Krisis kepresidenan Venezuela tahun 2019 adalah sebuah perselisihan presiden yang menyebabkan krisis nasional di Venezuela, yang sudah berlangsung sejak 10 Januari 2019 lalu.
Presiden petahana Nicolás Maduro dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden Mei 2018; yang mana proses dan hasil pemilu itu banyak diperdebatkan.[1] Pada 10 Januari 2019, Majelis Nasional Venezuela, yang mayoritas terdiri atas koalisi oposisi, menyatakan bahwa hasil pemilihan tidak sah dan mengangkat Juan Guaido sebagai penjabat presiden, dikutip dari beberapa klausul Konstitusi Venezuela 1999 yang disahkan oleh mantan presiden Hugo Chavez, pendahulu Maduro. Sebagai tanggapan, Mahkamah Agung yang ditunjuk Maduro menyebut pernyataan sikap oleh Majelis itu tidaklah konstitusional.[2]
Unjuk rasa massa di seluruh Venezuela dan dunia terjadi pada 23 Januari ketika Guaido meminta rakyat Venezuela untuk berdemonstrasi menentang Maduro.[3][4] Sebuah demonstrasi untuk mendukung Revolusi Bolivarian dan mendukung pemerintah juga terjadi.[5] Demonstrasi massal tersebut berlangsung hingga 30 Januari.[6][7]
Pertemuan khusus di Organisasi Negara-negara Amerika pada 24 Januari dan di PBB pada 26 Januari diadakan, tetapi tidak ada konsensus yang tercapai. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyerukan dialog untuk meredakan ketegangan.[8] Meksiko dan Uruguay kemudian mengumumkan akan adanya sebuah konferensi internasional untuk negara-negara dengan posisi netral di Montevideo pada 7 Februari.[9]
Pemerintahan Maduro menyatakan bahwa krisis saat ini adalah sebuah kudeta dipimpin oleh Amerika Serikat untuk menggulingkannya dan mengendalikan cadangan minyak negara yang besar.[10][11][12]
Sejak 2010, Venezuela menderita krisis sosial-ekonomi di bawah pimpinan Nicolás Maduro (dan secara singkat di bawah pendahulunya, Hugo Chavez), karena tingkat kejahatan yang meningkat, hiperinflasi, dan kualitas hidup yang rendah.[13][14][15][16][17][18] Sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap pemerintah, koalisi oposisi pun terpilih menjadi koalisi mayoritas pada Majelis Nasional untuk pertama kalinya sejak 1999; setelah pemilihan parlemen 2015.[19] Setelah pemilihan, para anggota Majelis Nasional yang terdiri dari pejabat Bolivarian mengisi Mahkamah Agung, pengadilan tertinggi di Venezuela, dengan sekutu Maduro.[19][20] Pengadilan melucuti tiga anggota parlemen oposisi dari kursi Majelis Nasional mereka pada awal 2016, mengutip dugaan "penyimpangan" dalam pemilihan mereka, sehingga mencegah terjadinya supermayoritas oposisi yang akan mampu menantang Presiden Maduro.[19]
Pengadilan kemudian menyetujui beberapa tindakan oleh Maduro dan memberinya kekuatan lebih pada 2017.[19] Ketika protes meningkat terhadap Maduro, ia menyerukan akan adanya majelis konstituante yang akan merancang konstitusi baru untuk menggantikan Konstitusi Venezuela 1999 yang dibuat oleh Chavez.[21] Banyak negara menganggap tindakan ini sebagai upaya Maduro untuk tetap berkuasa tanpa batas,[22] dan lebih dari 40 negara menyatakan bahwa mereka tidak akan mengakui Majelis Konstituante Nasional.[23][24] Partai oposisi terhadap partai yang berkuasa, Meja Bundar Persatuan Demokratik (The Democratic Unity Roundtable) memboikot pemilihan umum tersebut, dengan mengatakan bahwa Majelis Konstituante adalah "sebuah trik untuk menjaga [partai penguasa yang] berkuasa".[25] Karena oposisi tidak berpartisipasi dalam pemilihan, Great Patriotic Pole yang berkuasa didominasi oleh Partai Sosialis Bersatu Venezuela, yang memenangkan hampir semua kursi di majelis.[26][27][28] Pada 8 Agustus 2017, Majelis Konstituante mendeklarasikan bahwa Majelis Konstituante merupakan "cabang pemerintah dengan kekuasaan tertinggi di Venezuela", serta melarang Majelis Nasional yang dipimpin oposisi melakukan tindakan yang akan mengganggu majelis sambil terus memberikan langkah-langkah dalam "dukungan dan solidaritas" dengan Presiden. Maduro, secara efektif menghilangkan semua kekuatan Majelis Nasional.[29]
