Malaysia terletak di jalur laut strategis yang menghadapkannya ke perdagangan global, dan berbagai kebudayaan. Sebenarnya, nama “Malaysia” adalah konsep modern, dan dibuat pada paruh kedua abad ke-20. Namun, kontemporer Malaysia menganggap seluruh sejarah Malaya dan Borneo, yang membentang ribuan tahun yang lalu ke zaman prasejarah, sebagai sejarahnya sendiri, dan oleh karena itu, dibahas di halaman ini.
Catatan Barat tentang awal daerah ini terdapat di buku Ptolemy, Geographia, yang menyebutkan "Golden Khersonese" (Semenanjung Emas), dan sekarang diidentifikasi sebagai Semenanjung Malaya.[1]Hindu dan Buddha yang berasal dari India dan Tiongkok mendominasi sejarah regional awal, dan mencapai puncaknya selama pemerintahan peradaban Sriwijaya yang berbasis di Sumatra, yang di mana pengaruhnya meluas hingga ke Sumatra, Jawa Barat, Borneo Timur dan Semenanjung Malaya dari abad ke-7 hingga ke-13.
Meskipun Muslim telah memasuki Semenanjung Malaya pada awal abad ke-10, baru pada abad ke-14, Islam pertama kali memantapkan dirinya. Adopsi Islam pada abad ke-14 telah memunculkan beberapa kesultanan, dan yang paling menonjol adalah Kesultanan Malaka dan Kesultanan Brunei. Islam memiliki pengaruh besar pada suku Melayu dan sebagian besar telah dipengaruhi oleh mereka. Portugis adalah kekuatan kolonial pertama yang memantapkan diri mereka di Semenanjung Malaya dan Asia Tenggara, merebut Malaka pada tahun 1511, dan diikuti oleh Belanda pada tahun 1641. Namun, Inggris, yang awalnya membangun pangkalan di Jesselton, Kuching, Penang, dan Singapura, akhirnya dapat mengamankan hegemoni mereka di seluruh wilayah yang sekarang disebut Malaysia. Perjanjian Inggris-Belanda 1824 mendefinisikan batas-batas antara Malaya Britania dan Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Di sisi lain, Perjanjian Inggris-Siam 1909 mendefinisikan batas-batas antara Malaya Britania dan Siam (sekarang Thailand). Fase keempat pengaruh asing adalah imigrasi pekerja Tionghoa dan India untuk memenuhi kebutuhan yang diciptakan oleh ekonomi kolonial di Semenanjung Malaya dan Borneo.[2]
Invasi Jepang selama Perang Dunia II mengakhiri kekuasaan Britania di Malaya. Pendudukan Malaya, Borneo Utara, dan Sarawak berikutnya dari tahun 1942 hingga 1945 melepaskan gelombang nasionalisme. Setelah Jepang di Malaya menyerah karena dikalahkan oleh Sekutu, Uni Malaya didirikan pada tahun 1946 oleh pemerintah Britania tetapi setelah ditentang oleh etnis Melayu, uni itu direorganisasi sebagai Federasi Malaya pada tahun 1948 dan dijadikan sebagai negara protektorat hingga tahun 1957. Di Semenanjung, Partai Komunis Malaya mengangkat senjata melawan Britania, dan ketegangan mengarah pada deklarasi pemerintahan darurat selama 12 tahun dari tahun 1948 hingga 1960. Tanggapan militer yang serius terhadap pemberontakan komunis serta Perundingan Baling pada tahun 1955, mengarah pada pembentukan kemerdekaan untuk Malaya pada tanggal 31 Agustus 1957 melalui negosiasi diplomatik oleh Britania. Tunku Abdul Rahman menjadi Perdana Menteri pertama Malaysia. Pada tahun 1960, penghentian darurat terjadi ketika ancaman komunis menurun dan penarikan mereka ke perbatasan antara Malaya dan Thailand.
Pada tanggal 16 September 1963, Federasi Malaya dibentuk setelah penggabungan Federasi Malaya, Singapura, Sarawak, dan Borneo Utara (Sabah). Sekitar dua tahun kemudian, Parlemen Malaysia mengeluarkan RUU tanpa persetujuan penandatanganan Perjanjian Malaysia 1963 untuk memisahkan Singapura dari Federasi.[3]Konfrontasi dengan Indonesia terjadi pada awal 1960-an. Kerusuhan Rasial pada tahun 1969 membawa ke pengenaan aturan darurat, penangguhan parlemen, pembentukan Majelis Gerakan Negara (MAGERAN), dan proklamasi Rukun Negara oleh MAGERAN pada tahun 1970 yang menjadi filosofi nasional dalam mempromosikan persatuan di antara warga negara.[4][5]Kebijakan Ekonomi Baru juga diadopsi pada tahun 1971 dan digunakan hingga tahun 1991 yang gunanya untuk memberantas kemiskinan dan merestrukturisasi masyarakat untuk menghilangkan identifikasi ras dengan fungsi ekonomi.[6] Kebijakan ini dilanjutkan dengan Kebijakan Pembangunan Nasional dari tahun 1991 hingga 2000.
