Sastra Jawa secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang ditulis dalam bentuk prosa atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut dengan istilah tembang. Sebagian besar karya sastra Jawa ditulis dalam bentuk tembang mulai dari awal bahkan sampai saat ini.
Sejarah
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuno).
Sastra Jawa Kuno atau sering kali dieja sebagai Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Di bawah ini diberikan beberapa contoh petikan dari kakawin ini bersama dengan terjemahannya. Yang diberikan contohnya adalah manggala, penutup dan sebuah petikan penting.
Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Empu Tantular pada abad ke-14.
Manggala
Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang merupakan intisari kasunyatan.Jika dia metampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana Brahma, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.
Manggala
Terjemahan
1 a. Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama sirânindya ring rat wiçes.a
1 a. Sri Bajrajñana, manifestasi sempurna Kasunyatan adalah yang utama di dunia.
1 b. lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya jaya-jayângken mahâswargaloka
1 b. Nikmat dan murni teguh di hati, menguasai semuanya bagai kahyangan agung.
1 c. ekacchattrêng çarîrânghuripi sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a
1 c. Ia adalah titisan Pelindung tunggal yang menganugrahi kehidupan kepada tri buwana – bumi, langit dan sorga – seru sekalian alam.
1 d. sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri wijilira n sangka ring Boddhacitta
1 d. Bagaikan terang bulan dan matahari sifat yang keluar dari batin orang yang telah sadar.
2 a. Singgih yan siddhayogîçwara wekasira sang sâtmya lâwan bhat.âra
2 a. Ia yang diterangi, yang manunggal dengan Tuhan, memang benar-benar Raja kaum Yogi yang berhasil.
2 b. Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap mus.t.ining dharmatattwa
2 b. Perwujudan segala ilmu Kasunyatan baik kasar ataupun halus, diajikan dalam sebuah doa dan puja yang khusyuk.
2 c. Sangsipta n pèt wulik ring hati sira sekung ing yoga lâwan samâdhi
2 c. Singkatnya, mari mencari-Nya dengan betul dalam hati, didukung dengan yoga dan samadi penuh.
2 d. Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-riwaning nirmalâcintyarûpa
2 d. Persis bagaikan seseorang yang merana hatinya merasakan rasa kemurnian Yang Tak Bisa Dibayangkan.
3 a. Ndah yêka n mangkana ng çânti kineñep i tutur sang huwus siddhayogi
3 a. Maka itulah ketentraman hati yang dituju seorang yogi sempurna.
3 b. Pûjan ring jñâna çuddhâprimita çaran.âning miket langwa-langwan
3 b. Biarkan aku memuja dengan kemurnian dan kebaktian tak tertara sebagai sarana untuk menulis syair indah.
3 c. Dûrâ ngwang siddhakawyângitung ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra
3 c. Mustahil aku akan berhasil menulis kakawin sebab tiada tahu akan tatacara bersastra.
3 d. Nghing kêwran déning ambek raga-ragan i manah sang kawîrâja çobha
3 d. Namun, sungguh malu dan terganggu oleh pikiran akan sebuah penyair sempurna di ibu kota.
4 a. Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya
4 a. Pertama dari semua cerita yang saya gubah diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha.
4 b. Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga sirang sarwadharmânggaraks.a
4 b. Dahulukala ketika dwapara-, treta- dan kretayuga, dia merupakan perwujudan segala bentuk dharma.
4 c. Tan lèn hyang Brahma Wis.n.wîçwara sira matemah bhûpati martyaloka
4 c. Tiada lain sang hyang Brahma, Wisnu dan Siwa. Semuanya menjadi raja-raja di Mercapada (dunia fana).
4 d. Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati manurun matyana ng kâla murkha
4 d. Dan sekarang pada masa Kaliyuga, Sri Jinapati turun di sini untuk menghancurkan kejahatan dan keburukan.
Penutup
Pupuh penutup adalah pupuh nomor 148.
Epilog
1 a. Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket
1 a. Maka inilah akhir dari sebuah cerita indah dan digubah dari kisah sang Buddha.
