Sugondo Djojopuspito (22 Februari 1905 – 23 April 1978) adalah tokoh pemuda tahun 1928 yang memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan menghasilkan Sumpah Pemuda, dengan motto: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia.[1]
Latar Belakang dan Pendidikan
Sugondo Djojopuspito [2][3] lahir di Tuban, 22 Februari1905 bapaknya bernama Kromosardjono adalah seorang Penghulu dan Mantri Juru Tulis Desa di kota Tuban, Jawa Timur. Ketika Soegondo masih kecil, ibunda Soegondo sakit-sakitan dan meninggal dunia, kemudian Bapak Kromosardjono kawin lagi dan pindah ke BrebesJawa Tengah menjabat sebagai lurah di sana. Selanjutnya Soegondo dan adiknya (Soenarjati) diangkat anak oleh pamannya yang bernama Bapak Hadisewojo (seorang collecteur wilayah Blora, dan tidak punya anak, dan juga mengangkat Sudarjati dari anak saudara sepupu Keluarga Ny. Brotoamidjojo, serta Sumijati dari anak saudara sepupu Keluarga S. Soekadji, sehingga Bapak Hadisewojo mempunyai 4 anak angkat yang saling ikatan saudara sepupu).[4] Pamannya ini yang menyekolahkan Soegondo dari HIS di Tuban hingga RH di Batavia, termasuk adik-adiknya. Peranan Bapak Hadisewojo sangat besar dalam membimbing Soegondo sejak dari HIS di Tuban, menitipkan mondok di CokroaminotoSurabaya, menitipkan mondok di Ki Hadjar DewantaraYogyakarta, dan hingga mengarahkan masuk ke RH Batavia.
Setelah lulus AMS tahun 1925 melanjutkan kuliah atas biaya pamannya dan beasiswa di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - didirikan tahun 1924 - cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekarang). Ia mondok di rumah pegawai pos bersama beberapa pegawai pos Pasar Baru lainnya di Gang Rijksman (belakang Rijswijk - sekarang Jl Juanda belakang Hotel Amaris Stasiun Juanda), sehingga ia bisa membaca majalah Indonesia Merdeka asuhan Mohammad Hatta terbitan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang dilarang masuk ke Indonesia. Selama mahasiswa hidup sulit hanya punya satu baju, yang harus dicuci dulu kalau mau kuliah. Kuliah di RHS hanya mencapai lulus tingkat Candidat Satu (C1), setelah Propadeus, karena beasiswanya dicabut akibat kegiatan politiknya dan juga pamannya meninggal dunia (sekarang setingkat dengan ijazah D2, karena sistem pendidikan sekolah tinggi pada waktu itu adalah terdiri atas 4 jenjang, yaitu: Propadeus, Candidat 1 dan Candidat 2, serta Doktoral).
Perjuangan
Sumpah Pemuda "28 Oktober 1928"
Pada waktu semua orang ikut dalam organisasi pemuda, pemuda Sugondo masuk dalam PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - dan tidak masuk dalam Jong Java). Pada tahun 1926 saat Kongres Pemuda I, Sugondo ikut serta dalam kegiatan tersebut. Tahun 1928, ketika akan ada Kongres Pemuda II 1928, maka Sugondo terpilih jadi Ketua atas persetujuan Drs.Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di Negeri Belanda dan Ir.Sukarno (yang pernah serumah di Surabaya) di Bandung. Mengapa Sugondo terpilih menjadi Ketua Kongres, karena ia adalah anggota PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - wadah pemuda independen pada waktu itu dan bukan berdasarkan kesukuan).
Saat itu Mohammad Yamin adalah salah satu kandidat lain menjadi ketua, tetapi dia berasal dari Yong Sumatra (kesukuan), sehingga diangkat menjadi Sekretaris. Perlu diketahui bahwa Moh. Yamin adalah Sekretaris dan juga salah satu peserta yang mahir berbahasa Indonesia (sastrawan), sehingga hal-hal yang perlu diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang benar tidak menjadi hambatan (seperti diketahui bahwa notulen rapat ditulis dalam bahasa Belanda yang masih disimpan dalam museum).
