Hanasbey adalah sub-suku dan marga dari orang Enggros dan Tobati yang mendiami pesisir Teluk Youtefa di Kota Jayapura.[1] Mereka tinggal di Kampung Ria, Pulau Enamoh, yang kini dikenal dengan nama Kampung Tobati. Masyarakat Hanasbey umumnya berprofesi sebagai nelayan. Selain nelayan, mereka juga bercocok tanam di perkebunan sekitar Teluk Youtefa.[2]
Mereka memiliki rumah adat yang khas, yang disebut rumah Kariwari. Rumah adat ini digunakan sebagai sarana untuk menunjang kehidupan masyarakat. Rumah ini dipenuhi hiasan dari berbagai macam karya seni serta ukiran-ukiran yang indah di pasang rapi bergantungan di dinding-dinding karwari sampai di bubungan. Salah satu rumah adat kariwari yang terkenal waktu itu bernama Homan Man. Kariwari tersebut dihiasi dengan macam-macam kulit bia (siput), ukiran-ukiran terpilih serta hiasan dari akar bahar yang disebut ninyau. Pada zaman sekarang, ninyau digunakan oleh masyarakat Enggros, Nafri, dan Tobati untuk kepentingan upacara adat dan tari-tarian adat daerahnya masing-masing, pusat pendidikan tradisional, dimana segala macam jenis pembinaan masyarakat diselenggarakan untuk kepentingan marga tersebut.[2]
Cerita rakyat
Banyak peristiwa yang dialami oleh marga Hanasbey, baik dalam arti positif maupun yang menyedihkan. Ada dua peristiwa tragis yang menimpa kampung marga Hanasbey dengan kariwarinya pada zaman dahulu. Peristiwa pertama terjadi karena ulah tokoh masyarakat lain yang tidak menyukai keberhasilan marga Hanasbey. Maka melalui seorang ahli ilmu hitam, tokoh masyarakat tersebut meminta agar rumah-rumah karwari dan kampung marga Hanasbey dihancurkan. Imbalan yang diberikan adalah manik-manik Syar Teranyo. Setelah imbalan diberikan, dengan kekuatan ilmu hitamnya ia memanggil burung elang raksasa. Burung elang tersebut diperintahkan untuk mengambil atau mengangkat atap-atap kariwari kemudian dibawa terbang kearah timur. Namun dipertengahan pantai Holtekamp, elang tersebut merasa berat dan melepaskan beban yang dibawanya, maka ia kemudian melepaskan atap-atap kariwari itu ke laut, yang kemudian secara ajaib berubah menjadi batu-batu karang yang kemudian diberi nama Hefufuk Seahar. Setelah itu burung elang kembali ke kampung marga Hanasbey untuk mengangkat atap-atap yang masih tersisa, kemudian dijatuhkan ditempat yang sama.[2] Keseharian masyarakat Hanasbey menggunakan bahasa yang hampir sama dengan masyarakat suku Tobati lainnya, yakni menggunakan bahasa Tobati dan bahasa Indonesia.[3]
Distribusi
Marga Hanasbey mendiami pesisir Teluk Youtefa yang termasuk kedalam wilayah administratif Kota Jayapura, tepatnya di distrik Jayapura Selatan. Tanah adat marga Hanasbey memiliki luas 940.000 ha dan terdiri dari 2 kampung, yakni kampung Tobati dan Tahima Soroma dengan jumlah penduduk yang mendiaminya berjumlah 66.937 jiwa berdasarkan sensus 2010.[4]
Marga Hanasbey memiliki rumah adat yang disebut sebagai rumah Kariwari, yakni rumah adat yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan marga Hanasbey, salah satunya pendidikan adat. Rumah kariwari hanya digunakan oleh kaum laki-laki, biasanya saat sang anak berusia 12 tahun, selain itu perempuan juga tidak diperbolehkan untuk masuk dalam area rumah Kariwari. Pendidikan di rumah kariwari berlangsung berlangsung selama lima bulan dan selama berjalannya pendidikan tersebut maka tidak diizinkan keluarga untuk berkunjung dan apabila selama lima bulan berjalan namun terkendala sakit atau meninggal, keluarga hanya boleh mendengar kabar saja dan tidak perbolehkan untuk melihat jasad saudara mereka yang meninggal tersebut.[5][6]
Di rumah kariwari, diajarkan tentang ilmu untuk berperang, membuat panah, mengobati orang sakit, meminta hujan, guntur dan cara menghentikannya, serta diajarkan juga cara berburu secara tradisional. Setelah pendidikan dinyatakan berhasil, maka keluarga mereka akan melakukan upacara pembebasan untuk anak atau saudara mereka yang sudah berhasil mengikuti pendidikan tersebut namun yang berhak melakukan upacara tersebut adalah wanita-wanita yang sudah berusia tua dari saudara laki-laki yang mengikuti pendidikan tersebut.[6] Kini bentuk rumah adat kariwari menjadi ikon penting beberapa bangunan di Papua, antara lain di Bandar Udara Dortheys Hiyo Eluay dan Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo.