Pada 15 Agustus 2021, Kabul, ibu kota Republik Islam Afghanistan, direbut oleh pasukan Taliban dalam serangan Afganistan 2021, sehingga mengakhiri perang di Afganistan yang dimulai pada tahun 2001. Kejatuhan Kabul memicu berbagai tanggapan di seluruh dunia.
Mantan Presiden Afganistan Hamid Karzai mendesak transisi kekuasaan yang damai secara terbuka dan berjanji akan tetap di Kabul bersama anak-anak perempuannya.[1] Beberapa pejabat Afghanistan menyalahkan jatuhnya pemerintahan Ashraf.[2][3] Ketua Dewan Rekonsiliasi Nasional Afghanistan Abdullah Abdullah mengecam pelarian Ashraf dari negara itu, dengan menyatakan bahwa Ashraf meninggalkan Afghanistan dalam situasi yang sulit. Bismillah Khan Mohammadi, mantan kepala staf ANA dan menteri pertahanan sementara, mencuit, "Mereka mengikat tangan kami dari belakang dan menjual negara. Kutukan Ashraf dan kaki tangannya."[4]
Paus Fransiskus menerbitkan pernyataan yang mengatakan bahwa dia merasakan keprihatinan atas situasi di Afganistan dan menyerukan doa untuk perdamaian.[5] Peraih Nobel Malala Yousafzai, yang selamat dari upaya pembunuhan Taliban di Pakistan pada 2012, menyatakan bahwa dia sangat terkejut dan sangat khawatir tentang perempuan, minoritas, dan pembela hak asasi manusia.[6] Penulis Afganistan Khaled Hosseini juga menyatakan keprihatinannya atas masa depan hak-hak perempuan di Afghanistan dan menyatakan harapannya bahwa Taliban tidak akan kembali ke kekerasan dan kekejaman seperti yang terjadi pada dasawarsa 1990-an.[7][8] Human Rights Watch menyatakan organisasi itu bersama perempuan Afghanistan dalam perjuangan mereka dan berupaya menemukan alat untuk menekan Taliban dan kemauan politik untuk melakukannya.[9] Amnesty International menyatakan bahwa situasinya adalah tragedi yang seharusnya dapat diramalkan dan dihindari dan menyerukan kepada pemerintah untuk mengambil setiap tindakan yang diperlukan untuk memastikan jalan keluar yang aman dari Afghanistan bagi semua orang yang berisiko menjadi sasaran Taliban.[10]
Amerika Serikat, Jerman, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kanada, India, dan Swedia telah mengevakuasi kedutaan besar mereka. Rusia, Pakistan dan Tiongkok tidak berniat untuk menutup kedutaan besar mereka.[11] Menurut North Press, media Rojava, moral kelompok jihadis dan ekstremis di wilayah seperti Suriah dan Irak, termasuk Tahrir al-Sham, telah meningkat secara dramatis setelah kejatuhan Kabul.[12] Beberapa pemerintah termasuk Swedia, Jerman, dan Finlandia mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan bantuan pembangunan ke Afghanistan.[13] Negara-negara lain termasuk mereka yang tidak menjalin hubungan diplomatik di Afganistan telah memulai atau mempercepat upaya repatriasi bagi warganya di negara itu.[14][15]
Laksamana Chris Barrie, pensiunan Kepala Angkatan Pertahanan Australia, mengkritik pengurusan evakuasi dengan memperkirakan pembalasan dari Taliban.[16] Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Soviet yang telah mengawasi penarikan Uni Soviet dari Afganistan pada tahun 1988, berargumen bahwa NATO dan Amerika Serikat semestinya mengakui kegagalan lebih awal dan bahwa kampanye NATO di Afghanistan gagal sejak awal yang didasarkan pada ancaman yang dilebih-lebihkan dan ide-ide geopolitik yang tidak diartikan dengan baik.[17]
Media yang dijalankan pemerintah di Tiongkok membandingkan situasi di Afganistan dengan hubungan Amerika Serikat dengan Taiwan. Media itu mempertanyakan komitmen Amerika Serikat untuk mempertahankan Taiwan jika Tiongkok memutuskan untuk mengambil alih Taiwan yang diklaim sebagai provinsi milik Tiongkok dengan paksa.[18]
|url-status=