Serikat Yesus (Latin: Societas Jesu), biasa dikenal dengan Yesuit atau Jesuit adalah ordo dalam Gereja Katolik Roma yang dikenal dengan kedisiplinannya.[1][2][3][4][5][6][7] Serikat ini didirikan pada tahun 1534 oleh sekelompok mahasiswa pascasarjana dari Universitas Paris yang merupakan teman-teman Iñigo López de Loyola (Ignatius Loyola).[2][8][9][10] Mereka bersumpah untuk melanjutkan persahabatan mereka setelah mereka selesai studi, hidup dalam kemiskinan sesuai Injil dan pergi mengemban perutusan di Yerusalem.[2][10] Mereka menyebut diri mereka amigos en el Señor — sahabat-sahabat di dalam Tuhan.[2]
Pada 1537 mereka pergi ke Italia untuk mendapatkan persetujuan Paus atas ordo mereka.[2][4]Paus Paulus III memberikan mereka persetujuan dan mengizinkan mereka untuk ditahbiskan menjadi pastor dalam Gereja Katolik.[2] Mereka menerima tahbisan di Venesia oleh Uskup Arbe (24 Juni).[2][6] Mereka mengabdikan diri untuk menyebarkan agama Katolik dan kerja amal di Italia, karena rencana perjalanan mereka ke Yerusalem terhalang oleh pecahnya kembali perang antara kaisar, Venesia, Paus, dan Kerajaan Ottoman.[2]
Ignatius menulis Konstitusi Serikat Yesus yang disahkan pada 1554.[3][4] Konstitusi ini menciptakan organisasi dengan kepemimpinan tunggal dan menetapkan penyangkalan diri dan ketaatan mutlak kepada Paus dan para pemimpinnya.[3] Prinsip utamanya menjadi Motto Yesuit: Ad Maiorem Dei Gloriam ("demi lebih besarnya kemuliaan Allah").[2][4][8]
Ignatius Loyola dan para Yesuit pengikutnya percaya bahwa pembaruan Gereja harus dimulai dengan pertobatan hati.[3][7] Salah satu sarana utama untuk menghasilkannya adalah Latihan Rohani yang disebut retret Ignasian.[3] Selama empat minggu dalam kebisuan orang menjalani meditasi terpimpin mengenai hidup Kristus.[3] Pada masa itu, mereka secara teratur bertemu dengan seorang pembimbing rohani yang menolong mereka memahami panggilan atau pesan Tuhan melalui meditasi mereka.[3]Retret ini mengikuti pola Penyucian-Pencerahan-Kesatuan sesuai dengan tradisi mistik Yohanes Kasianus dan para Bapa Padang Pasir.[3] Ignatius menciptakan inovasi yang membuat mistisisme kontemplatif ini bisa diikuti oleh semua orang, dan menggunakannya sebagai sarana membangun kembali kehidupan rohani Gereja.[3][4]
Yesuit juga mendirikan banyak sekolah, yang menarik anak para elite karena metode pengajaran mereka yang maju dan moral yang tinggi.[4][5] Sekolah Yesuit memainkan peranan penting dalam memenangkan beberapa negara Eropa kembali ke Katolik, setelah beberapa lama didominasi oleh Protestan, terutama Polandia[5][8]
Sesuai dengan tradisi Katolik Roma, mereka mengajarkan penggunaan upacara dan dekorasi di dalam ritual dan Devosi Katolik.[5] Karena itu, banyak Yesuit perdana yang menonjol dalam seni visual dan pertunjukan maupun dalam musik.[5]
Kaum Yesuit berhasil mendapatkan pengaruh yang menonjol pada Periode Modern Awal karena para imam Yesuit sering bertindak sebagai "konfesor" raja-raja pada masa itu.[3][4] Disamping itu mereka berperan penting dalam Reformasi Katolik dan dalam berbagai misi Katolik karena struktur mereka yang kendur (tanpa harus tinggal dalam suatu komunitas, melakukan "doa ofisi" bersama, dan lain-lain) membuat mereka lebih fleksibel untuk memenuhi kebutuhan orang-orang pada masa itu.[3][4]
Pengembangan
Misi awal di Jepang dirasakan positif oleh pemerintah Jepang sehingga pemerintah memberikan kaum Yesuit tanah feudal Nagasaki pada 1580.[3][4][11] Namun hak ini dihapus pada 1587, karena pemerintah Jepang khawatir atas berkembangnya pengaruh Yesuit di sana.[3][4][11]
Dua misionaris Yesuit, Gruber dan D'Orville, mencapai Lhasa di Tibet pada 1661.[3]
Misi Yesuit di Amerika Selatan menimbulkan kehebohan hebat di Eropa, terutama di Spanyol dan Portugal, karena mereka dianggap mengganggu upaya penjajahan pemerintah kerajaan.[3][4] Kaum Yesuit sering kali menjadi satu-satunya kekuatan yang menghalangi perbudakan orang Indian.[3][4] Di banyak tempat di Amerika Selatan terutama wilayah yang kini dikenal sebagai Brasil dan Paraguay mereka membentuk pemerintahan kota Indian-Kristen yang disebut reduksi (bahasa Spanyol: Reducciones).[3][4] Ini adalah masyarakat teokrasi yang dianggap ideal.[3] Salah satu sebab terjadinya tekanan pada kaum Yesuit saat itu adalah bahwa mereka banyak menghalangi perbudakan orang Indian oleh bangsa Spanyol dan Portugis.[3][4]
