Tionghoa Aceh

Sebuah Vihara di Banda Aceh

Tionghoa Aceh (atau disebut Cina Aceh) merupakan etnis Tionghoa yang tinggal di wilayah Aceh. Terdapat sebuah organisasi khusus etnis Tionghoa di Aceh yang bernama Yayasan Hakka Aceh. Aceh sendiri juga memiliki sebuah Pecinan yang bernama Peunayong.[1] Terdapat pula 4 wihara/kelenteng yang berdiri di Aceh.[2]

Sejarah

Menurut literatur yang ada, masuknya etnis Tionghoa ke Banda Aceh telah terjadi sejak abad ke-17. Aceh dan Tiongkok memiliki hubungan yang baik. Mereka datang ke Aceh pada awalnya sebagai pedagang musiman. Kemudian mereka menetap dan menjadi pedagang permanen.[3]

Etnis Cina yang datang ke Aceh mulanya menetap di Pelabuhan yang tidak jauh dari Peunayong. Lalu mereka memilih untuk menetap berdagang secara permanen di Peunayong.[4]

Peunayong Pecinan di Aceh

Peunayong merupakan salah satu pusat perdagangan di Kota Banda Aceh,Peunayong disebut juga dengan China Town-nya Aceh. Menurut catatan sejarah Aceh, nama Peunayong berasal dari bahasa Aceh yang artinya memayungi. Daerah ini dulunya dihuni beragam etnis. Mulai dari Tionghoa, Persia dan India. Tapi mayoritas Tionghoa lebih banyak, hingga saat ini berada di daerah tersebut.[5]

Peunayong di zaman Hindia Belanda.

Peunayong adalah wilayah kota tertua di Banda Aceh. Didesain Belanda sebagai Chinezen Kamp (tenda) atau Pecinan. Peunayong dihuni warga Tionghoa Hakka, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian dan sub-etnis lainnya. Kegiatan perdagangan di kawasan tersebut, cukup menonjol. Karena berdagang merupakan mata pencaharian utama suku Cina, yang umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis.

Lonceng Cakra Donya, merupakan hadiah simbol persahabatan dari Kaisar Yongle Dinasti Ming yang diserahkan oleh Laksamana Cheng Ho kepada Kesultanan Samudera Pasai[6]

Pada masa Sultan Iskandar Tsani, ibukota kerajaan dibangun Taman Ghairah, satu taman tempat bercengkerama keluarga sultan. Di taman itu, juga dibagun balai Cina, yang dibuat para pekerja Tionghoa. Barulah pada abad ke-17, orang-orang Tionghoa di Banda Aceh banyak berperan dalam perdagangan. Mereka, menempati rumah yang berdekatan satu sama lainnya di salah satu ujung kota di dekat laut dan daerah mereka itu saat ini dinamakan Kampung Cina.[7]

Menurut catatan sejarah, para pedagang termasuk pedagang dari Tiongkok, selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh, ada juga pedagang musiman. Pedagang itu datang dengan kapal layar. Kapal-kapal Tiongkok membawa beras ke Aceh. Mereka tinggal dalam perkampungan Tionghoa, di ujung kota dekat pelabuhan. Mereka menurunkan barangnya di pelabuhan untuk selanjutnya didistribusikan. Lokasi tempat menurunkan barang tersebut kini dikenal sebagai Peunayong.[8]

Tempat Ibadah

Dharma Bhakti adalah yang tertua. Vihara bercat putih dan merah itu masih berdiri kokoh di antara pertokoan di Jalan T Panglima Polem, Banda Aceh. Dua patung naga berdiri di atas atap depan. Di belakang bangunan, terdapat pusat studi bagi mereka yang beretnis Tionghoa. Vihara ini menjadi saksi keberadaan etnis Tionghoa di Aceh. Mulanya Vihara ini sudah ada sejak tahun 1878. itu terletak di pinggir pantai Cermin, Ulee Lheue .[9]

