Catatan:
bany1247
Bahasa Jawa Banyumasan (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮꦧꦚꦸꦩꦱꦤ꧀, translit. basa Jawa Banyumasan; penutur luar Banyumasan menyebutnya bahasa Ngapak yang berasal dari kata nang ngapa yang artinya mengapa, disebut sebagai dialek bahasa Jawa modern yang konservatif selain Bahasa Jawa Tegal dan Bahasa Jawa Cirebon-Indramayu, peradaban Banyumasan juga merupakan yang tertua di Jawa karena kompleks percandian Dieng merupakan percandian tertua milik Suku Jawa dan seluruh penduduk Dieng menggunakan dialek ini. Dialek ini kemungkinan besar lahir di Kadipaten Wirasaba (sekitar Purbalingga dan Banjarnegara) di masa lalu, yang mana Wirasaba merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Bahasa Jawa dialek banyumasan merupakan ragam dialek Jawa kulonan dan dituturkan di wilayah Jawa Tengah bagian barat selatan maupun tengah hingga Dataran tinggi Dieng, lebih tepatnya di dua eks-keresidenan Banyumas dan sebagian eks-keresidenan Kedu.[4] Wilayah eks-Keresidenan Banyumas meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap, serta sebagian besar Kebumen, sebagian Wonosobo, Pemalang selatan, Pekalongan selatan, dan Batang selatan yang notabene bukan termasuk wilayah eks-Keresidenan Banyumas.
Bahasa Jawa Banyumasan juga dituturkan hingga ke Kecamatan Lakbok dan Purwadadi di Kabupaten Ciamis, sebagian kecil Kota Banjar dan sebagian kecil di timur Kabupaten Pangandaran,[5] yang merupakan daerah perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Dialek Banyumasan di wilayah Jawa Barat telah tercampur dengan bahasa Sunda Priangan.[6]
Dialek ini menjadi salah satu dialek bahasa Jawa modern yang masih mempunyai kaitan dengan fonetik (pengucapan) bahasa Jawa Kuno[7] yang sudah jarang ditemui dalam Bahasa Jawa Surakarta yakni dialek Banyumasan memiliki karakteristik pelafalan huruf ’a’ dan 'k' yang sangat tegas dan jelas serta pelafalan huruf 'h' 'g 'w' 'y' dengan jelas, serta fonem [u] dan [i] juga akan tetap dibaca /u/ dan /i/.[8][9]
Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut bahasa Jawa Banyumasan sebagai bentuk bahasa Jawa modern tahap awal selain bahasa Jawa Tegal dan Bahasa Jawa Cirebon-Indramayu, Bahasa Banyumasan juga merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa Pertengahan begitupun seluruh dialek bahasa Jawa modern lainya, yang membedakan Banyumasan masih mempertahankan beberapa karakteristik lama.[10][11]
Bahasa Jawa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan mempengaruhi masyarakat di wilayah Banyumasan. Meskipun demikian, bahasa krama tetap dibutuhkan untuk berbagai acara formal dan ritual keagamaan. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhêkan untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa Jawa Wetanan (dialek timur).[12]
Menurut M. Koderi, seorang pakar budaya dan bahasa Banyumasan, kata bandhêk secara morfologis berasal dari kata gandhêk yang berarti 'pesuruh' (orang yang diperintah), maksudnya 'orang suruhan raja yang diutus ke wilayah Banyumasan'. Para 'pesuruh' ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta–Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Jawa Banyumasan.[13]
Berikut ini perbandingan kosakata bahasa Jawa Banyumasan, Tegal, Pekalongan, Indramayu, dan Banten yang termasuk kedalam rumpun dialek Jawa Kulonan.
Perbandingan kosakata bahasa Jawa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta–Yogyakarta). Diantaranya masih banyak kosakata kuno yang masih dilestarikan dalam dialek Banyumasan, selain itu terdapat beberapa kosakata banyumasan yang tidak dapat ditemui di dialek manapun.
Berikut ini dikutip dari perkataan Ahmad Tohari tentang bahasa Jawa Banyumasan.
Dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa Banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa Banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa Banyumasan sesungguhnya "wong Penginyongan" boleh dikata akan Terhapus dari peta etnik bangsa ini… Mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa Wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat "wong Penginyongan" harus segera disediakan.
Sebuah fakta empiris dikemukakan oleh Ahmad Tohari, menurutnya penutur asli bahasa Jawa Banyumasan akan 'mengalah' jika berbicara dengan penutur bahasa Jawa Wetanan (dialek Surakarta-Yogyakarta) banyak juga yang menggunakan Bahasa Indonesia ketika bertemu dengan orang Wetanan. Alasannya, penutur bahasa Jawa Banyumasan tidak ingin dicap sebagai 'orang rendahan' karena menggunakan 'bahasa berlogat kasar' selain itu juga untuk mengindari ketidaksalingpahaman dengan kedua dialek tersebut.[14]