Paus Eusebius adalah Paus Gereja Katolik ke-31 dalam sejarah Gereja Katolik yang memimpin Tahta Suci selama periode singkat pada tahun 309. Masa jabatannya terjadi di tengah situasi gereja yang penuh dengan ketegangan akibat perpecahan internal yang timbul dari perdebatan mengenai penerimaan kembali umat Kristen yang telah murtad selama masa penganiayaan oleh Kaisar Romawi. Meski masa kepemimpinannya singkat, Paus Eusebius dikenang karena keteguhannya dalam mempertahankan ajaran gereja dan upayanya untuk menyelesaikan perselisihan doktrinal yang melanda umat beriman pada zamannya.
Latar Belakang Kehidupan
Eusebius diyakini lahir di Yunani pada akhir abad ke-3. Sedikit yang diketahui tentang kehidupan awalnya, tetapi sumber-sumber menyebutkan bahwa ia merupakan seorang yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci dan ajaran Gereja. Sebelum menjabat sebagai Paus, ia adalah seorang imam yang dikenal atas kebijaksanaannya dalam mengajar dan kesetiaannya kepada iman Kristiani di tengah-tengah masa penganiayaan yang sulit.
Pontifikat
Paus Eusebius diangkat menjadi pemimpin Gereja Roma pada bulan April tahun 309, menggantikan Paus Marselus I yang meninggal setelah mengalami pengasingan akibat kebijakan Kaisar Maxentius yang menentang kekristenan. Namun, pontifikat Eusebius segera dihadapkan pada perpecahan besar dalam tubuh Gereja yang dikenal sebagai kontroversi lapsi.
Kontroversi Lapsi
Kontroversi ini berkaitan dengan status umat Kristen yang telah menyangkali iman mereka (lapsi) selama masa penganiayaan, tetapi kemudian ingin kembali ke pangkuan Gereja. Dua kelompok utama muncul dalam perdebatan ini:
Kelompok Moderat, yang dipimpin oleh Eusebius, berpendapat bahwa lapsi harus diizinkan untuk kembali setelah menjalani penyesalan yang tulus dan disiplin gerejawi.
Kelompok Rigoris, dipimpin oleh seorang tokoh bernama Heraklius, menolak pengampunan bagi lapsi, menganggap mereka tidak layak untuk diterima kembali dalam komunitas umat beriman.
Perselisihan ini menimbulkan kerusuhan di Roma dan menyebabkan pembagian umat, bahkan mengarah pada bentrokan fisik di kalangan jemaat.
Pengasingan dan Akhir Hidup
Kaisar Maxentius, yang khawatir akan stabilitas politik di Roma, menganggap perselisihan ini sebagai ancaman terhadap ketertiban umum. Akibatnya, baik Eusebius maupun Heraklius diasingkan dari kota Roma pada bulan Agustus 309. Eusebius diasingkan ke Sisilia, di mana ia meninggal tidak lama kemudian akibat penderitaan fisik dan tekanan emosional yang ia alami selama pengasingan.
Jenazahnya kemudian dipulangkan ke Roma dan dimakamkan di Katakomba Santo Kalistus di Katakomba Roma, tempat yang sering digunakan untuk pemakaman para martir dan paus pada masa itu. Pada makamnya, terdapat tulisan epitaf yang ditulis oleh Paus Damasus I, yang memuji keteguhan Eusebius dalam mempertahankan kedisiplinan gerejawi.
Peninggalan dan Penghormatan
Paus Eusebius dikenang sebagai seorang gembala yang teguh dalam memelihara kesatuan Gereja di tengah perpecahan. Ia dihormati sebagai seorang martir meskipun tidak wafat secara langsung karena penganiayaan. Gereja Katolik memperingati hari rayanya pada tanggal 17 Agustus.
Ajaran dan Kebijakan
Meskipun masa kepemimpinannya sangat singkat, Eusebius meninggalkan warisan berupa:
Penekanan pada pentingnya disiplin gerejawi dalam memulihkan umat yang telah jatuh dari iman.
Pendekatan pastoral yang penuh belas kasih namun tetap tegas terhadap mereka yang ingin kembali ke Gereja.
Pengaruh dalam Gereja
Keputusan Eusebius untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang bertikai menjadi fondasi bagi penyelesaian serupa pada masa-masa mendatang. Gereja Katolik kemudian mengadopsi sikap moderat terhadap lapsi dalam Konsili-konsili berikutnya, mengikuti teladan kebijakan yang dirintis oleh Paus Eusebius.
Kanonisasi dan Relikui
Paus Eusebius secara resmi diakui sebagai santo oleh Gereja Katolik. Relikui suci dari tubuhnya disimpan di beberapa gereja di Roma, termasuk di Basilika Santo Petrus, sebagai tanda penghormatan atas kesetiaannya kepada iman Kristiani.