Sejak 1970, koalisi Barisan Nasional yang dipimpin oleh Organisasi Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO) telah memerintah Malaysia hingga kekalahannya dalam pemilihan umum Malaysia 2018 dari koalisi Pakatan Harapan. Mahathir Mohamad, yang pertama kali menjabat sebagai Perdana Menteri dari tahun 1981 hingga 2003, dikenal atas berbagai kebijakan dan proyek yang mengubah wajah Malaysia. Di bawah kepemimpinannya, Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat melalui kebijakan industri dan modernisasi. Mahathir memperkenalkan berbagai proyek besar seperti Menara Kembar Petronas, sistem jalan tol, dan Koridor Raya Multimedia, yang semuanya bertujuan menjadikan Malaysia sebagai negara maju.
Pada tahun 2015, Perdana Menteri Malaysia saat itu, Najib Razak dituduh menyalurkan lebih dari RM 2,67 Miliar (sekitar USD 700 juta) ke rekening bank pribadinya dari 1Malaysia Development Berhad (1MDB), sebuah perusahaan pengembangan strategis yang dikelola pemerintah dan didalangi oleh Low Taek Jho.[7] Pencabutan dakwaan memicu kemarahan yang meluas di kalangan rakyat Malaysia,[8] dengan banyak yang menyerukan pengunduran diri Najib Razak. Di antara kritikus Najib ialah politisi Mahathir Mohamad,[9] yang kemudian mengalahkan Najib dalam pemilihan umum 2018 dan kembali berkuasa.
Kapak genggam batu dari hominoid awal, kemungkinan Homo Erectus, telah ditemukan di Lenggong. Mereka berasal dari 1,83 juta tahun yang lalu, bukti tertua tempat tinggal hominid di Asia Tenggara.[10] Bukti paling awal dari tempat tinggal manusia modern di Malaysia adalah tengkorak berusia 40.000 tahun yang digali dari Gua Niah di Sarawak saat ini, yang dijuluki "Tengkorak Dalam". Itu digali dari parit dalam yang ditemukan oleh Barbara dan Tom Harrison (seorang etnolog Britania) pada tahun 1958.[11][12][13] Ini juga merupakan tengkorak manusia modern tertua di Asia Tenggara.[14] Tengkorak itu mungkin milik seorang gadis remaja berusia 16 hingga 17 tahun.[15] Para pemburu pertama mengunjungi Mulut Barat Gua Niah (terletak 110 kilometer (68 mil) barat daya Miri)[12] 40.000 tahun yang lalu ketika Borneo terhubung dengan daratan Asia Tenggara. Pemandangan di sekitar Gua Niah lebih kering dan lebih terbuka daripada sekarang. Secara prasejarah, Gua Niah dikelilingi oleh kombinasi hutan tertutup dengan semak belukar, taman, rawa, dan sungai. Para pemburu dapat bertahan hidup di hutan hujan melalui berburu, memancing, dan mengumpulkan moluska serta tanaman yang dapat dimakan.[15] Situs pemakaman Mesolitikum dan Neolitikum juga telah ditemukan di daerah tersebut.[16] Daerah di sekitar Gua Niah telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Niah.[17]
Sebuah studi tentang genetika Asia menunjukkan gagasan bahwa manusia asli di Asia Timur berasal dari Asia Tenggara.[18] Kerangka lengkap tertua yang ditemukan di Malaysia adalah Manusia Perak berusia 11.000 tahun yang digali pada tahun 1991.[19] Kelompok pribumi di semenanjung dapat dibagi menjadi tiga etnis, Negrito, Senoi, dan proto-Melayu.[20] Penghuni pertama Semenanjung Malaya kemungkinan besar adalah Orang Negrito.[21] Para pemburu Mesolitikum ini kemungkinan merupakan nenek moyang dari Semang, kelompok etnis Negrito yang memiliki sejarah panjang di Semenanjung Malaya.[22]
Suku Senoi tampaknya merupakan kelompok komposit, dengan kira-kira setengah dari garis keturunan DNA Mitokondria ibu menelusuri kembali ke nenek moyang Semang, dan sekitar setengah dari migrasi leluhur kemudian dari Indochina. Para ahli berpendapat bahwa mereka adalah keturunan dari ahli pertanian berbahasa Austroasiatik awal, yang membawa bahasa dan teknologi mereka ke bagian selatan semenanjung sekitar 4.000 tahun yang lalu. Mereka bersatu dan bergabung dengan penduduk asli.[23]