Pada bulan Februari 2018, Maduro menyerukan pemilihan presiden empat bulan sebelum tanggal yang ditentukan.[30] Ia dinyatakan sebagai pemenang pada Mei 2018 setelah beberapa partai oposisi utama tidak diperbolehkan berpartisipasi. Selain itu, terdapat pula beberapa penyimpangan lainnya. Banyak yang menyatakan bahwa pemilihan itu tidak sah.[31][32][33][34] Berpasangan dengan seorang yang memandang kepemimpinan Maduro sebagai kediktatoran yang tidak efektif,[35][36][37] para politisi dari dalam maupun luar negeri menyatakan bahwa Maduro tidak dipilih secara sah.[38] Dalam bulan-bulan menjelang pelantikannya pada 10 Januari 2019, Maduro ditekan untuk mundur oleh negara-negara dan badan-badan termasuk Kelompok Lima (selain Meksiko), Amerika Serikat, dan OAS (Organisasi Negara-negara Amerika). Tekanan ini semakin meningkat seiring dengan dilantiknya anggota Majelis Nasional Venezuela yang baru pada tanggal 5 Januari 2019.[39][40][41] Maduro menolak Majelis Nasional pada tahun 2017;[42] yang disebut sebagai "satu-satunya lembaga yang dipilih secara demokratis yang tersisa di negara ini".[a]
Antara pemilihan presiden Mei 2018 dan pelantikan Maduro, ada seruan untuk mendirikan pemerintahan transisi.[51][52][53] CEO Venezuela Al Día, Manuel Corao, berpendapat bahwa Maduro bukan lagi presiden dan bahwa "sebagian besar rakyat di Venezuela terwakili dalam Majelis Nasional [dan ingin] menunjuk pemerintahan transisi yang mengisi kekosongan kekuasaan dan membebaskan Venezuela dari kejahatan Komunis".[51] Mantan legislator Venezuela Alexis Ortiz menyatakan bahwa "Paham Castrochavism [...] membusuk dalam ketidakmampuan, korupsi, dan penyerahan kedaulatan nasional", menyerukan pemerintah transisi untuk bekerja pada rekonsiliasi, mengadakan pemilihan umum, menerima bantuan kemanusiaan dan melindungi kebebasan sipil, di antara beberapa permintaan lainnya.[52]
Sebuah laporan pada November 2018 oleh International Crisis Group mengatakan bahwa "negara-negara tetangga dan kekuatan asing lainnya telah mengambil berbagai langkah - termasuk sanksi, untuk mencapai negosiasi transisi, yang merupakan jalan keluar terbaik dari krisis" [53]
Koalisi Oposisi Venezuela mendasarkan tindakannya pada Konstitusi Venezuela 1999, khususnya Pasal 233 yang menetapkan bahwa "pemimpin Majelis Nasional akan memegang jabatan presiden jika tidak ada presiden yang sah", yang mereka nyatakan setelah pemilihan presiden Venezuela 2018.[54] Pasal 333 menyerukan warga negara untuk memulihkan dan menegakkan konstitusi jika tidak diikuti. Mereka berpendapat bahwa baik komunitas nasional dan internasional harus bersatu di bawah pemerintahan transisi yang akan menjamin bantuan kemanusiaan, membawa pemulihan aturan hukum Venezuela, dan akan mengadakan pemilihan demokratis.[54]
Majelis Nasional dan pihak oposisi telah mempertahankan strategi tiga langkah[55] dalam krisis ini untuk memulihkan keadaan demokrasi di negara ini:
Bahasa Indonesia:
Bahasa Spanyol