Kongres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal 27-28 Oktober1928 di Jakarta menghasilkan Sumpah Pemuda 1928 yang terkenal itu, di mana Para Pemuda setuju dengan
Trilogi:Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: INDONESIA. Seperti diketahui, bahwa Trilogi ini lahir pada detik terakhir kongres, di mana Yamin yang duduk di sebelah Soegondo menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo seraya berbisik: Ik heb een elegante formule voor de resolutie (saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes). Dalam secarik kertas tersebut tertulis 3 kata/trilogi: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Selanjutnya Soegondo memberi paraf pada secarik kertas itu yang menyatakan setuju, dan diikuti oleh anggota lainnya yang menyatakan setuju juga.[5]
Selain trilogi itu, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan: Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan ini, WR Supratman berbisik meminta izin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya ciptannya. Karena Kongres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya Kongres dibubarkan atau para peserta ditangkap), maka Sugondo secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik kepada WR Supratman dipersilahkan memperdengarkan lagu INDONESIA RAYA dengan biolanya, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka tidak jelas diperdengarkan (dengan biola). Hal ini tidak banyak yang tahu mengapa WR Supratman memainkan biola pada waktu itu.
Namun pada tahun 1930 ia diminta oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi guru Perguruan Taman Siswa Bandung. Pada waktu di Bandung tahun 1930 ia mulai sebagai simpatisanPNI (Perserikatan Nasional Indonesia) pimpinan Sukarno. Tahun 1932, ia diangkat menjadi Kepala Sekolah Perguruan Tamansiswa Bandung. Tahun 1933 menikah dengan penulis Suwarsih Djojopuspito di Cibadak dan isterinya ikut membantu mengajar di Perguruan Tamansiswa Bandung. Kakak iparnya adalah Mr. A.K.Pringgodigdo, suami dari kakak isterinya (Ny. Suwarni).
Dan selanjutnya tahun 1934 itu juga, giliran Sugondo juga ditangkap, tetapi tidak terbukti bahwa ia anggota partai, sehingga ia hanya mendapat larangan mengajar (Onderwijs Verbod) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah larangan mengajar dicabut tahun 1935 ia pindah ke Bogor dan mendirikan Sekolah Loka Siswa, tetapi sepi murid, sehingga ditutup.[6]
Setelah gagal mendirikan Sekolah Loka Siswa di Bogor, Sugondo pada tahun 1936 pindah mencari pekerjaan ke Semarang, dan ia mengajar di sekolah Tamansiswa Semarang, sedangkan isterinya bekerja di sekolah pimpinan Drs. Sigit. Namun kemudian akhir tahun 1936 ia pindah ke Surabaya bekerja sebagai wartawan lepas De Indische Courant Soerabaia.
Ketika keadaan Eropa genting, menjelang Perang Dunia II, maka pada tahun 1940 Soegondo pindah ke Batavia ikut isterinya yang mengisi lowongan guru yang ditinggal pergi orang Balanda. Soewarsih menjadi guru di GOSVO (Gouvernement Opleiding School voor Vak Onderwijzeressen Paser Baroe Batavia - Sekolah Guru Kepandaian Putri Negeri Pasar Baru Batavia - sekarang SMKN 27 Pasar Baru). Selain itu ia juga dipercaya oleh kenalannya yang pulang ke Eropa untuk menjaga rumah di daerah Menteng (Tjioedjoengweg, sekarang Jl. Teluk Betung belakang HI). Ia sempat bekerja di Centraal Kantoor voor de Statistiek Pasar Baru (CKS - Badan Pusat Statistik) sebelah GOSVO tempat isterinya bekerja, dan juga sebagai wartawan lepas De Bataviaasch Nieuwsblad.
Pada tahun 1941 oleh Mr. Soemanang dipercaya memimpin Kantor Berita Antara(sebagai Direktur, melalui dua orang utusan Djohan Sjahroezah dan Adam Malik yang datang meminta di rumahnya Tjioedjoengweg, sedangkan Adam Malik tetap menjadi Redaktur/merangkap Wakil Direktur) yang beralamat pada waktu itu di Buiten Tijgerstraat 30 Noord Batavia (Jl. Pinangsia 70 Jakarta Utara) sebelum pindah ke Jl. Pos Utara No. 53 - Pasar Baru.[7]
Masa Penjajahan Dai Nippon 1943-1945
Pada masa penjajahan Jepang, bekerja sebagai pegawai Shihabu (Kepenjaraan), atas bantuan Mr. Notosoesanto sebagai kawan yang pernah bersama kuliah di RH Batavia dan berkantor di Jl. Cilacap Jakarta Pusat, serta pindah rumah di Jl. Serang No. 13, Jakarta Pusat, rumah bekas orang Belanda yang pulang ke Eropa akibat penjajahan Jepang (di muka rumah Mr. Johannes Latuharhary sebelah dokter Soeradi).