Proto Melayu memiliki asal usul yang lebih beragam[24] dan telah menetap di Malaysia pada 1000 SM sebagai akibat dari ekspansi Austronesia.[25] Meskipun mereka menunjukkan beberapa hubungan dengan penduduk lain di Maritim Asia Tenggara, beberapa juga memiliki nenek moyang di Indochina sekitar waktu Maksimum Glasial Terakhir sekitar 20.000 tahun yang lalu. Antropolog mendukung gagasan bahwa Proto-Melayu berasal dari tempat yang sekarang disebut Yunnan, Tiongkok.[26] Hal ini diikuti oleh penyebaran Holosen awal melalui Semenanjung Malaya ke Kepulauan Melayu.[27] Sekitar 300 SM, mereka didorong ke daratan oleh Deutero-Melayu, orang Zaman Besi atau Zaman Perunggu yang sebagian diturunkan dari Suku Cham Kamboja dan Vietnam. Kelompok pertama di semenanjung yang menggunakan peralatan logam, Deutero-Melayu adalah nenek moyang langsung dari Melayu Malaysia saat ini, dan membawa serta teknik pertanian yang canggih.[22] Orang Melayu tetap terfragmentasi secara politik di seluruh kepulauan Melayu, meskipun budaya dan struktur sosial yang umum dimiliki bersama.[28]
Kerajaan Hindu-Buddha Awal
Pada milenium pertama Masehi, Melayu menjadi etnis yang dominan di semenanjung. Negara-negara kecil awal yang didirikan sangat dipengaruhi oleh budaya India, seperti sebagian besar Asia Tenggara.[30]Pengaruh India di wilayah tersebut setidaknya sudah ada sejak abad ke-3 SM. Budaya India Selatan disebarkan ke Asia Tenggara oleh dinasti Pallawa India selatan pada abad ke-4 dan ke-5.[31]
Perdagangan dengan India dan Tiongkok
Dalam literatur India kuno, istilah Suvarnadvipa (Semenanjung Emas) digunakan dalam Ramayana, dan beberapa berpendapat bahwa itu mungkin merujuk ke Semenanjung Malaya. Teks India kuno, Vayu Purana juga menyebutkan sebuah tempat bernama Malayadvipa di mana tambang emas dapat ditemukan, dan istilah ini telah diusulkan yang merujuk kemungkinan berarti Sumatra dan Semenanjung Malaya.[32] Semenanjung Malaya ditampilkan di petaPtolemy sebagai Golden Khersonese. Ia menyebut Selat Malaka sebagai Sinus Sabaricus.[33]
Hubungan dagang dengan Tiongkok dan India telah terjalin pada abad ke-1 SM.[34] Pecahan tembikar Tiongkok telah ditemukan di Borneo yang berasal dari abad ke-1 setelah ekspansi Dinasti Han ke selatan.[35] Pada abad-abad awal milenium pertama, orang-orang di Semenanjung Malaya menganut agama India yaitu Hindu dan Buddha, agama-agama yang berpengaruh besar terhadap bahasa dan budaya mereka yang tinggal di Malaysia.[36] Sistem penulisan Sansekerta digunakan sejak abad ke-4.[37]
Ada banyak kerajaan Melayu pada abad ke-2 dan ke-3, sebanyak 30 kerajaan, terutama yang berbasis di sisi timur semenanjung Malaya.[30] Di antara kerajaan paling awal yang diketahui berbasis di Semenanjung Malaya adalah kerajaan kuno Langkasuka, yang terletak di Semenanjung Malaya bagian utara dan berbasis di suatu tempat di pantai barat.[30] Itu terkait erat dengan Funan di Kamboja, yang juga menguasai bagian utara Malaysia hingga abad ke-6. Pada abad ke-5, Kerajaan Pahang disebutkan dalam Kitab Song. Menurut Sejarah Melayu ("Sulalatus Salatin"), pangeran Khmer, Raja Ganji Sarjuna mendirikan kerajaan Gangga Negara (sekarang Beruas, Perak) pada tahun 700-an. Kronik Tiongkok dari abad ke-5 M berbicara tentang sebuah pelabuhan besar di selatan yang disebut Guantoli, yang diperkirakan berada di Selat Malaka. Pada abad ke-7, sebuah pelabuhan baru yang disebut Shilifoshi disebutkan, dan ini diyakini sebagai terjemahan bahasa Tionghoa dari Sriwijaya.[butuh rujukan]
Gangga Negara
Gangga Negara diyakini sebagai kerajaan Hindu semi-legendaris yang hilang, dan disebutkan dalam Sejarah Melayu yang mencakup Beruas, Dinding, dan Manjung saat ini di negara bagian Perak, Malaysia dengan Raja Gangga Syah Johan sebagai salah satu rajanya. Gangga Negara berarti "sebuah kota di Sungai Gangga" dalam bahasa Sansekerta,[38] dan merupakan nama yang berasal dari Ganganagar di barat laut India, di mana masyarakat Kambuja mendiami.[butuh rujukan] Para peneliti percaya bahwa kerajaan tersebut berpusat di Beruas. Sejarah Melayu lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa yang disebut juga sebagai Sejarah Kedah, menyebut bahwa Gangga Negara mungkin didirikan oleh putra Merong Mahawangsa, Raja Ganji Sarjuna dari Kedah, paling lambat pada abad ke-2. Raja Ganji Sarjuna diduga sebagai keturunan Alexander Agung atau oleh keluarga kerajaan Khmer.[butuh rujukan]