1 b. Dé sang kawy aparab mpu Tantular amarn.a kakawin alangö
1 b. Oleh seorang penyair bernama Empu Tantular yang menggubah kakawin indah.
1 c. Khyâtîng rat Purus.âdaçânta pangaranya katuturakena
1 c. Termasyhur di dunia dengan nama Purusadasanta (pasifikasi raja Purusada).
1 d. Dîrghâyuh sira sang rumengwa tuwi sang mamaca manulisa
1 d. Semoga semua yang mendengarkan, membaca dan menyalin akan panjang umurnya.
2 a. Bhras.t.a ng durjana çûnyakâya kumeter mawedi giri-girin
2 a. Hancur lebur para durjana, tak berdaya, gemetar, takut karena ngeri.
2 b. Dé çrî râjasa raja bhûpati sang angd.iri ratu ri Jawa
2 b. Oleh Sri Rajasa yang bertakhta di Jawa.
2 c. Çuddhâmbek sang aséwa tan salah ulah sawarahira tinut
2 c. Para abdinya berhati murni dan melaksanakan segala perintahnya tanpa salah.
2 d. Sök wîrâdhika mêwwu yêka magawé resaning ari teka
2 d. Sungguh banyak para pahlawan unggul, jumlahnya ada ribuan yang memberikan rasa takut kepada para musuh.
3 a. Ramya ng sâgara parwatêki sakapunpunan i sira lengeng
3 a. Indahlah laut dan gunung di bawah penguasaannya.
3 b. Mwang tang râjya ri Wilwatikta pakarâjyanira n anupama
3 b. Dan ibu kota Wilwatikta (= Majapahit) sungguh indah di luar bayangan.
3 c. Kîrn.êkang kawi gîta lambing atuhânwam umarek i haji
3 c. Banyaklah jumlah para penyair, tua dan muda yang menggubah nyanyian dan kakawin yang menghadap sang ratu.
3 d. Lwir sang hyang çaçi rakwa pûrn.a pangapusnira n anuluhi rat
3 d. Bagaikan Dewa Candra kekuasaannya menyinari dunia.
4 a. Bhéda mwang damel I nghulun kadi patangga n umiber i lemah
4 a. Berbeda dengan karyaku bagaikan gajah yang terbang di atas tanah.
4 b. Ndan dûra n mad.anêka pan wwang atimûd.ha kumawih alangö
4 b. Mustahillah menyamai karena orang bodoh yang seolah-olah menulis kakawin indah.
4 c. Lwir bhrân.tâgati dharma ring kawi turung wruh ing aji sakathâ
4 c. Seperti seseorang yang bingung mengenai kewajiban seorang penyair tidak mengenal peraturan bersyair.
4 d. Nghing sang çrî Ran.amanggalêki sira sang titir anganumata.
4 d. Namun Sri Ranamanggala juga yang menjadi panutanku.
==== Bhinneka Tunggal Ika ꧊ꦨꦶꦟꦺꦏꦠꦸꦔ꧀ꦒꦭ꧀ꦲꦶꦏ꧊ ====
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Lengkapnya ialah:
Jawa Kuno
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Berbeda-beda tetapi tetap satu,, tidak ada kebenaran yang mendua.
Petikan dari Kakawin Bharatayuddha dalam budaya Jawa Baru
Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
Kakawin ini digubah oleh dua orang, yaitu: Empu Sedah dan Empu Panuluh. Bagian permulaan sampai tampilnya prabu Salya ke medan perang adalah karya Empu Sedah, selanjutnya adalah karya Empu Panuluh.