Setelah tahun 1950, meskipun usianya masih 46 tahun, memilih pensiun sebagai bekas menteri dan perintis kemerdekaan, membaca buku dan sering bertemu dengan rekan seperjuangan dalam dan luar negeri. Pernah Presiden Sukarno (sebagai kawan yang pernah sepondokan) tahun 1952 meminta ia datang ke Jakarta, yang disampaikan kepada isterinya waktu datang di istana mengantarkan kakaknya (Ny. Soewarni isteri Mr. A.K. Pringgodigdo, sekretaris kabinet), ia berujar: Waar is Mas Gondo, laat hem maar bij mij even komen, ik zal een positie voor hem geven (Di mana Mas Gondo, suruh dia menemui saya, akan saya beri jabatan untuk dia), tetapi ia menolak jabatan ini, tidak ada kejelasan mengapa ia menolak. Kawan dekatnya sebelum tahun 1955 adalah Sultan Hamengkubuwono IX yang sering datang ke rumah naik mobil kecil warna abu-abu merk Vauxhall AB-1881 dan Sutan Syahrir yang datang menjenguknya naik pesawat kecil ke Maguwo mengemudi sendiri bersama pelatihnya, serta setelah tahun 1965 adalah Romo Mangun (Y. B.Mangunwijaya) yang sering bertandang (karena bertetangga dekat dengan Seminari Yogyakarta di Kota Baru di mana ia menghabiskan waktu sehari-harinya di rumahnya yang di Kota Baru juga).
Atas jasa pada masa pemuda dalam memimpin Sumpah Pemuda, maka oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978 diberikan Tanda Kehormatan Republik Indonesia: berupa Bintang Jasa Utama. Selain itu, ia juga mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan pada tahun 1992.
Wisma Soegondo Djodjopoespito Cibubur
Pihak Kemenpora telah mengabadikan nama ia pada Gedung Pertemuan Pemuda sebagai Wisma Soegondo Djodjopoespito Cibubur milik PP-PON (Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional) yang dibangun oleh Kemenpora dan diresmikan oleh Menpora pada tanggal 18 Juli 2012. Gedung ini disediakan kepada umum untuk dapat dimanfaatkan, terutama untuk kegiatan kepemudaan - pramuka - olahraga untuk tingkat lokal maupun nasional. Pada waktu peresmian sedang dimanfaatkan untuk penggemblengan pelaku Paskibraka 2012.
Belum Diakui Sebagai Pahlawan Nasional
Sudah banyak pelaku sejarah setelah 1928 yang mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, tetapi ia hingga kini belum mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, mengingat setiap tahun peristiwa Sumpah Pemuda 1928 selalu diperingati secara resmi. Namun pihak Kemenpora sejak bulan Juli 2012 sedang mengusungnya menjadi Pahlawan Nasional.
Teman Baik Mr. Soenario
Dia adalah teman baik dari Sunario Sastrowardoyo dan mendirikan bulan Desember 1928 sebuah Perguruan Rakyat di Jakarta. Karena kedekatan dengan Mr. Soenario, maka anak Sugondo kemudian diberi nama Sunaryo.
Keluarga
Suwarsih Djojopuspito, (Lahir Cibatok 1912 - Wafat Yogyakarta 1977), isteri, seorang guru lulusan Europeesche Kweek School Surabaya, adalah seorang wanita Sunda yang menulis novel dalam 3 bahasa (Sunda, Belanda, Indonesia), mendapat Bintang Kehormatan Budaya Parama Dharma pada tgl. 14 Agustus 2013 oleh SBY
Sunartini Djanan Chudori, SH (almarhum, Lahir Bandung 1935 - Wafat Yogyakarta 1996), anak pertama, Sarjana Hukum lulusan UGM, aktivis LBH Yogyakarta
Sunarindrati Tjahyono, SH, (Lahir Yogyakarta 22 Februari 1937, tanggal kelahiran sama dengan bapaknya), anak kedua, Sarjana Hukum lulusan UGM, pensiunan Bank Indonesia, sekarang bekerja sebagai Direktur Bank Mizuho Jakarta
Ir. Sunaryo Joyopuspito, M.Eng., (Lahir Bandung 1939), anak ketiga, Sarjana Teknik ITB, Sertifikat Urban Transport JICA Tokyo, dan Magister Engineering AIT Bangkok, pensiunan Departemen Perhubungan, sekarang guru musik di Jakarta (piano dan biola)
Referensi
Sumber
^Ensiklopedia Indonesia, Sugondo Djojopoespito, Volume 3
^Drs. M. Soenyata Kartadarmadja: Sugondo Djodjopuspito, Hasil Karya dan Pengabdiannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Dokumentasi Sejarah Nasional 1982/1983
^Sunaryo Joyopuspito: Soegondo Djodjopoespito, Tokoh Pemuda 1928, Museum Sumpah Pemuda 2011