Penelitian pertama tentang kerajaan Beruas dilakukan oleh Kolonel James Low pada tahun 1849, dan seabad kemudian, dilanjutkan oleh H.G. Quaritch Wales. Menurut Departemen Museum dan Purbakala, kedua peneliti sepakat bahwa kerajaan Gangga Negara muncul di antara abad ke-1 hingga ke-11, tetapi tidak dapat memastikan lokasi tepatnya.[39] Selama bertahun-tahun, penduduk desa telah menggali artefak yang diyakini berasal dari kerajaan kuno, yang sebagian besar saat ini dipajang di Museum Beruas. Artefak yang dipamerkan antara lain meriam seberat 128 kg, pedang, keris, koin, timah batangan, tembikar dari Dinasti Ming, dan dari berbagai era lainnya, serta guci besar. Artefak-artefak tersebut berasal dari abad ke-5 dan ke-6.[40]
Kedah Tua
Di Kedah, ada peninggalan yang menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha yang telah dikenal selama sekitar satu abad dari penemuan yang dilaporkan oleh Kol. Low, dan baru-baru ini menjadi sasaran penyelidikan yang cukup lengkap oleh Quaritch Wales. Wales menyelidiki setidaknya 30 situs di sekitar Kedah.[butuh rujukan]
Sebuah bar batu bertulis yang berbentuk persegi panjang, memuat formula ye-dharmma dalam aksara Pallawa pada abad ke-7. Isinya menyatakan karakter Buddhis dari kuil, yang di mana ruang bawah tanah pada kuil tersebut masih bertahan.[butuh rujukan]
Antara abad ke-7 dan ke-13, sebagian besar Semenanjung Malaka berada di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Lokasi pusat Sriwijaya diperkirakan berada di muara sungai, tepatnya di Sumatra bagian timur, dan lokasi ini sekarang disebut Palembang, di Indonesia.[41] Selama lebih dari enam abad, Maharaja Sriwijaya telah memerintah sebuah kerajaan maritim yang menjadi kekuatan utama di Nusantara. Kerajaan ini berbasis di sektor perdagangan, dengan raja-khaja lokal "pekon" (dhatu atau tokoh masyarakat), bersumpah setia kepada penguasa tertinggi di tingkat pusat demi keuntungan bersama. Kedatuan dengan sebutan lain sebagai keratuan pada abad ke-13 Masehi dengan raja terahir Sriwijaya Ratu Sekerummong Monarki dari tahun 1280 M hingga 1288 Masehi pada tahun 1289 M kerajaan maritim tersebut dengan lafal kepaksian.[42]
Hubungan antara Sriwijaya dan Kerajaan Chola di India Selatan bersahabat pada masa pemerintahan Raja Raja Chola I, tetapi pada masa pemerintahan Rajendra Chola I, Kerajaan Chola menyerbu kota-kota Sriwijaya.[43] Pada tahun 1025 dan 1026, Gangga Negara diserang oleh Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola, raja Tamil yang kini diperkirakan telah menghancurkan Kota Gelanggi. Kedah (dikenal sebagai Kadaram dalam bahasa Tamil) diserbu oleh Chola pada tahun 1025. Invasi kedua dipimpin oleh Virarajendra Chola dari dinasti Chola, yang di mana dia berhasil menaklukkan Kedah pada akhir abad ke-11.[44] Penerus senior Chola, Vira Rajendra Chola, harus menumpas pemberontakan Kedah untuk menggulingkan penyerbu lainnya. Kedatangan Chola telah mengurangi keagungan Sriwijaya, yang di mana Sriwijaya telah memberikan pengaruh atas Kedah, Pattani, hingga ke Ligor. Selama pemerintahan Kulothunga Chola I, kekuasaan Chola didirikan di atas Kedah, provinsi Sriwijaya pada akhir abad ke-11.[45] Ekspedisi para Raja Chola memiliki kesan yang begitu besar kepada rakyat Melayu pada periode abad pertengahan sehingga nama mereka disebutkan dalam bentuk yang buruk sebagai Raja Chulan, seperti yang dinyatakan dalam kronik Melayu abad pertengahan, Sejarah Melayu.[46][47][48] Bahkan hingga hari ini, pemerintahan Chola tetap dikenang di Malaysia karena banyak pangeran Malaysia memiliki nama yang diakhiri dengan Cholan atau Chulan, salah satunya adalah Raja Perak yang dipanggil dengan nama Raja Chulan.[49][50]
Pattinapalai, sebuah puisi Tamil pada abad ke-2 M, menggambarkan barang-barang dari Kadaram yang ditumpuk di jalanan lebar ibukota Chola. Sebuah drama India pada abad ke-7, Kaumudhimahotsva, menyebut Kedah sebagai Kataha-nagari. Agnipurana juga menyebutkan sebuah wilayah yang dikenal sebagai Anda-Kataha dengan salah satu batasnya dibatasi oleh sebuah puncak. Para sarjana meyakini bahwa puncak tersebut adalah Gunung Jerai. Kisah-kisah dari Katasaritasagaram menggambarkan kehidupan yang anggun di Kataha. Kerajaan Buddha, yaitu Kerajaan Ligor mengambil alih Kedah tak lama setelah itu. Raja Chandrabhanu menggunakannya sebagai pangkalan untuk menyerang Sri Lanka pada abad ke-11, dan memerintah bagian utara; peristiwa tersebut tercatat dalam prasasti batu di Nagapattinum, tepatnya di Tamil Nadu, dan dalam kronik Sri Lanka, Mahawamsa.[butuh rujukan]
