Pariwisata halal adalah bagian dari pariwisata yang diberikan terhadap keluarga-keluarga Muslim berdasarkan pada aturan-aturan Islam. Hotel-hotel dalam destinasi semacam itu tak menyajikan alkohol dan memiliki kolam renang dan fasilitas spa terpisah untuk pria dan wanita. Malaysia, Turki dan beberapa negara lain berusaha untuk menyajikan para wisatawan dari seluruh belahan dunia dengan menawarkan fasilitas yang sesuai dengan keyakinan agama dari para pelancong Muslim. Saat ini, tak ada standar yang diakui internasional terhadap pariwisata halal.
Sejarah pemikiran
Gagasan tentang pariwisata halal diawali dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan istilah ziarah atau perjalanan. Ada 3 jenis kata dalam bahasa Arab yang berhubungan dengan pariwisata yaitu hijja (حجة), zejara (زي ة ار) dan rihla (ةرح ل ). Ketiga istilah tersebut memberikan makna bahwa perjalanan dilakukan untuk kunjungan yang memiliki tujuan tertentu. Perjalanan diadakan karena beberapa hal, yaitu adanya kewajiban berkunjung (misalnya haji) bagi yang mampu, kunjungan ke tempat-tempat suci agama Islam, dan kunjungan untuk tujuan pendidikan dan perdagangan. Kesamaan makna dari ketiga istilah tersebut adalah perjalanan untuk menaati perintah Allah. Dalam pelaksanaannya, Muslim mengikuti syariat Islam sehingga perjalanan harus diadakan secara halal. Gagasan pariwisata halal kemudian mengalami pengembangan di dalam pemikiran Islam maupun ekonomi Islam. Bentuk nyatanya adalah diadakannya Konferensi Wisata Syariah oleh negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jakarta. Konferensi berlangsung selama 2 hari pada tanggal 2-3 Juni 2014. Terdapat 13 rekomendasi yang dihasilkan guna ditindaklanjuti dalam pengembangan pariwisata halal.[1] Masyarakat dunia kala itu lebih mengenal istilah tur Muslim, gaya hidup halal atau perjalanan halal. Sejak tahun 2015, konsep pariwisata halal mulai dikembangkan dan digunakan setelah sebuah acara bernama World Halal Tourism Summit dilaksanakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.[2]