Sastra Jawa secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang ditulis dalam bentuk prosa atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut dengan istilah tembang. Sebagian besar karya sastra Jawa ditulis dalam bentuk tembang mulai dari awal bahkan sampai saat ini.
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuno).
Sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Sastra Jawa Kuno atau sering kali dieja sebagai Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Di bawah ini diberikan beberapa contoh petikan dari kakawin ini bersama dengan terjemahannya. Yang diberikan contohnya adalah manggala, penutup dan sebuah petikan penting.
Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Empu Tantular pada abad ke-14.
Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang merupakan intisari kasunyatan.Jika dia metampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana Brahma, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.
Pupuh penutup adalah pupuh nomor 148.
==== Bhinneka Tunggal Ika ꧊ꦨꦶꦟꦺꦏꦠꦸꦔ꧀ꦒꦭ꧀ꦲꦶꦏ꧊ ====
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Lengkapnya ialah:
Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
Kakawin ini digubah oleh dua orang, yaitu: Empu Sedah dan Empu Panuluh. Bagian permulaan sampai tampilnya prabu Salya ke medan perang adalah karya Empu Sedah, selanjutnya adalah karya Empu Panuluh.
Kakawin Bharatayuddha adalah salah satu dari beberapa dari karya sastra Jawa Kuno yang tetap dikenal pada masa Islam. Dalam pertunjukan wayang, beberapa bagian dari Bharatayuddha dinyanyikan sebagai bagian dari nyanyian suluk, bahkan juga dalam pertunjukan wayang yang bernapaskan Islam, misalkan cerita wayang Menak. Terutama cuplikan dari pupuh kelima, bait satu sangat sering dipakai:
Kakawin Arjunawiwāha (Jawa: ꦏꦏꦮꦶꦤ꧀ꦄꦂꦗꦸꦤꦮꦶꦮꦲ) adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Empu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin Arjunawiwaha memiliki sebuah manggala. Berikut adalah manggala beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Prasasti Nusantara adalah prasasti yang berasal dari wilayah Nusantara. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam aksara serta bahasa-bahasa asli Nusantara dan bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Sanskerta. Di bawah ini disajikan daftar seleksi beberapa prasasti Nusantara Jawa yang penting atau menarik. Semua tahun yang disebut di bawah ini adalah tahun Masehi.
Prasasti-prasasti berikut berbahasa Jawa, baik Jawa Kuno (Kawi) maupun Baru.
Peribahasa Jawa merupakan suatu bentuk kearifan lokal budaya Jawa yang filosofis. Di dalam peribahasa, terdapat makna mendalam dari sebuah kalimat atau frasa, tidak sekadar dapat dipahami secara harfiah.
Contoh Paribasan (peribahasa) dan pepatah Jawa
Purwakanthi merupakan alunan bunyi yang sama pada beberapa kata dalam sastra Jawa dan Sunda. Terdapat dua macam purwakanthi yaitu purwakanthi swara dan purwakanthi sastra. Purwakanthi swara adalah persamaan bunyi, sementara purwakanthi sastra adalah persamaan huruf.
Pitutur dan ungkapan-ungkapan Jawa umumnya disampaikan secara ringkas, dengan padanan kata bersajak yang pas sehingga terkesan indah sekaligus mudah diingat.
Syair gending Jawa selalu terucap tembang-tembang yang dialunkan pesinden/seniwati maupun penggerong pada sebuah musik karawitan. Syair ini berbahasa Jawa dan bahasa Kawi yang unik dan mengandung pesan atau nasihat untuk hidup yang damai sejahtera di dunia ini. Syair-syair tiap gending berbeda-beda, mulai dari gending gedhe, ladrang, ketawang maupun tembang dolanan. Masing-masing mengandung makna dan tersendiri yang disampaikan penciptanya lewat syair tersebut.
Tembang gedhe jenisnya:
Tembang tengahan jenisnya:
Tembang Macapat juga sering disebut sekar Macapat, sekar Alit, atau sekar Dhagelan. Karsana H. Saputra dalam bukunya yang berjudul Sekar Macapat menyebutkan, macapat adalah suatu bentuk puisi Jawa yang menggunakan bahasa Jawa baru, diikat oleh persajakan yang meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Jadi Sekar macapat atau tembang macapat dapat diartikan sebagai salah satu bentuk sekar (tembang) yang menggunakan aturan guru wilangan dan guru lagu yang sudah ditentukan. Masing-masing jenis tembang macapat memiliki jumlah gatra yang berbeda-beda dan untuk membedakan jenis sekar macapat antara yang satu dengan lainnya dapat dilihat dari jumlah gatra, guru lagu, dan guru wilangan.