Kemunduran dan pembubaran Sriwijaya
Kadang kala, kerajaan Khmer, kerajaan Siam, dan bahkan kerajaan Chola mencoba menguasai negara-negara Melayu yang lebih kecil.[30] Kekuasaan Sriwijaya mulai menurun sejak abad ke-12 karena hubungan antara ibukota, dan pengikutnya terputus. Peperangan dengan Jawa menyebabkan Sriwijaya meminta bantuan dari Tiongkok, dan peperangan dengan negara-negara India juga dicurigai. Pada abad ke-11, pusat kekuasaan bergeser ke Malayu, sebuah pelabuhan yang mungkin letaknya lebih jauh di pesisir Sumatra dekat Sungai Jambi.[42] Kekuasaan Maharaja Buddha tersebut semakin menurun oleh penyebaran Islam. Daerah-daerah yang masuk Islam lebih awal, seperti Aceh, memisahkan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Pada akhir abad ke-13, raja-raja Siam dari Kerajaan Sukhothai telah menguasai sebagian besar Malaya di bawah kekuasaan mereka. Pada abad ke-14, kerajaan Majapahit menguasai semenanjung tersebut.[41]
Penggalian yang dilakukan oleh Tom Harrisson pada tahun 1949 menemukan serangkaian keramik Tiongkok di Santubong (dekat Kuching) yang berasal dari dinasti Tang dan Song. Ada kemungkinan bahwa Santubong adalah pelabuhan penting di Sarawak selama periode tersebut, tetapi kepentingannya menurun selama Dinasti Yuan, dan pelabuhan tersebut kosong selama Dinasti Ming.[51] Situs arkeologi lainnya di Sarawak dapat ditemukan di dalam distrik Kapit, Song, Serian, dan Bau di Sarawak.[52]
Menurut Sejarah Melayu, seorang penguasa baru bernama Sang Sapurba dipromosikan sebagai mandala Sriwijaya yang baru. Konon, setelah naik tahta ke Bukit Seguntang bersama kedua adik laki-lakinya, Sang Sapurba mengadakan perjanjian suci dengan Demang Lebar Daun, penguasa asli Palembang.[53] Penguasa yang baru dilantik tersebut kemudian turun dari bukit Seguntang ke dataran besar Sungai Musi, di mana ia menikahi Wan Sendari, putri dari kepala daerah, Demang Lebar Daun. Sang Sapurba dikatakan pernah memerintah di tanah Minangkabau.
Pada tahun 1324, pangeran Sriwijaya yang bernama Sang Nila Utama mendirikan Kerajaan Singapura (Temasek). Menurut tradisi, Sang Nila Utama memiliki hubungan dengan Sang Sapurba. Sang Nila Utama memegang kendali atas Temasek selama 48 tahun. Sang Nila Utama diakui sebagai penguasa atas Temasek oleh utusan Kaisar Tiongkok pada sekitar tahun 1366. Ia kemudian digantikan oleh putranya, Paduka Sri Pekerma Wira Diraja (1372–1386), dan kemudian oleh cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386–1399). Pada tahun 1401, penguasa terakhir, Paduka Sri Maharaja Parameswara, diusir dari Temasek oleh pasukan dari Majapahit atau Ayutthaya. Ia kemudian menuju ke utara, dan mendirikan Kesultanan Malaka pada tahun 1402.[54]:245–246 Kesultanan Malaka berhasil menggantikan Kerajaan Sriwijaya sebagai entitas politik Melayu di Nusantara.[55][56]
Kebangkitan negara-negara Muslim
Islam masuk ke Kepulauan Melayu melalui para pedagang Arab dan India pada abad ke-13, dan sekaligus mengakhiri zaman Hindu-Buddha.[57] Islam tiba di wilayah tersebut secara bertahap, dan menjadi agama para elit setempat sebelum menyebar ke rakyat jelata. Bentuk sinkretis Islam di Malaysia dipengaruhi oleh agama-agama sebelumnya, dan pada mulanya tidak ortodoks.[30]
Kesultanan Malaka
Pembentukan
Pelabuhan Malaka di pesisir barat Semenanjung Malaya didirikan pada tahun 1400 oleh Parameswara, seorang pangeran Sriwijaya yang melarikan diri dari Temasek (sekarang Singapura).[30] Parameswara secara khusus berlayar ke Temasek untuk menghindari penganiayaan. Di sana, ia berada di bawah perlindungan Temagi, seorang kepala suku Melayu dari Patani, yang diangkat oleh raja Siam sebagai bupati Temasek. Dalam beberapa hari, Parameswara membunuh Temagi, dan mengangkat dirinya sendiri menjadi bupati. Sekitar lima tahun kemudian, ia terpaksa harus meninggalkan Temasek karena ancaman dari Siam. Selama periode ini, armada Jawa dari Majapahit menyerang Temasek.[butuh rujukan]