Namun kibat erosi serta lokasi awal dinilai tidak aman, lantaran saat itu Perang Dunia sedang berkecamuk. Bom Sekutu bahkan menghancurkan Dharma Bhakti, memaksa vihara untuk dipindahkan pada 1936., Vihara itu lalu dipindahkan ke tempat sekarang bersamaan dengan kota Banda Aceh yang dulunya juga berada di Ulee Lheue.[10][11]

Kini, Vihara Dharma Bakti di Peunayoung menjadi tempat ibadah bagi sekitar 3 ribu warga Tionghoa yang ada di Kota Banda Aceh maupun yang datang dari luar Aceh. Provinsi yang berstatus daerah Syariat Islam itu tetap menjamin kenyamanan beribadah masyarakat non-muslim. Vihara ini cukup mudah ditemui, letaknya tepat di pinggir jalan. Selain itu, vihara juga sangat dekat dengan Masjid Raya Baiturrahman, hanya berjarak sekitar 500 meter.[9][12]

Perayaan hari raya Imlek di Banda Aceh berjalan aman dan lancar. Hasan Go mengatakan perayaan Imlek pada tahun tikus logam ini berlangsung tanpa hambatan apapun, seperti juga perayaan pada tahun-tahun lalu. Meski berlaku Qanun Syariat Islam, kata dia, masyarakat Aceh dinilai memiliki tingkat toleransi yang sangat baik terhadap perbedaan.[13]

Di lokasi ini berdiri empat vihara, yaitu Vihara Dharma Bhakti, Maitri, Dwi Samudera dan Sakyamuni.[14]

Tokoh Tionghoa Aceh

Galeri

Wihara Maitri di Banda Aceh
Vihara Dewi Samudera di Banda Aceh

Referensi

  1. ^ Mengintip perayaan Imlek di China Town Banda Aceh
  2. ^ Ada 4 Vihara berdiri di Banda Aceh
  3. ^ "Tahun Baru Imlek di Aceh, keturunan Tionghoa: 'Teman-teman sempat khawatir masuk ke Aceh'". BBC News Indonesia. 2020-01-24. Diakses tanggal 2020-05-03. 
  4. ^ Usman, Abdul Rani. Etnis Cina Perantauan di Aceh. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 978-602-433-088-0. 
  5. ^ Setyadi, Agus. "Peunayong, Kampung China di Aceh yang Ada Sejak Sultan Iskandar Muda". detikcom. Diakses tanggal 2020-05-03. 
  6. ^ "Lonceng Cakra Donya, Kisah Persahabatan Cheng Ho dengan Kerajaan Aceh". AcehTourism.Travel. 2019-03-16. Diakses tanggal 2021-01-25. 
  7. ^ MODUSACEH.CO. "Sejarah Perdagangan Etnis Tionghoa di Peunayong Banda Aceh". MODUSACEH.CO. Diakses tanggal 2020-05-03. 
  8. ^ Wirajati, Jalu Wisnu. Asdhiana, I Made, ed. "Diplomasi Toleransi Aceh-Tionghoa di Kampung Peunayong". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-05-03. 
  9. ^ a b "Mengintip Vihara Berusia Ratusan Tahun di Aceh". Rencongpost.com. 2019-02-05. Diakses tanggal 2020-05-03. [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ Ratusan warga Tionghoa miskin di Aceh gembira dapat angpao
  11. ^ Azzam, Abdullah. Azzam, Abdullah, ed. "RITUAL CHENG BENG DI ACEH". Bisnis.com. Diakses tanggal 2020-05-03. 
  12. ^ Afif. Simanjuntak, Laurencius, ed. "Cerita warga etnis Tionghoa tinggal di negeri syariah". Merdeka.com. Diakses tanggal 2020-05-03. 
  13. ^ tim. "Damai di Vihara Tertua di Aceh". CNN Indonesia. Diakses tanggal 2020-05-03. 
  14. ^ Srimulyani, Eka; Afriko, Marzi; Salim, M. Arskal; Ichwan, Moch Nur (2018-08-26). "Diasporic Chinese Community in Post-Conflict Aceh: Socio-Cultural Identities, and Social Relations with Acehnese Muslim Majority". Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies (dalam bahasa Inggris). 56 (2): 395–420. doi:10.14421/ajis.2018.562.395-420. ISSN 2338-557X.