Hubungan Tiongkok–Jepang (Hanzi sederhana: 中日关系; Hanzi tradisional: 中日關系; Pinyin: Zhōngrì guānxì; Jepang: 日中関係史 Nitchūkankeishi) secara geografi dipisahkan oleh Laut Tiongkok Timur. Jepang mendapatkan pengaruh yang kuat dari Tiongkok pada bahasanya, arsitekturnya, budayanya, agamanya, filsafatnya, dan hukumnya. Ketika negara-negara Barat seperti Britania Raya dan Amerika Serikat memaksa Jepang untuk membuka perdagangan pada pertengahan abad ke-19, Jepang yang mengalami modernisasi (Restorasi Meiji), memandang Tiongkok sebagai sebuah masyarakat yang kuno, yang bertentangan dengan keadaan ketika Tiongkok dapat mempertahankan diri mereka sendiri dari pasukan Barat saat Perang Candu Pertama dan Kedua dan Ekspedisi Inggris-Prancis dari 1860an sampai 1880an.
Ekonomi Tiongkok dan Jepang masing-masing menjadi ekonomi kedua dan keempat terbesar di dunia. Pada 2008, perdagangan Tiongkok-Jepang tumbuh menjadi $266.4 miliar, meningkat 12.5 persen pada 2007, membuat Tiongkok dan Jepang menjadi mitra perdagangan dua jalur teratas. Tiongkok juga menjadi tujuan terbesar untuk barang-barang ekspor Jepang pada 2009.
Menurut Jajak Pendapat Pelayanan Dunia BBC 2014, 3% orang Jepang memandang pengaruh Tiongkok secara positif, dengan 73% mengekspresikan pandangan negatif, menjadikannya persepsi negatif terhadap Tiongkok terbanyak di dunia, sementara 5% orang Tiongkok memandang pengaruh Jepang secara positif, dengan 90% mengekspresikan pandangan negatif, menjadikannya perspektif negatif terhadap Jepang terbanyak di dunia.[1]
Perdana Menteri Taro Aso (ASEM di Beijing)
Perdana Menteri Wen Jiabao (KTT Trilateral Jepang-Tiongkok-Korsel di Fukuoka)