Parameswara menuju ke utara untuk menemukan pemukiman baru. Di Muar, Parameswara mempertimbangkan untuk menempatkan kerajaan barunya di Biawak Busuk atau di Kota Buruk. Menemukan bahwa lokasi Muar tidak sesuai, ia melanjutkan perjalanannya ke utara. Sepanjang jalan, ia dilaporkan mengunjungi Sening Ujong (nama sebelumnya dari Sungai Ujong sekarang) sebelum mencapai sebuah desa nelayan di muara Sungai Bertam (nama sebelumnya dari Sungai Melaka), dan mendirikan apa yang akan menjadi Kesultanan Malaka. Seiring waktu, kesultanan ini berkembang menjadi Kota Malaka modern. Menurut Sejarah Melayu, di tempat ini, Parameswara melihat seekor kancil sedang mengecoh seekor anjing yang sedang beristirahat di bawah pohon Malaka. Mengambil ini sebagai pertanda baik, ia memutuskan untuk mendirikan sebuah kerajaan bernama Malaka. Ia kemudian membangun, dan meningkatkan fasilitas untuk perdagangan. Kesultanan Malaka secara umum dianggap sebagai negara merdeka pertama di semenanjung.[58]
Pada tahun 1404, utusan perdagangan resmi Tiongkok pertama yang dipimpin oleh Laksamana Yin Qing tiba di Malaka. Kemudian, Parameswara dikawal oleh Cheng Ho, dan utusan lainnya dalam kunjungannya yang sukses. Hubungan Malaka dan Ming membuat Ming akhirnya memberikan perlindungan kepada Malaka dari serangan Siam dan Majapahit, dan Malaka secara resmi diserahkan sebagai protektoratMing Tiongkok. Hal ini mendorong berkembangnya Malaka menjadi pemukiman perdagangan utama di jalur perdagangan antara Tiongkok dan India, Timur Tengah, Afrika, serta Eropa.[60] Untuk mencegah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Siam dan Majapahit, Parameswara menjalin hubungan dengan Dinasti Ming dari Tiongkok untuk perlindungan.[61][62] Menyusul terjalinnya hubungan ini, kemakmuran entrepôt Malaka kemudian dicatat oleh pengunjung pertama dari Tiongkok, Ma Huan, yang sedang melakukan perjalanan bersama Laksamana Cheng Ho.[59][63] Di Malaka pada awal abad ke-15, Ming Tiongkok secara aktif berusaha mengembangkan pusat komersial, dan basis operasi untuk pelayaran harta karun mereka ke Samudra Hindia.[64] Pada awalnya, Malaka merupakan wilayah yang relatif tidak penting, bahkan tidak memenuhi syarat sebagai pemerintahan sebelum pelayaran mereka menurut Ma Huan dan Fei Xin, dan merupakan wilayah bawahan Siam.[64] Pada tahun 1405, istana Ming mengirim Laksamana Cheng Ho dengan sebuah lempengan batu yang dihiasi Gunung Bagian Barat Malaka, serta perintah kekaisaran untuk mengangkat status pelabuhan tersebut menjadi sebuah negara.[64] Tiongkok juga mendirikan depot pemerintah (官廠), sebagai benteng pertahanan bagi prajurit mereka.[64] Ma Huan melaporkan bahwa Siam tidak berani menginvasi Malaka setelahnya.[64] Para penguasa Malaka, seperti Parameswara pada tahun 1411, akan membayar upeti kepada kaisar Tiongkok secara langsung.[64]
Kaisar Dinasti Ming Tiongkok mengirimkan armada kapalnya untuk memperluas perdagangan. Laksamana Cheng Ho memanggil di Malaka, dan membawa Parameswara bersamanya sekembalinya ke Tiongkok, dan mengakui posisi Parameswara sebagai penguasa Malaka yang sah. Sebagai imbalan atas upeti regulernya, kaisar Tiongkok menawarkan perlindungan Malaka dari ancaman serangan dari Siam yang konstan. Karena letaknya yang strategis, Malaka menjadi tempat pemberhentian penting bagi armada Cheng Ho.[65] Karena keterlibatan Tiongkok, Malaka telah tumbuh sebagai alternatif utama bagi pelabuhan-pelabuhan penting lainnya.[a] Orang Tionghoa dan India yang menetap di Semenanjung Malaya sebelum dan selama periode ini adalah leluhur dari komunitas Baba-Nyonya dan Chitty saat ini. Menurut satu teori, Parameswara menjadi seorang Muslim ketika ia menikahi seorang Putri Pasai, dan dia mengambil gelar Persia "Syah", dan menyebut dirinya sebagai Iskandar Syah.[62] Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1414, putra penguasa pertama Malaka mengunjungi kaisar Ming untuk memberi tahu mereka bahwa ayahnya telah meninggal. Putra Parameswara kemudian secara resmi diakui sebagai penguasa kedua Malaka oleh Kaisar Tiongkok, dan bergelar Raja Sri Rama Vikrama, Raja Parameswara dari Temasek dan Malaka, dan ia dikenal oleh rakyat Muslimnya sebagai Sultan Sri Iskandar Zulkarnain Syah (Megat Iskandar Syah). Ia memerintah Malaka dari tahun 1414 hingga 1424.[66] Melalui pengaruh Muslim India, dan juga pada tingkat yang lebih rendah, yaitu orang Hui dari Tiongkok, Islam menjadi semakin umum selama abad ke-15.
