Kerajaan Marusu didirikan oleh Karaeng Loe Ripakere pada abad ke-15. Wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan wilayah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Wilayah Kerajaan Marusu tidak meluas dikarenakan raja-rajanya lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakatnya dibandingkan memperluas kekuasaan. Masyarakat Kerajaan Marusu terdiri dari Suku Bugis dan Suku Makassar.[2]
Kerajaan Marusu berbatasan dengan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo di selatan. Di utara, kerajaan ini berbatasan dengan Binanga Sangkara’ yang merupakan batas Kerajaan Siang. Di bagian timur, Kerajaan Marusu berbatasan dengan daerah pegunungan dan di bagian barat berbatasan dengan Selat Makassar.[1] Wilayah kekuasaan Kerajaan Marusu meliputi Lobbo Tangayya, Toddo limayya dan Gallarang Appaka. Wilayah Lobbo Tangayya merupakan pegunungan yang dimulai dari Pallawa hingga Cenrana. Wilayah Toddo Limayya meilputi Tanralili, Simbang, Bontoa, Turikale, dan Lau. Sedangkan wilayah Gallarang Appaka meliputi Kadieng, Sudiang, Biringkanaya, dan Tamalanrea. Batas wilayah Kerajaan Marusu dengan Kerajaan Tallo adalah Sungai Tallo.[4]
Kerajaan Marusu memiliki istana kerajaan yang bernama Rumah adat Balla Lompoa . Istana ini memiliki luas 600 m2 . Di sebelah barat istana terdapat Kompleks Makam Kassi Kebo dan di sisi timur merupakan permukiman keluarga istana Kerajaan Marusu. Pada bagian utara terdapat Masjid Kassi Kebo, sedangkan di bagian selatan adalah sungai. Pengelolaan istana ini diserahkan kepada keturunan dari bangsawan Kerajaan Marusu. Pada masa pemerintahan Kerajaan Marusu, istana ini menjadi kediaman bagi para raja. Awalnya istana ini berada di Pakare, tetapi dipindahkan ke Marusu, lalu ke Pakkasalo dan terkahir di Kassi Kebo.[6]
Rumah adat Balla Lompoa Karaeng Marusu menggunakan warna merah, kuning, putih, dan hijau sebagai warna utama pada bangunan. Keempat warna ini melambangkan unsur kehidupan yaitu tanah, api, air dan angin. Selain itu, warna putih juga melambangkan kesucian dan keadaan tidak memihak dari Kerajaan Marusu, sedangkan warna hijau melambangkan keislaman dan perdamaian dalam hubungan masyarakat.[7]
^Ilyas; et al. (September 2018). Jaringan Ulama Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Awal Abad XX(PDF). Makassar: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar. hlm. 212. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2020-06-19. Diakses tanggal 2020-08-30.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link)