Kakawin Bharatayuddha adalah salah satu dari beberapa dari karya sastra Jawa Kuno yang tetap dikenal pada masa Islam. Dalam pertunjukan wayang, beberapa bagian dari Bharatayuddha dinyanyikan sebagai bagian dari nyanyian suluk, bahkan juga dalam pertunjukan wayang yang bernapaskan Islam, misalkan cerita wayang Menak. Terutama cuplikan dari pupuh kelima, bait satu sangat sering dipakai:
Kakawin Arjunawiwāha (Jawa: ꦏꦏꦮꦶꦤ꧀ꦄꦂꦗꦸꦤꦮꦶꦮꦲ) adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Empu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Manggala
Kakawin Arjunawiwaha memiliki sebuah manggala. Berikut adalah manggala beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Manggala
1. Ambek sang paramārthapaṇḍita huwus limpad sakèng śūnyatā,
Tan sangkèng wiṣaya prayojñananira lwir sanggrahèng lokika,
santoṣâheletan kelir sira sakèng sang hyang Jagatkāraṇa.
2. Us.n.is.angkwi lebûni pâdukanirâ sang hyang Jagatkâran.a
Hiasan kepalaku merupakan debu pada alas kaki dia Sang Hyang Penjadi Dunia
Manggeh manggalaning miket kawijayan sang Pârtha ring kahyangan
Terdapatkan pada manggala dalam menggubahkan kemenangan sang Arjuna di kahyangan
Prasasti Nusantara
Prasasti Nusantara adalah prasasti yang berasal dari wilayah Nusantara. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam aksara serta bahasa-bahasa asli Nusantara dan bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Sanskerta. Di bawah ini disajikan daftar seleksi beberapa prasasti Nusantara Jawa yang penting atau menarik. Semua tahun yang disebut di bawah ini adalah tahun Masehi.
Prasasti-prasasti berikut berbahasa Jawa, baik Jawa Kuno (Kawi) maupun Baru.
Peribahasa Jawa merupakan suatu bentuk kearifan lokal budaya Jawa yang filosofis. Di dalam peribahasa, terdapat makna mendalam dari sebuah kalimat atau frasa, tidak sekadar dapat dipahami secara harfiah.
Contoh Paribasan (peribahasa) dan pepatah Jawa
nyolong pethek = tidak cocok dengan apa yang diharapkan.
kepara kepere = tidak adil (berbagi).
criwis cawis= banyak bicara tapi cekatan dalam bekerja.
keplok ora tombok = merasakan kesenangan tanpa keluar biaya.
yitna yuwana, lena kena = yang hati-hati akanselamat, yang ceroboh akan celaka.
busuk ketekuk, pinter keblinger = yang pintar dan yang bodoh sama-sams celaka.
jalukan ora wewehan = mau minta tapi tak mau memberi.
welas tanpa alis= karena saking dermawannya jadi sengsara sendiri (derma yang berlebihan tanpa mengukur kemampuan sendiri).
kerot tanpa untu = kemauan banyak tetapi tidak punya kekuatan.
anakpolah bapa kepradah = orang tua yang selalu menuruti keinginan sang anak.
Nabok nyilih tangan = menyuruh orang untuk mencelakai orang lain.
suduk gunting tatu loro = mendapat kesedihan rangkap.
ora ganja ora unus = orangnya jelek, kelakuannya juga jelek.
nututi layangan pedhot = berusaha mengembalikan situasi yg sudah semrawut.
idu di dilatmaneh = mengingkari janji sendiri.
ngubak ubak banyu bening = membuat keonaran di tempat yang damai.
dudu berase di tempurake = memberi komentar tapi di luar permasalan yang sedang dibahas.
adol lenga kari busike = yang membagi justru tidak kebagian jatah.
ora mambu enthong irus= tidak kelihatan kalau bersaudara.
Purwakanthi
Purwakanthi merupakan alunan bunyi yang sama pada beberapa kata dalam sastra Jawa dan Sunda. Terdapat dua macam purwakanthi yaitu purwakanthi swara dan purwakanthi sastra. Purwakanthi swara adalah persamaan bunyi, sementara purwakanthi sastra adalah persamaan huruf.
Pitutur dan ungkapan-ungkapan Jawa umumnya disampaikan secara ringkas, dengan padanan kata bersajak yang pas sehingga terkesan indah sekaligus mudah diingat.