Para sarjana Yesuit yang bekerja dalam misi asing ke masyarakat kafir memainkan peranan penting dalam memahami bahasa mereka yang tidak dikenal.[3][4] Merekapun berusaha untuk memproduksi tata bahasa dan kamus bahasa tersebut dalam huruf Latin, suatu usaha pertama yang terorganisasi dalam linguistik.[3][4] Ini dilakukan, contohnya, untuk bahasa Jepang dan Tupi-Guarani (sebuah bahasa masyarakat pribumi di Amerika Selatan).[3][4][11]
Tekanan terhadap Yesuit di Portugal, Prancis dan Kerajaan Dua Sisilia, Parma dan Spanyol pada 1767 adalah masa sulit bagi Serikat ini, Paus Clement XIII.[3][4] Menyusul keputusan yang ditandatangani oleh Paus Clement XIV pada Juli 1773, Yesuit ditekan di semua negara (kecuali Rusia, karena Ortodoks Rusia menolak mengenal otoritas Paus).[3][4] Karena jutaan Katolik (termasuk banyak Yesuit) tinggal di Polandia bagian barat dan Kekaisaran Rusia, Serikat ini berhasil mempertahankan keberadaannya dan menjalankan pekerjaannya dalam masa penekanan.[3][4]
Serikat ini dipulihkan kembali oleh Paus pada 1814, lalu terjadilah pertumbuhan yang luar biasa seperti yang diperlihatkan oleh begitu banyaknya kolese dan universitas Yesuit yang didirikan.[3][4] Meskipun banyak dipertanyakan, kaum Yesuit biasanya mendukung otoritas kepausan dalam Gereja dan beberapa anggotanya terkait dengan gerakan Ultramontanis dan deklarasi Infalibilitas kepausan pada 1870.[4]
Yesuit kini
Yesuit pada masa kini merupakan ordo keagamaan terbesar di Gereja Katolik.[3][4] Anggotanya lebih dari 20.000 orang dan melayani di 112 negara di enam benua.[3][4] Pemimpin Umum Yesuit saat ini adalah Pater Arturo Sossa Abascal.[4][5] Ciri pelayanan Serikat Yesus adalah bidang misi, hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pendidikan tinggi (utama).[3][4][5] Serikat Yesus menyelenggarakan kolese dan universitas di berbagai negara dan di seluruh dunia, seperti Filipina, India, dan Indonesia.[3][4] Di Amerika Serikat, Yesuit mengelola lebih dari 50 kolese, universitas, dan sekolah menengah.[3][4]
Pada 1859 van den Elzen, SJ dan J.B. Palinckx, SJ tiba di Indonesia, dan memulai kembali karya Yesuit di Indonesia.[1] Pada 1893 W.J. Staal, SJ ditugaskan sebagai Vikaris Apostolik yang berkedudukan di Batavia.[1]
Dalam pelayanan pastoral, Yesuit mengajar agama, membimbing retret, memberi bimbingan rohani, mendirikan pusat riset dan pengembangan di bidang pastoral.[1]
Dalam bidang sosial kemasyarakatan, sejumlah Yesuit aktif dalam bidang sosial budaya dan kemasyarakatan.[1]Petrus Josephus Zoetmulder memiliki pengetahuan mendalam mengenai sastra Jawa dan berhasil menyusun dua jilid kamus Jawa Kuna.[1]
^ abcdefghijklmnopqrstuvwA. Budi Susanto. Harta dan Surga: Perziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia modern. Yogyakarta: Kanisius, 1990. Hlm 112.
^ abcdefghijF. D. Wellem. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Hlm. 145-146.
^ abcdefghijklmnopqrstuvwxyzaaabacadaeafagah(Inggris) Thomas Worcester. The Cambridge Companion to The Jesuits. Cambridge: Cambridge University Press, 2008. Pg. 178-180.
^ abcdefghi"Ignatius dari Loyola", dalam Robert. R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. Hlm 178-180.
^ abcMgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM, Orang Kudus Sepanjang Tahun, disunting oleh: Drs. Michael Benyamin Mali, Penerbit OBOR, cetakan ke-VII, bulan Mei 2004. Hlm. 372-374.
^ ab(Indonesia) Michael Collins & Matthew A. Price. Millenium The Story of Christianity: Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hlm. 146-147.
^ abcdeH. Berkhof, H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. Hlm. 182-184.
^ abTony Lane. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. Hlm. 185-187.
^ abF. D. Willem. Riwayat Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987. Hlm. 78-79.
^ abcdAnne ruck. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.