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, karena pada praktiknya tidak semua tembang macapat bisa dinyanyikan empat-empat suku kata. [1]
Tembang macapat ada 11 ( sebelas ):
Tembang macapat itu terdiri dari Guru Gatra, Guru wilangan, guru lagu, dan watak. Guru gatra adalah jumlah baris dalam tembang macapat. Guru wilangan adalah jumlah suku kata dalam tembang macapat. Guru lagu adalah jatuhnya suara di akhir baris tembang macapat.
Pranatacara atau sering disebut pambyawara, pranata adicara, pranata titilaksana atau pranata laksitaning adicara adalah salah satu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan suatu pertemuan atau acara dalam masyarakat Jawa. Pranatacara dalam bahasa Indonesia disebut pewara. Pranatacara merupakan pembawa acara dalam upacara adat Jawa seperti pernikahan (temanten), kematian (kesripahan), pertemuan (pepanggihan), perjamuan (pasamuan), pengajian (pengaosan), pentas, dan sebagainya.
Pranatacara merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus karena orang yang melakukan pekerjaan tersebut biasanya memahami dengan benar susunan suatu acara dengan menggunakan bahasa Jawa krama Inggil. Pranatacara lebih sering dihubungkan dengan upacara adat pengantin Jawa. Pranatacara harus pandai mengolah, merakit dan menyusun serta memperhalus kalimat bahasa yang bisa dimengerti orang bayak.
Serat (꧊ꦱꦼꦫꦠ꧀) berisi tentang ajaran atau Piwulang dan pitutur kearah kebaikan dan kebajikan, tuntunan agung yang dapat dijadikan seabagai pedoman dan suri tauladan bagi manusia. Serat menganduing makna moralitas yang berkenaan dengan dengan etika hidup.
Babad (꧊ꦧꦧꦢ꧀) berisi tentang sejarah lokal yang berhubungan dengan nama tempat, daerah, kerajaan maupun tokoh besar (historis). Babad bersifat lokal yang ditulis dengan cara pandang tradisional, sehingga sering dibumbui dengan berbagai hal yang bersifat pralogis atau bahkan bersifat fiktif dan simbolik. Babad bersifat istana centris karena pada umumnya ditulis pada lingkungan kraton dengan raja selaku penguasa daerah yang bersangkutan, atau lingkungn bangsawan yang lebih kecil.
Pada umumnya babad ditulis dengan tujuan: (a) mencatat segala peristiwa, kejadian, atau pengalaman yang pernah terjadi pada masa lampau. (b) untuk menjadi teladan yang baik agar dapat diambil manfaatnya. (c) untuk memperkuat sakti raja (Sedyawati, ed. 2001: 267). Babad bersifat subjektif karena kebanyakan penulisnya berasal dari latar belakang, kecenderungan, dan pendiriannya yang ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya pada sebagai manusia sosial budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988). Babad bersifat fragmentatif artinya bahwa fakta-fakta yang ditampilkan dalam babad tidaklah lengkap. Babad menekankan pada pengagungan leluhur maupun raja, yang menekankan pada pengukuhan legitimasi sebagai catatan sejarah bagi kepentingan penguasa dan keturunanya. Babad bersifat sugestif artinya bahwa babad dapat mempengaruhi pandangan seseorang.
Suluk (꧊ꦱꦸꦭꦸꦏ꧀) kental dengan ajaran agama islam. Suluk sering kali dihubungkan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang kemudian dimaknai dengn pengembaraan atau perjalanan dalam rangka mencari makna hidup. Suluk sering dianalogikan dengan kata ‘yen sinusul muluk’ yang berarti kalau dikejar semakin membumbung tinggi. Maksutnya, keilmuan suluk, bila semakin dipikirkan akan semakin jauh untuk dijangkau pikiran atau logika awam. Permasalahan yang sering diangkat dalam suluk berhubungan erat dengan hal-hal ghaib yakni hal-hal supranatural yang hubungannya dengan Tuhan dan kehidupan manusia. Suluk memiliki struktur yang tidak mudah dipahami maknanya atau relatif membingungkan, terutama bagi yang tidak bisa menggelutinya. Sastra suluk umumnya ditulis dalam bentuk tembang (macapat) namun juga ada yang berbentuk prosa.