Tanda krisis yang pertama muncul pada saat Hakim Agung dan Hakim Pemilu yang dekat dengan Maduro pindah menetap di Amerika Serikat hanya beberapa hari sebelum pelantikan kedua Nicolás Maduro, pada 10 Januari 2019. Hakim Pengadilan, Christian Zerpa, mengatakan bahwa pelantikan Nicolás Maduro tersebut "tidak berkompeten" dan "tidak sah".[39][40][56] Beberapa menit setelah Maduro mengambil sumpah sebagai presiden Venezuela, Organisasi Negara-negara Amerika menyetujui sebuah resolusi dalam sesi khusus Dewan Permanennya yang menyatakan bahwa kepresidenan Maduro tidak sah dan mendesak pemilihan baru.[57] Pemilihan Maduro tersebut didukung oleh Turki, Rusia, Tiongkok, dan Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Kita (ALBA);[58][59] negara kecil Karibia lainnya yang bergantung pada bantuan ekonomi dari pemerintah Maduro (seperti Dominika, Saint Kitts dan Nevis, serta Trinidad dan Tobago) turut menghadiri pelantikannya.[60]
Juan Guaidó, pemimpin Majelis Nasional Venezuela yang baru diangkat, mulai bergerak untuk membentuk pemerintahan transisi tak lama setelah ia diangkat pada 5 Januari 2019, dan menyatakan bahwa "terlepas dari apakah Maduro memulai masa jabatan barunya pada tanggal 10, negara itu tidak akan memiliki presiden yang terpilih secara sah".[61] Atas nama Majelis Nasional, ia menyatakan bahwa negara tersebut telah jatuh ke dalam kediktatoran de facto dan tidak memiliki pemimpin,[62] serta menyatakan bahwa negara tersebut menghadapi keadaan darurat.[63] Dia menyerukan akan adanya "tentara yang mengenakan seragam mereka dengan kehormatan untuk melangkah maju dan menegakkan Konstitusi", dan meminta "warga negara untuk memiliki rasa percaya diri, kekuatan, untuk menemani kita di jalan ini".[63]
Negara asing:
|colwidth=20em}}
Beberapa negara menyerukan secara khusus untuk tidak melakukan intervensi dan tanpa mengakui kedua belah pihak, meminta diadakan diskusi diplomatik untuk bergerak maju.
Jajak pendapat di Venezuela yang digambarkan oleh Reuters "sangat kontroversial dan berbeda" dengan kenyataan di lapangan.[190]
Sebuah survei telepon terhadap 1.000 pemilih terdaftar di Venezuela oleh Venezuela Hercon, yang dilakukan dari 15 hingga 19 Januari 2019, melaporkan 79,9% responden setuju agar Maduro meninggalkan jabatannya. Mengenai Majelis Nasional, 68,8% responden menilai pekerjaan mereka positif sementara 15,6% menilai tindakan mereka negatif. Ketika ditanya apakah mereka setuju dengan Majelis Nasional menyumpahi Guaido sebagai presiden sementara, 68,6% setuju dengan Guaido menjadi presiden sementara sementara 19,4% tidak setuju.[191]
Survei terhadap 900 orang antara 19 dan 20 Januari oleh Meganálisis melaporkan bahwa 81,4% responden berharap bahwa Guaido akan dilantik pada 23 Januari, sementara 84,2% mendukung pemerintahan transisi untuk menggantikan pemerintahan Maduro.[192]
Sebuah survei Meganálisis terhadap 870 warga Venezuela yang dilakukan antara 24 dan 25 Januari melaporkan bahwa 83,7% responden mengakui Guaido sebagai presiden yang sah, 11,4% tidak dapat memutuskan siapa yang menjadi presiden dan 4,8% mengakui Maduro sebagai presiden.[193]
Sebuah survei telepon terhadap 999 warga Venezuela oleh Hercon antara 25 dan 30 Januari menunjukkan bahwa 81,9% responden mengakui Guaido sebagai presiden, 13,4% menanggapi dengan menyatakan Maduro adalah presiden dan 4,6% tidak memutuskan.[194]
Sebuah jajak pendapat Januari 2019 oleh Hinterlaces, sebuah jajak pendapat yang dipimpin oleh anggota Majelis Konstituante Nasional Oscar Schemel [es] yang digambarkan sebagai pro-Maduro,[190][195][196] melaporkan bahwa 86% rakyat Venezuela akan menentang intervensi militer, 81% menentang sanksi AS, dan bahwa 84% mendukung dialog untuk mengakhiri krisis.[197] Polling Hinterlaces lainnya, dari 1.580 rumah tangga, melaporkan bahwa 81% tidak tahu siapa Guaido, dengan 11% memiliki pendapat yang mendukungnya dan 5% memiliki pendapat yang tidak menguntungkan; 3% tidak memiliki pendapat.[198]
