Sirajuddin Abbas dikenal sebagai seorang ulama Syafi'iyah dan tokoh utama Perti. Ia juga pernah diserahi amanah sebagai Menteri Kesejahteraan Umum dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan masa bakti dari tanggal 30 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955.[3] Ia menggantikan Sudibjo yang mengundurkan diri.[4]
Sebagai seorang ulama, ia sangat gigih dalam mempertahankan mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya mazhab Syafi'i dalam bidang ilmu fikih.
Kehidupan
Sirajuddin Abbas adalah anak suluang dari Syekh Haji Abbas Qadli atau Syekh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladang Lawas, dan Ramalat binti Jai Bengkawas.[5] Ia memiliki tiga adik yaitu Saidah, Rasuna, dan Syamsiyah Abbas.
Pendidikan awal
Sirajuddin Abbas, memulai pendidikan dari orangtuanya sendiri, dalam buku ia dituliskan bahwa di tahun 1910-1913 M ia memulai belajar membaca Al-Qur'an kepada ibunya, yang kemudian dilanjutkan belajar kitab berbahasa arab dengan bapak ia, Syeikh Haji Abbas di Ladang Lawas, juga dituturkan bahwa di antara tahun itu, ia juga pernah belajar di pesantren-pesantren Syeikh Haji Husein Pakan Senayan, Tuanku Imran Limbukan Pajakumbuh, Sumatera Barat, namun tidak berlangsung lama.[6]
Pada tahun 1920 M hingga 1923 M, ia belajar dalam pesantren Syeikh Haji Abdul malik, Gobah Ladang Lawas, Bukit Tinggi.[6]
Merantau
Masih belum puas juga dengan ilmu yang didapatkan dari ulama-ulama yang ada di Minangkabau, ia memperdalam ilmunya dengan pergi merantau ke kotaMekkah, dimulai tahun 1927 M hingga 1933 M.[6]
Selama enam tahun ia belajar di Mekkah, sekaligus menunaikan ibadahhaji setiap tahunnya (7 kali) di sela-sela waktu belajarnya.[7] Pada tahun 1930 ia diangkat menjadi staf sekretariat pada konsulatBelanda di Mekkah.[7] Kegiatan menuntut ilmu di MasjidMekkah Al Mukarromah dengan ulama sebagai berikut:
Setelah pulang dari menuntut ilmu di Mekkah pada tahun 1933, ia mengambil bermacam-macam ilmu kepada Guru Besar, Maulana Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukit Tinggi, dan mendapat ijazah dari ia,[6] kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Minangkabau untuk meneruskan perjuangan ayahnya, mengajar di pesantren-pesantren yang ada di Minangkabau, walau kemudian ia lebih melebarkan sayapnya berkiprah di dunia yang lebih luas, yakni dunia pendidikan, keagamaan, juga dunia politik.
Tiga tahun setelah kepulangannya dari Mekkah ia mulai dikenal sebagai muballigh muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama-ulama Tarbiyah Indonesia, organisasi keagamaan yang ada di Bukittinggi. Tak lama kemudian, ia terpilih sebagai ketua umum Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) ketika berlangsungnya konferensi di Bukittinggi tahun 1938. Ditangannya, PERTI kian berkembang dan mulai merambah ke dunia politik.
Meninggal dunia
Ia menghembuskan napas terkahirnya di usia 75 tahun pada tanggal 5 Agustus1980 setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit Cipto Mangunkusumo akibat serangan jantung yang ia derita. Saat pemakaman tampak perhatian warga Tarbiyah yang begitu besar. Jasadnya dimakamkan di pemakaman Tanah KusirJakarta Selatan, yang dihadiri wakil presiden Republik Indonesia Adam Malik. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak; Sofyan (almarhum) dan Fuadi.
Kiai Sirajuddin lebih banyak aktif menulis, banyak judul buku yang telah ia hasilkan.[1] Karyanya yang paling terkenal ialah I'itiqad Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan 40 Masalah Agama yang terdiri dari empat jilid.[1] Hingga kini, keduanya menjadi rujukan utama mazhab Syafi'i di kalangan ulama dan santri Indonesia.[1]
Sebahagian karya ilmiah Sirajuddin Abbas ditulis dalam bahasa Arab dan sebagian lagi dalam bahasa Indonesia.