott Christofferson "An Antitotalitarian History of the French Revolution: François Furet's Penser la Révolution française in the Intellectual Politics of the Late 1970s" (in French Historical Studies, Fall 1999)
  • Piero Gobetti La Rivoluzione liberale. Saggio sulla lotta politica in Italia, Bologna, Rocca San Casciano, 1924

Daftar pustaka

  • Alterman, Eric. Why We're Liberals. New York: Viking Adult, 2008. ISBN 0-670-01860-0.
  • Ameringer, Charles. Political parties of the Americas, 1980s to 1990s. Westport: Greenwood Publishing Group, 1992. ISBN 0-313-27418-5.
  • Amin, Samir. The liberal virus: permanent war and the americanization of the world. New York: Monthly Review Press, 2004.
  • Antoninus, Marcus Aurelius. The Meditations of Marcus Aurelius Antoninus. New York: Oxford University Press, 2008. ISBN 0-19-954059-4.
  • Arnold, N. Scott. Imposing values: an essay on liberalism and regulation. New York: Oxford University Press, 2009. ISBN 0-495-50112-3.
  • Auerbach, Alan and Kotlikoff, Laurence. Macroeconomics Cambridge: MIT Press, 1998. ISBN 0-262-01170-0.
  • Barzilai, Gad. Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities University of Michigan Press, 2003. ISBN 978-0-472-03079-8.
  • Bell, Duncan. "What is Liberalism?" Political Theory, 42/6 (2014).
  • Brack, Duncan and Randall, Ed (eds.). Dictionary of Liberal Thought. London: Politico's Publishing, 2007. ISBN 978-1-84275-167-1.
  • George Brandis, Tom Harley & Donald Markwell (editors). Liberals Face the Future: Essays on Australian Liberalism, Melbourne: Oxford University Press, 1984.
  • Alan Bullock & Maurice Shock (editors). The Liberal Tradition: From Fox to Keynes, Oxford: Clarendon Press, 1967.
  • Chodos, Robert et al. The unmaking of Canada: the hidden theme in Canadian history since 1945. Halifax: James Lorimer & Company, 1991. ISBN 1-55028-337-5.
  • Coker, Christopher. Twilight of the West. Boulder: Westview Press, 1998. ISBN 0-8133-3368-7.
  • Delaney, Tim. The march of unreason: science, democracy, and the new fundamentalism. New York: Oxford University Press, 2005. ISBN 0-19-280485-5.
  • Diamond, Larry. The Spirit of Democracy. New York: Macmillan, 2008. ISBN 0-8050-7869-X.
  • Dobson, John. Bulls, Bears, Boom, and Bust. Santa Barbara: ABC-CLIO, 2006. ISBN 1-85109-553-5.
  • Dorrien, Gary. The making of American liberal theology. Louisville: Westminster John Knox Press, 2001. ISBN 0-664-22354-0.
  • Farr, Thomas. World of Faith and Freedom. New York: Oxford University Press US, 2008. ISBN 0-19-517995-1.
  • Fawcett, Edmund. Liberalism: The Life of an Idea. Princeton: Princeton University Press, 2014. ISBN 978-0-691-15689-7.
  • Flamm, Michael and Steigerwald, David. Debating the 1960s: liberal, conservative, and radical perspectives. Lanham: Rowman & Littlefield, 2008. ISBN 0-7425-2212-1.
  • Freeden, Michael, Javier Fernández-Sebastián, et al. In Search of European Liberalisms: Concepts, Languages, Ideologies (2019)
  • Gallagher, Michael et al. Representative government in modern Europe. New York: McGraw Hill, 2001. ISBN 0-07-232267-5.
  • Gifford, Rob. China Road: A Journey into the Future of a Rising Power. Random House, 2008. ISBN 0-8129-7524-3.
  • Godwin, Kenneth et al. School choice tradeoffs: liberty, equity, and diversity. Austin: University of Texas Press, 2002. ISBN 0-292-72842-5.
  • Gould, Andrew. Origins of liberal dominance. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1999. ISBN 0-472-11015-2.
  • Gray, John. Liberalism. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995. ISBN 0-8166-2801-7.
  • Grigsby, Ellen. Analyzing Politics: An Introduction to Political Science. Florence: Cengage Learning, 2008. ISBN 0-495-50112-3.
  • Gross, Jonathan. Byron: the erotic liberal. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2001. ISBN 0-7425-1162-6.
  • Hafner, Danica and Ramet, Sabrina. Democratic transition in Slovenia: value transformation, education, and media. College Station: Texas A&M University Press, 2006. ISBN 1-58544-525-8.
  • Handelsman, Michael. Culture and Customs of Ecuador. Westport: Greenwood Press, 2000. ISBN 0-313-30244-8.