President Nicolás Maduro was inaugurated for a second term after an election last year that was widely considered illegitimate — and despite a plummeting economy and skyrocketing violence, hunger and migration.
... the National Assembly is the only democratically elected institution left in the country ...
Bolivia’s leftist President Evo Morales affirmed his long-standing alliance with President Nicolas Maduro ... 'Our solidarity with the Venezuelan people and our brother Nicolas Maduro, in these decisive hours in which the claws of imperialism seek again to mortally wound the democracy and self-determination of the peoples of South America,' Morales said in the tweet.
Russia, China, Iran, Syria and Cuba have come down on one side ...
State oil company PDVSA, which accounts for most of Venezuela’s export earnings, stood by Maduro. “We have no other president” besides Maduro, said PDVSA President and Oil Minister Manuel Quevedo, a career military officer.
Maduro has accused the opposition of fomenting violence. “I demand the full rigor of the law against the fascists,” he said on Tuesday night. His allies have also threatened the use of armed pro-government militias—known as colectivos—to quell disturbances.
<ref>
MorinaVenezuela
The delegations of Argentina, Bahamas, Brazil, Canada, Chile, Colombia, Costa Rica, Ecuador, the United States, Honduras, Guatemala, Haiti, Panama, Paraguay, Peru and the Dominican Republic reaffirm the right to democracy enjoyed by the peoples of the Americas ... In this context, we recognize and express our full support to the President of the National Assembly, Juan Guaidó, who has assumed the role of President in charge of the Bolivarian Republic of Venezuela, in accordance with the constitutional norms and the illegitimacy of the Nicolás Maduro regime.
Australia recognises and supports the President of the National Assembly, Juan Guaidó, in assuming the position of interim president
European countries including Spain, France, the UK, Sweden and Denmark have recognised Juan Guaidó as interim president of Venezuela in a coordinated move made after a deadline for Nicolás Maduro to call presidential elections expired.
'Israel joins the United States, Canada, most of the countries of Latin America and countries in Europe in recognizing the new leadership in Venezuela,' said Prime Minister Benjamin Netanyahu in a statement.
'El diputado de Forza Italia adscrito a la Comisión de Relaciones Exteriores, Guglielmo Picchi, informó este miércoles que el gobierno italiano reconoce a Juan Guaidó como presidente interino de Venezuela.
In a declaration published late Wednesday, EU foreign policy chief Federica Mogherini said the EU ... “fully supports the national assembly as the democratically elected institution whose powers need to be restored and respected.” ... Kocijančič said Mogherini’s statement had been “agreed with all 28 member states" ...
The EU fully supports the national assembly as the democratically elected institution whose powers need to be restored and respected.
St Kitts-Nevis, Trinidad and Tobago, Antigua and Barbuda, Barbados, and Belize abstained during the vote while Grenada was not present.
Pro-government pollsters, such as the company Hinterlaces give Maduro a 17 point advantage