Pemerintah Korea Utara melakukan uji coba nuklir pada 9 September 2016 di Situs Uji Coba Nuklir Punggye-ri, sekitar 50 kilometer (30 mil) sebelah barat laut dari Kota Kilju. gempa ini memiliki kekuatan 5.3 Mw dan memiliki Skala intensitas VIII (Parah) [1]
Uji coba nuklir Korea Utara yang dilakukan 8 bulan sebelumnya di Januari 2016 menuai kecaman dan kritik dari masyarakat internasional. Meskipun Tiongkok dan Rusia menyerukan agar Korea Utara untuk kembali ke hasil kesepakatan perundingan enam negara, Korea Utara tetap mempertahankan ambisinya untuk mengembangkan senjata nuklir:
Latihan militer gabungan dua tahunan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan—Foal Eagle pada bulan Februari sampai April dan Ulchi Freedom Guardian pada bulan Agustus sampai September—berakhir pada 2 September 2016.[2] Korea Utara menganggap latihan sebagai "kekuatan musuh sedang mempersiapkan untuk invasi ke Korea Utara." [kutipan diperlukan] Pada tanggal 5 September 2016, Korea Utara menembakkan tiga rudal Rodong-1 berturut-turut dengan akurasi yang tinggi.[3] Hal ini menandai Rodong-1 sebagai rudal yang layak untuk dioperasikan dalam perang sejak pertama sukses meluncur pada tahun 1993. Dewak Keamanan PBB mengutuk uji coba rudal Korea Utara, yang kemudian Korea Utara merespons dengan keras 'langkah tersebut'.[4]
Uji coba dilakukan pada 9 September 2016, yang bertepatan dengan ulang tahun ke-68 Korea Utara.
Menurut perkiraan pemerintah Korea Selatan dan Jepang, daya ledak nuklir yang dihasilkan setara dengan sekitar 10 kiloton TNT (10 kt), yang menghasilkan gempa sekitar 5,3 skala kekuatan momen. Ledakan ini menjadi daya ledak tertinggi yang pernah dicapai oleh Korea Utara.[5][6]
Namun, Jeffrey Lewis dari Middlebury Institute of International Studies, California, mengatakan kepada Reuters bahwa ledakan tersebut diperkirakan setidaknya berkekuatan 20 sampai 30 kt.[7] Berita tersebut telah dipublikasikan ulang oleh media lainnya.[8] Daya ledak nuklir tersebut lebih kuat "Little Boy", bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima, Jepang di akhir Perang Dunia II.[9] Lewis menyatakan bahwa hasil uji coba ini menjadi yang terbesar yang pernah dilakukan oleh Korea Utara dan berkomentar bahwa peristiwa ini adalah hari yang menyedihkan karena Korea Utara telah membuat kemajuan besar dalam bidang teknologi rudal dan nuklir.[7][8]
Militer Jepang mengirimkan dua jet militer untuk mengukur radiasi di udara sementara Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye, mengecam Kim Jong-un setelah uji coba.[7]
Media pemerintah Korea Utara tidak segera mengumumkan hasil uji coba, dan justru menunjukkan arsip rekaman pendiri negara, Kim Il-sung, serta anaknya dan pemimpin setelahnya Kim Jong-il.[10] Namun pada pukul 13.50 Waktu Pyongyang, KCNA mengkonfirmasi bahwa hal ini adalah uji coba nuklir kelima dan bahwa hulu ledak dapat dipasang dalam rudal. Uji coba tersebut juga diberitakan oleh Associated Press,[11] salah satu dari beberapa media Barat yang memiliki kantor di Korea Utara.[12]
Uji coba yang dilakukan bertentangan dengan masyarakat internasional, yang memicu kecaman dari berbagai pihak.[13][14]
Presiden AS Barack Obama, Presiden Korea Selatan Park Geun-hye, dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sepakat untuk bersama-sama "mengambil langkah yang signifikan, termasuk sanksi baru, untuk menunjukkan kepada Korea Utara bahwa ada konsekuensi terhadap tindakan yang melanggar hukum dan berbahaya."[14] Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang segera mengadakan rapat darurat tertutup Dewan Keamanan PBB, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada 9 September, Dewan Keamanan sangat mengutuk uji coba tersebut dan mengatakan bahwa akan mengambil "langkah signifikan" untuk merespons uji coba tersebut..[14] Pernyataan tersebut mengatakan tindakan non-militer, tindakan seperti sanksi akan diambil berdasarkan Pasal 41 Piagam PBB.[14]
Dewan Keamanan PBB mengutuk tes dan mengatakan akan merumuskan sebuah resolusi baru, dengan AS, Britania Raya, dan Prancis yang mendesak untuk sanksi baru. Menteri Pertahanan AS Ash Carter menyatakan dalam konferensi pers bahwa "Tiongkok mempunyai tanggung jawab penting untuk perkembangan hal ini dan memiliki tanggung jawab penting untuk membalikkan hal itu." Tiongkok belum mengkonfirmasi dukungannya untuk sanksi yang lebih keras.
<ref>