Purwakanthi guru swara
Ana awan, ana pangan
Ngalah nanging oleh
Sing salah kudu seleh
Becik ketitik ala ketara
Sing weweh bakal pikoleh
Adigang adigung adiguna
Inggih-inggih ora kepanggih
Ciri wanci lelai ginawa mati
Desa mawa cara negara mawa tata
Witing tresna jalaran seka kulina
Giri lungsi, jalma tan kena ingina
Yen menang, aja njur sewenang wenang
Ana bungah, ana susah iku wis lumrah
Sing gelem ngalah, bakal luhur wekasane
Yen krasa enak, aja njur lali anak, lali bojo, lali kanca
Purwakanthi guru sastra
Tata titi titig tatag, tanggung tertib
Aja dhemen memada, dhateng saphadhaning dumadi
Taberi nastiti lan ngati-ati, mesthi bakal dadi
Wong jejodohan kudu ngelingi: babat,bibit,bobot,bebet
Ruruh,rereh,ririh ing wewarihipun, mrih reseping para muyarsi
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karya, tut wuri handayani
Tarti tata-tata, ate metu turut ratan, diutus tuku tahu tempe dhuwite kertas telung atus
Tindak tanduk lan tutur kang kalantur, tamtu katula-tula katali, bakal kacatur,katutuh, kapatuh, pan dadi awon
Sluman slumun slamet, salamun nyemplung kali plung, slulup slelep-slelep oleh slepi isi klobot, Njumbul bul klambine teles bles
Kala kula kelas kalih, kula kilak kalo kalih kuli-kuli kula, kalo kula kéli, kali kilén kula, kalo kula kampul-kampul, kula kelap kelip kala-kala keling-keling
Tembang, Gending dan Karawitan
Syair gending Jawa selalu terucap tembang-tembang yang dialunkan pesinden/seniwati maupun penggerong pada sebuah musik karawitan. Syair ini berbahasa Jawa dan bahasa Kawi yang unik dan mengandung pesan atau nasihat untuk hidup yang damai sejahtera di dunia ini. Syair-syair tiap gending berbeda-beda, mulai dari gending gedhe, ladrang, ketawang maupun tembang dolanan. Masing-masing mengandung makna dan tersendiri yang disampaikan penciptanya lewat syair tersebut.
Tembang Macapat juga sering disebut sekar Macapat, sekar Alit, atau sekar Dhagelan. Karsana H. Saputra dalam bukunya yang berjudul Sekar Macapat menyebutkan, macapat adalah suatu bentuk puisi Jawa yang menggunakan bahasa Jawa baru, diikat oleh persajakan yang meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Jadi Sekar macapat atau tembang macapat dapat diartikan sebagai salah satu bentuk sekar (tembang) yang menggunakan aturan guru wilangan dan guru lagu yang sudah ditentukan. Masing-masing jenis tembang macapat memiliki jumlah gatra yang berbeda-beda dan untuk membedakan jenis sekar macapat antara yang satu dengan lainnya dapat dilihat dari jumlah gatra, guru lagu, dan guru wilangan.
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, karena pada praktiknya tidak semua tembang macapat bisa dinyanyikan empat-empat suku kata. [1]
Tembang macapat ada 11 ( sebelas ):
Maskumambang
Pocung
Gambuh
Megatruh
Mijil
Kinanthi
Asmaradana
Durma
Pangkur
Sinom
Dhandhanggula
Tembang macapat itu terdiri dari Guru Gatra, Guru wilangan, guru lagu, dan watak. Guru gatra adalah jumlah baris dalam tembang macapat. Guru wilangan adalah jumlah suku kata dalam tembang macapat. Guru lagu adalah jatuhnya suara di akhir baris tembang macapat.
Pranatacara
Pranatacara atau sering disebut pambyawara, pranata adicara, pranata titilaksana atau pranata laksitaning adicara adalah salah satu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan suatu pertemuan atau acara dalam masyarakat Jawa. Pranatacara dalam bahasa Indonesia disebut pewara. Pranatacara merupakan pembawa acara dalam upacara adat Jawa seperti pernikahan (temanten), kematian (kesripahan), pertemuan (pepanggihan), perjamuan (pasamuan), pengajian (pengaosan), pentas, dan sebagainya.