Kebangkitan Malaka
Setelah awalnya membayar upeti kepada Ayutthaya,[30] kerajaan dengan cepat mengambil alih tempat yang sebelumnya dipegang oleh Sriwijaya, membangun hubungan independen dengan Tiongkok, dan memanfaatkan posisinya yang mendominasi Selat untuk mengendalikan perdagangan maritim Tiongkok-India, yang menjadi semakin penting ketika penaklukan Mongol menutup rute darat antara Tiongkok dengan barat.
Dalam beberapa tahun berdirinya, Malaka secara resmi memeluk Islam. Parameswara kemudian menjadi seorang Muslim, dan karena Malaka berada di bawah pemerintahan seorang pangeran Muslim, maka konversi orang Melayu ke Islam meningkat pesat pada abad ke-15.[41] Kekuatan politik Kesultanan Malaka membantu penyebaran Islam meningkat pesat ke seluruh Nusantara. Malaka merupakan pusat perdagangan dan komersial yang penting selama periode ini, dan mampu menarik perdagangan dari seluruh wilayah.[41] Pada awal abad ke-16, dengan Kesultanan Malaka di semenanjung Malaya dan sebagian Sumatra,[67]Kesultanan Demak di Jawa,[68] dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Kepulauan Melayu telah masuk Islam.[69] Islam telah menjadi agama dominan di kalangan orang Melayu, dan Islam akhirnya juga telah mencapai wilayah apa yang sekarang disebut Filipina, sehingga meninggalkan Bali sebagai satu-satunya pulau yang beragama Hindu hingga kini. Pemerintahan Malaka didasarkan pada sistem feodal.[70]
Pemerintahan Malaka berlangsung sedikit lebih dari satu abad, tetapi selama periode ini, Malaka telah menjadi pusat mapan budaya Melayu. Sebagian besar negara Melayu di masa depan berasal dari periode ini.[57] Malaka akhirnya menjadi pusat budaya, dan menciptakan matriks budaya Melayu modern: perpaduan unsur-unsur Melayu asli dengan budaya India, Tiongkok, serta Islam. Busana Malaka dalam sastra, seni, musik, tarian, dan pakaian, serta hiasan gelar istana kerajaannya, mulai dilihat sebagai standar bagi semua etnis Melayu. Istana Malaka juga memberikan prestise besar kepada bahasa Melayu, yang pada awalnya berkembang di Sumatra, dan dibawa ke Malaka pada saat pendiriannya. Belakangan ini, bahasa Melayu telah menjadi bahasa resmi semua negara bagian Malaysia, meskipun bahasa lokal masih bertahan di banyak tempat. Setelah kejatuhan Malaka, Kesultanan Brunei kemudian menjadi pusat utama agama Islam.[71][72]
Transformasi Malaysia setelah kemerdekaan
Sejak kemerdekaannya dari Inggris pada 31 Agustus 1957, Malaysia telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Di bawah kepemimpinan Tunku Abdul Rahman, yang dikenal sebagai "Bapak Kemerdekaan," Malaysia mencapai kemerdekaannya dan kemudian membentuk Federasi Malaysia pada tahun 1963 dengan menggabungkan Malaya, Sabah, Sarawak, dan Singapura (yang keluar pada tahun 1965).
Selama tahun-tahun awal kemerdekaan, Malaysia fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Pada tahun 1981, Mahathir Mohamad menjadi Perdana Menteri dan membawa era baru modernisasi dan industrialisasi. Di bawah kepemimpinannya, Malaysia bertransformasi dari negara agraris menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di Asia Tenggara. Salah satu simbol paling menonjol dari pembangunan era ini adalah Menara Kembar Petronas di Kuala Lumpur, yang selesai dibangun pada tahun 1998. Menara ini menjadi ikon kemajuan Malaysia dan salah satu bangunan tertinggi di dunia pada saat itu. Mahathir menjabat hingga tahun 2003 dan kembali sebagai Perdana Menteri dari tahun 2018 hingga 2020, terus mendorong kemajuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Sejak itu, Malaysia terus berkembang dengan fokus pada diversifikasi ekonomi, pembangunan teknologi, dan peningkatan kualitas hidup rakyatnya. Meskipun menghadapi tantangan politik dan ekonomi, negara ini tetap menjadi pemain penting di kawasan Asia Tenggara.
Catatan
^Pelabuhan utama di wilayah masing-masing termasuk Palembang di Selat Malaka, Kalikut di pesisir Malabar, dan Mombasa di Pesisir Swahili[64]
Referensi
^Imago Mvndi (dalam bahasa Inggris). Brill Archive. 1958.