  • Hartz, Louis. The liberal tradition in America. New York: Houghton Mifflin Harcourt, 1955. ISBN 0-15-651269-6.
  • Heywood, Andrew (2003). Political Ideologies: An Introduction. New York: Palgrave Macmillan. ISBN 978-0-333-96177-3. 
  • Hodge, Carl. Encyclopedia of the Age of Imperialism, 1800–1944. Westport: Greenwood Publishing Group, 2008. ISBN 0-313-33406-4.
  • Jensen, Pamela Grande. Finding a new feminism: rethinking the woman question for liberal democracy. Lanham: Rowman & Littlefield, 1996. ISBN 0-8476-8189-0.
  • Johnson, Paul. The Renaissance: A Short History. New York: Modern Library, 2002. ISBN 0-8129-6619-8.
  • Kanazawa, Satoshi (2010). "Why Liberals and Atheists Are More Intelligent" (PDF). Social Psychology Quarterly. 73 (1): 33–57. CiteSeerX 10.1.1.395.4490alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1177/0190272510361602. JSTOR 25677384. 
  • Karatnycky, Adrian. Freedom in the World. Piscataway: Transaction Publishers, 2000. ISBN 0-7658-0760-2.
  • Karatnycky, Adrian et al. Nations in transit, 2001. Piscataway: Transaction Publishers, 2001. ISBN 0-7658-0897-8.
  • Kelly, Paul. Liberalism. Cambridge: Polity Press, 2005. ISBN 0-7456-3291-2.
  • Kirchner, Emil. Liberal parties in Western Europe. Cambridge: Cambridge University Press, 1988. ISBN 0-521-32394-0.
  • Knoop, Todd. Recessions and Depressions Westport: Greenwood Press, 2004. ISBN 0-313-38163-1.
  • Koerner, Kirk. Liberalism and its critics. Oxford: Taylor & Francis, 1985. ISBN 0-7099-1551-9.
  • Lightfoot, Simon. Europeanizing social democracy?: The rise of the Party of European Socialists. New York: Routledge, 2005. ISBN 0-415-34803-X.
  • Losurdo, Domenico. Liberalism: a counter-history. London: Verso, 2011.
  • Mackenzie, G. Calvin and Weisbrot, Robert. The liberal hour: Washington and the politics of change in the 1960s. New York: Penguin Group, 2008. ISBN 1-59420-170-6.
  • Manent, Pierre and Seigel, Jerrold. An Intellectual History of Liberalism. Princeton: Princeton University Press, 1996. ISBN 0-691-02911-3.
  • Donald Markwell. John Maynard Keynes and International Relations: Economic Paths to War and Peace, Oxford University Press, 2006.
  • Mazower, Mark. Dark Continent. New York: Vintage Books, 1998. ISBN 0-679-75704-X.
  • Monsma, Stephen and Soper, J. Christopher. The Challenge of Pluralism: Church and State in Five Democracies. Lanham: Rowman & Littlefield, 2008. ISBN 0-7425-5417-1.
  • Palmer, R.R. and Joel Colton. A History of the Modern World. New York: McGraw Hill, Inc., 1995. ISBN 0-07-040826-2.
  • Perry, Marvin et al. Western Civilization: Ideas, Politics, and Society. Florence, KY: Cengage Learning, 2008. ISBN 0-547-14742-2.
  • Pierson, Paul. The New Politics of the Welfare State. New York: Oxford University Press, 2001. ISBN 0-19-829756-4.
  • Puddington, Arch. Freedom in the World: The Annual Survey of Political Rights and Civil Liberties. Lanham: Rowman & Littlefield, 2007. ISBN 0-7425-5897-5.
  • Riff, Michael. Dictionary of modern political ideologies. Manchester: Manchester University Press, 1990. ISBN 0-7190-3289-X.
  • Rivlin, Alice. Reviving the American Dream Washington D.C.: Brookings Institution Press, 1992. ISBN 0-8157-7476-1.
  • Ros, Agustin. Profits for all?: the cost and benefits of employee ownership. New York: Nova Publishers, 2001. ISBN 1-59033-061-7.
  • Routledge, Paul et al. The geopolitics reader. New York: Routledge, 2006. ISBN 0-415-34148-5.
  • Russell, Bertrand (2000) [1945]. History of Western Philosophy. London: Routledge. ISBN 978-0-415-22854-1. 
  • Ryan, Alan. The Philosophy of John Stuart Mill. Humanity Books: 1970. ISBN 978-1-57392-404-7.
  • Ryan, Alan. The Making of Modern Liberalism (Princeton UP, 2012).
  • Ryan, Alan. On Politics: A History of Political Thought: From Herodotus to the Present. Allen Lane, 2012. ISBN 978-0-87140-465-7.