Pranatacara merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus karena orang yang melakukan pekerjaan tersebut biasanya memahami dengan benar susunan suatu acara dengan menggunakan bahasa Jawa krama Inggil. Pranatacara lebih sering dihubungkan dengan upacara adat pengantin Jawa.
Pranatacara harus pandai mengolah, merakit dan menyusun serta memperhalus kalimat bahasa yang bisa dimengerti orang bayak.
Serat
Serat (꧊ꦱꦼꦫꦠ꧀) berisi tentang ajaran atau Piwulang dan pitutur kearah kebaikan dan kebajikan, tuntunan agung yang dapat dijadikan seabagai pedoman dan suri tauladan bagi manusia. Serat menganduing makna moralitas yang berkenaan dengan dengan etika hidup.
Serat Sastra Ganding diciptakan oleh Kanjeng Sultan Agung.
Serat Wulangreh merupakan karya sastra berbentuk tembang hasil buah karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV.
Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra Jawa baru yang secara formal dinyatakan ditulis oleh Magkunegara IV.
Serat Wulang Estri merupakan karya sastra kelanjutan dari ajaran Paku Buwana IV yang ditujukan bagi putrinya, yaitu berupa ajaran berumah tangga.
Serat Wedaraga merupakan salah satu karya sastra berbentuk tembang macapat karangan R. Ng. Ranggawarsita.
Serat Nitisastra karya Raden Ngabehi Yasadipura II.
Babad
Babad (꧊ꦧꦧꦢ꧀) berisi tentang sejarah lokal yang berhubungan dengan nama tempat, daerah, kerajaan maupun tokoh besar (historis). Babad bersifat lokal yang ditulis dengan cara pandang tradisional, sehingga sering dibumbui dengan berbagai hal yang bersifat pralogis atau bahkan bersifat fiktif dan simbolik. Babad bersifat istana centris karena pada umumnya ditulis pada lingkungan kraton dengan raja selaku penguasa daerah yang bersangkutan, atau lingkungn bangsawan yang lebih kecil.
Pada umumnya babad ditulis dengan tujuan: (a) mencatat segala peristiwa, kejadian, atau pengalaman yang pernah terjadi pada masa lampau. (b) untuk menjadi teladan yang baik agar dapat diambil manfaatnya. (c) untuk memperkuat sakti raja (Sedyawati, ed. 2001: 267). Babad bersifat subjektif karena kebanyakan penulisnya berasal dari latar belakang, kecenderungan, dan pendiriannya yang ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya pada sebagai manusia sosial budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988). Babad bersifat fragmentatif artinya bahwa fakta-fakta yang ditampilkan dalam babad tidaklah lengkap. Babad menekankan pada pengagungan leluhur maupun raja, yang menekankan pada pengukuhan legitimasi sebagai catatan sejarah bagi kepentingan penguasa dan keturunanya. Babad bersifat sugestif artinya bahwa babad dapat mempengaruhi pandangan seseorang.
Babad Giyanti
Babad kartasura
Babad Sengkala
Babad Surapati
Babad Damarwulan
Babad demak
Suluk
Suluk (꧊ꦱꦸꦭꦸꦏ꧀) kental dengan ajaran agama islam. Suluk sering kali dihubungkan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang kemudian dimaknai dengn pengembaraan atau perjalanan dalam rangka mencari makna hidup. Suluk sering dianalogikan dengan kata ‘yen sinusul muluk’ yang berarti kalau dikejar semakin membumbung tinggi. Maksutnya, keilmuan suluk, bila semakin dipikirkan akan semakin jauh untuk dijangkau pikiran atau logika awam. Permasalahan yang sering diangkat dalam suluk berhubungan erat dengan hal-hal ghaib yakni hal-hal supranatural yang hubungannya dengan Tuhan dan kehidupan manusia. Suluk memiliki struktur yang tidak mudah dipahami maknanya atau relatif membingungkan, terutama bagi yang tidak bisa menggelutinya. Sastra suluk umumnya ditulis dalam bentuk tembang (macapat) namun juga ada yang berbentuk prosa.