^Annual Report on the Federation of Malaya: 1951 in C.C. Chin and Karl Hack, Dialogues with Chin Peng pp. 380, 81.
^"Niah Cave". humanorigins.si.edu. Smithsonian National Museum of Natural History. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 November 2013. Diakses tanggal 23 Maret 2015.
^R.H von Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slametmuljana and Asmah Haji Omar. A history of Malaya and her neighbours – Page 21 – by Francis Joseph Moorhead, published by Longmans of Malaysia, 1965 India and ancient Malaya (from the earliest times to circa A.D. 1400) – Page 3 – by D. Devahuti, Published by D. Moore for Eastern Universities Press, 1965 The making of modern Malaya: a history from earliest times to independence – Page 5 – by N. J. Ryan, Oxford University Press, 1965 The cultural heritage of Malaya – Page 2 – by N. J. Ryan published by Longman Malaysia, 1971 A history of Malaysia and Singapore – Page 5 – by N. J. Ryan published by Oxford University Press, 1976 "How the dominoes fell": Southeast Asia in perspective – Page 7 – by Mae H. Esterline, Hamilton Press, 1986 A design guide of public parks in Malaysia – Page 38 – by Jamil Abu Bakar published by Penerbit UTM, 2002, ISBN983-52-0274-5, ISBN978-983-52-0274-2 An introduction to the Malaysian legal system – Page 1 – by Min Aun Wu, Heinemann Educational Books (Asia), 1975 A short history of Malaysia – Page 22 – by Harry Miller published by F.A. Praeger, 1966 Malaya and its history – Page 14 – by Sir Richard Olaf Winstedt published by Hutchinson University Library, 1962 Southeast Asia, past & present – Page 10 – by D. R. SarDesai published by Westview Press, 1994 Malaya – Page 17 – by Norton Sydney Ginsburg, Chester F. Roberts published by University of Washington Press, 1958 Asia: a social study – Page 43 – by David Tulloch published by Angus and Robertson, 1969 Area handbook on Malaya University of Chicago, Chester F. Roberts, Bettyann Carner published by University of Chicago for the Human Relations Area Files, 1955 Thailand into the 80's – Page 12 – by Samnak Nāyok Ratthamontrī published by the Office of the Prime Minister, Kingdom of Thailand, 1979 Man in Malaya – Page 22 – by B. W. Hodder published by Greenwood Press, 1973 The modern anthropology of South-East Asia: an introduction, Volume 1 of The modern anthropology of South-East Asia, RoutledgeCurzon Research on Southeast Asia Series – Page 54 – by Victor T. King, William D. Wilder published by Routledge, 2003, ISBN0-415-29751-6, ISBN978-0-415-29751-6 Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society – Page 17 – by Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. Malaysian Branch, Singapore, 1936 Malay and Indonesian leadership in perspective – Page 9 – by Ahmad Kamar 1984 The Malay peoples of Malaysia and their languages – Page 36 – by Asmah Haji Omar published by Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1983 Encyclopedia of world cultures Volume 5 – Page 174 – by David Levinson – History – 1993 published by G.K. Hall, 1993 Indigenous peoples of Asia – Page 274 – by Robert Harrison Barnes, Andrew Gray, Benedict Kingsbury published by the Association for Asian Studies, 1995 Peoples of the Earth: Indonesia, Philippines and Malaysia edited by Edward Evan Evans-Pritchard published by Danbury Press, 1973 American anthropologist Vol 60 – Page 1228 – by American Anthropological Association, Anthropological Society of Washington (Washington, D.C.), American Ethnological Society, 1958 Encyclopaedia of Southeast Asia (set of 5 Vols.) – Page 4 – by Brajendra Kumar published by Akansha Publishing House, 2006, ISBN81-8370-073-X, ISBN978-81-8370-073-3
^ abcdefgKesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Marshall
^History of Humanity: From the seventh century B.C. to the seventh century A.D. by Sigfried J. de Laet p. 395
^Braddell, Roland (Desember 1937). "An Introduction to the Study of Ancient Times in the Malay Peninsula and the Straits of Malacca". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 15 (3 (129)): 64–126. JSTOR41559897.
^Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN978-0-8248-0368-1.
^ abcdefgSen, Tansen (2016). "The Impact of Zheng He's Expeditions on Indian Ocean Interactions". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 79 (3): 615–621. doi:10.1017/S0041977X16001038.
^"Demak". Britannica.com. 2011. Diakses tanggal 8 Oktober 2015.
^Anthony Reid, "Islamization and Christianization in Southeast Asia: the Critical Phase, 1550–1650". In Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief, ed. Anthony Reid. Ithaca, NY: Cornell University Press, pp.151–79
^"Dokumen Gazetir (Perak Darul Ridzuan – Sejarah)" [Gazette Document (Perak Darul Ridzuan – History)] (dalam bahasa Melayu). Geographical Names Database of Malaysia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 September 2019. Diakses tanggal 9 September 2019.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)