  • Shell, Jonathan. The Unconquerable World: Power, Nonviolence, and the Will of the People. New York: Macmillan, 2004. ISBN 0-8050-4457-4.
  • Shaw, G. K. Keynesian Economics: The Permanent Revolution. Aldershot, England: Edward Elgar Publishing Company, 1988. ISBN 1-85278-099-1.
  • Sinclair, Timothy. Global governance: critical concepts in political science. Oxford: Taylor & Francis, 2004. ISBN 0-415-27662-4.
  • Song, Robert. Christianity and Liberal Society. Oxford: Oxford University Press, 2006. ISBN 0-19-826933-1.
  • Stacy, Lee. Mexico and the United States. New York: Marshall Cavendish Corporation, 2002. ISBN 0-7614-7402-1.
  • Steindl, Frank. Understanding Economic Recovery in the 1930s. Ann Arbor: University of Michigan Press, 2004. ISBN 0-472-11348-8.
  • Susser, Bernard. Political ideology in the modern world. Upper Saddle River: Allyn and Bacon, 1995. ISBN 0-02-418442-X.
  • Trivers, Robert L. (1971). "The Evolution of Reciprocal Altruism" (PDF). The Quarterly Review of Biology. 46 (1): 35–57. doi:10.1086/406755. JSTOR 2822435.  .
  • Van den Berghe, Pierre. The Liberal dilemma in South Africa. Oxford: Taylor & Francis, 1979. ISBN 0-7099-0136-4.
  • Van Schie, P. G. C. and Voermann, Gerrit. The dividing line between success and failure: a comparison of Liberalism in the Netherlands and Germany in the 19th and 20th Centuries. Berlin: LIT Verlag Berlin-Hamburg-Münster, 2006. ISBN 3-8258-7668-3.
  • Venturelli, Shalini. Liberalizing the European media: politics, regulation, and the public sphere. New York: Oxford University Press, 1998. ISBN 0-19-823379-5.
  • Wallerstein, Immanuel. The Modern World-System IV: Centrist Liberalism trimphant 1789–1914. Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 2011.
  • Whitfield, Stephen. Companion to twentieth-century America. Hoboken: Wiley-Blackwell, 2004. ISBN 0-631-21100-4.
  • Wolfe, Alan. The Future of Liberalism. New York: Random House, Inc., 2009. ISBN 0-307-38625-2.
  • Young, Shaun (2002). Beyond Rawls: An Analysis of the Concept of Political LiberalismPerlu mendaftar (gratis). Lanham, MD: University Press of America. ISBN 978-0-7618-2240-0. 
  • Zvesper, John. Nature and liberty. New York: Routledge, 1993. ISBN 0-415-08923-9.
Britain
  • Adams, Ian. Ideology and politics in Britain today. Manchester: Manchester University Press, 1998. ISBN 0-7190-5056-1.
  • Cook, Richard. The Grand Old Man. Whitefish: Kessinger Publishing, 2004. ISBN 1-4191-6449-X on Gladstone.
  • Falco, Maria. Feminist interpretations of Mary Wollstonecraft. State College: Penn State Press, 1996. ISBN 0-271-01493-8.
  • Forster, Greg. John Locke's politics of moral consensus. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. ISBN 0-521-84218-2.
  • Gross, Jonathan. Byron: the erotic liberal. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2001. ISBN 0-7425-1162-6.
  • Locke, John. A Letter Concerning Toleration. 1689.
  • Locke, John. Two Treatises of Government. reprint, New York: Hafner Publishing Company, Inc., 1947. ISBN 0-02-848500-9.
  • Wempe, Ben. T. H. Green's theory of positive freedom: from metaphysics to political theory. Exeter: Imprint Academic, 2004. ISBN 0-907845-58-4.
France
  • Frey, Linda and Frey, Marsha. The French Revolution. Westport: Greenwood Press, 2004. ISBN 0-313-32193-0.
  • Hanson, Paul. Contesting the French Revolution. Hoboken: Blackwell Publishing, 2009. ISBN 1-4051-6083-7.
  • Leroux, Robert, Political Economy and Liberalism in France: The Contributions of Frédéric Bastiat, London and New York, Routledge, 2011.
  • Leroux, Robert, and David Hart (eds), French Liberalism in the 19th century. An Anthology, London and New York, Routledge, 2012.
  • Lyons, Martyn. Napoleon Bonaparte and the Legacy of the French Revolution. New York: St. Martin's Press, Inc., 1994. ISBN 0-312-12123-7.
  • Shlapentokh, Dmitry. The French Revolution and the Russian Anti-Democratic Tradition. Edison, NJ: Transaction Publishers, 1997. ISBN 1-56000-244-1.

Lihat pula

Pranala luar