Dalam biologi, istilah adaptasi dipahami sebagai proses evolusi dinamis yang menyesuaikan organisme dengan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Adaptasi merupakan salah satu ciri makhluk hidup yang dapat membantu organisme menghadapi seleksi alam dengan meningkatkan kecocokan evolusionernya. Setelah organisme beradaptasi, ciri fenotipe dari penyesuaian diri terhadap lingkungan dapat diturunkan kepada keturunannya.[1]
Adaptasi sendiri berhubungan dengan konsep kecocokan biologis, yang mengatur laju evolusi seperti yang diukur dari perubahan frekuensi alel dalam organisme. Sering kali, dua spesies atau lebih beradaptasi dan berevolusi bersama saat mereka mengembangkan adaptasi yang saling terkait dengan spesies lain, seperti tanaman berbunga dan serangga penyerbuknya. Selain itu, sebuah fitur adaptasi untuk satu tujuan dapat dieksaptasi untuk tujuan yang berbeda, seperti ketika bulu penyekat dinosaurus dieksaptasi oleh keturunannya (yaitu burung) untuk terbang.
Adaptasi merupakan salah satu topik besar yang banyak dibahas dalam filsafat biologi, karena adaptasi menyangkut fungsi dan tujuan (telelologi).
Adaptasi merupakan fakta kehidupan yang dapat diamati dan diterima oleh para filsuf dan sejarawan alam sejak zaman dahulu, terlepas dari pandangan mereka tentang evolusi, tetapi penjelasan mengenai konsep dan mekanismenya dapat saja berbeda. Empedokles tidak mempercayai adaptasi memerlukan penyebab akhir (tujuan), tetapi berpikir bahwa adaptasi "terjadi secara alami, karena hal-hal seperti itu membantu makhluk hidup bertahan hidup." Aristoteles percaya adanya tujuan adaptasi, tetapi berasumsi bahwa spesies bersifat tetap.[2]
Dalam ilmu teologi alam, adaptasi dipahami sebagai pekerjaan dan bukti atas keberadaan Tuhan.[3] William Paley percaya bahwa organisme telah beradaptasi sempurna dalam hidupnya. Pendapat ini sejalan dengan Gottfried Leibniz, yang berpendapat bahwa Tuhan telah menghasilkan "dunia yang terbaik dari semua kemungkinan." Ide tersebut ditentang oleh Voltaire (melalui karakter satir dokter Pangloss)[4] dan David Hume.[5] Charles Darwin, yang dididik ilmu teologi alam, juga menolak ide tersebut. Ia menyatakan bahwa terdapat kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki tumbuhan dan hewan, sehingga menjadikan mereka beradaptasi.[6]
Jean-Baptiste Lamarck mengusulkan dua konsep adaptasi. Ia menyatakan bahwa makhluk hidup memiliki kecenderungan untuk menciptakan bangun tubuh yang lebih kompleks, misalnya organisme bersel satu akan mengalami adaptasi yang lama-kelamaan membentuk organisme yang lebih kompleks. Konsep adaptasi kedua yang ia usulkan merujuk pada perubahan yang disebabkan oleh "pengaruh keadaan", di mana organisme akan mampu menggunakan atau berhenti menggunakan fitur organisme sesuai dengan keadaan sekitarnya.[7] Konsep kedua inilah yang membentuk apa yang sekarang disebut Lamarckisme, hipotesis proto-evolusi tentang pewarisan karakteristik yang diperoleh, yang dimaksudkan untuk menjelaskan adaptasi melalui cara yang alami.[8]
Sejarawan alam lainnya, seperti Buffon, menerima konsep adaptasi, dan beberapa juga menerima evolusi, meski tidak ada yang menyuarakan pendapat mereka tentang mekanismenya. Hal ini menggambarkan peran nyata Darwin dan Alfred Russel Wallace, dan tokoh-tokoh sekunder seperti Henry Walter Bates dalam menjelaskan mekanisme yang signifikansinya hanya sekilas terlihat sebelumnya. Seabad kemudian, studi lapangan eksperimental dan praktik pemuliaan yang dilakukan oleh naturalis seperti E. B. Ford dan Theodosius Dobzhansky menghasilkan bukti bahwa seleksi alam bukan hanya 'mesin' yang menggerakkan adaptasi, tetapi juga merupakan kekuatan yang jauh lebih kuat daripada yang diperkirakan sebelumnya.[9][10][11]
Adaptasi umumnya terbagi atas tiga jenis.
Adaptasi Morfologi adalah penyesuaian bentuk tubuh makhluk hidup atau alat-alat tubuh makhluk hidup terhadap lingkungan tempat tinggalnya.[12]
Adaptasi Fisiologi adalah adaptasi yang meliputi fungsi alat-alat tubuh.[12] Adaptasi ini bisa berupa enzim yang dihasilkan suatu organisme. Contoh: dihasilkannya enzim selulase oleh hewan memamah biak.
Adaptasi fisiologi ada yang bersifat reversibel atau dapat kembali ke kondisi awal. Contohnya, jika seseorang yang biasa hidup di daerah pantai berpindah ke daerah pegunungan yang tinggi. Maka akan terjadi perubahan fisiologi, yaitu meningkatnya jumlah butir-butir sel darah merah (eritrosit). Namun, jika orang tersebut kembali ke dataran, maka secara perlahan jumlah eritrosit akan turun atau normal seperti semula.[1]
Adaptasi tingkah laku adalah adaptasi yang berupa perubahan tingkah laku agar sesuai dengan lingkungannya.[12]
<ref>
:0
Artikel bertopik biologi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.