Sawah

Sawah berteras di hulu Cipamingkis, Sukamakmur, Kabupaten Bogor
Sawah dari jarak dekat
Sawah berteras di Bali
Sawah di Vietnam.

Sawah, carik,[1] atau bendang[2] adalah tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi.[3] Orang yang bekerja di sawah disebut pesawah atau pebendang. Untuk keperluan ini, sawah harus mampu menyangga genangan air karena padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam pertumbuhannya. Untuk mengairi sawah digunakan sistem irigasi dari mata air, sungai atau air hujan. Sawah yang terakhir dikenal sebagai sawah tadah hujan, sementara yang lainnya adalah sawah irigasi. Padi yang ditanam di sawah dikenal sebagai padi lahan basah (lowland rice).

Pada lahan yang berkemiringan tinggi, sawah dicetak berteras atau lebih dikenal terasering atau sengkedan untuk menghindari erosi dan menahan air. Sawah berteras banyak terdapat di lereng-lereng bukit atau gunung di Jawa dan Bali.

Sebuah studi yang dipublikasikan Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America menemukan bahwa semua jenis padi yang dibudidayakan saat ini, baik dari spesies indica maupun japonica, berasal dari satu spesies padi liar Oryza rufipogon yang ada pada tahun 8200 tahun hingga 13500 tahun yang lalu di China.[4] Padi sawah dibudidayakan di berbagai negara seperti Bangladesh, China, Filipina, India, Indonesia, Iran, Jepang, Kamboja, Korea Selatan, Korea Utara, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Padi sawah juga ditanam di Eropa seperti di Piedmont (Italia) dan Camargue (Prancis).[5]

Sawah merupakan salah satu sumber utama emisi metana atmosferik dan diperkirakan mengemisikan antara 50 hingga 100 juta ton gas metana per tahun.[6][7] Sebuah studi menunjukan dengan mengeringkan sawah untuk sementara sambil mengaerasikan tanah bermanfaat untuk mengganggu emisi gas metana dan juga meningkatkan hasil padi.[8]

Petani menanam padi di sawah di Kamboja.

Sejarah

Para pakar arkeologi sepakat bahwa pembudidayaan di lahan basah berawal di China. Bukti keberadaan sawah padi pertama ditemukan bertanggal 6280 tahun yang lalu berdasarkan penanggalan karbon dari biji padi dan materi organik tanah yang ditemukan di situs Chaodun di Kushan County.[9] Di sebuah situs Neolitik di Caoxieshan, arkeologis melakukan penggalian dan menemukan sebuah lokasi yang dipercaya dulunya merupakan sawah.[10] Diperkirakan situs di Caoxieshan bertanggal 4000 hingga 3000 SM.[11][12] Selain itu terdapat 10 lokasi arkeologi yang terkait dengan sawah di Korea. Dua diantaranya yang tertua berada di Okhyun dan Yaumdong, Ulsan, dibangun sejak Mumun pottery period.[13] Terdapat bukti arkeologis pula bahwa beras (padi yang sudah dihilangkan sekamnya) disimpan untuk keperluan militer dan prosesi pemakaman sejak zaman Neolitik hingga Dinasti Han di China.[14]

Ekosistem Sawah

Sawah sebagai ekosistem disebut oleh seorang ahli antropologi berkebangsaan Amerika Serikat, Geertz yakni sawah sangat stabil atau tahan lama.[15] Sawah dapat terus menghasilkan panenan yang boleh dikatakan tidak berkurang dari tahun ke tahun, bahkan sering dua kali setahun.[16] Peranan air di dalam ekosistem sawah sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan sawah. Di sini, karakter tanah tropis yang tipis diatasi dengan memasukkan zat hara ke sawah dengan air irigasi untuk menggantikan zat makanan yang diambil dari tanah; penyerapan nitrogen oleh ganggang hijau-biru yang berkembang biark dalam air hangat; pembusukan kimiawi bakteri dari bahan organik, termasuk sisa-sisa tanaman yang sudah dituai tertinggal dalam air; pengisian udara pada tanah dengan gerakan air sawah yang perlahan; dan tentu saja dengan fungsi-fungsi ekologis lainnya yang dilaksanakan oleh irigasi masih belum diketahui.[17][18]

Lebih lanjut, pada ekosistem sawah terdapat komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik terdiri atas faktor edafik atau kesuburan tanah yang dilihat dari parameter Kapasitas Pertukaran Kation (KTK), kandungan bahan organik tanah, kandungan N total, P tersedia, dan K tersedia dalam tanah; dan faktor hidrologik yang dilihat dari parameter kedalaman genangan air sawah. Sedangkan komponen biotik ekosistem sawah dioihat dari parameter keragaman hayati, populasi hama dan musuh alaminya, serta pola interaksi yang terjadi di antara tanaman dan serangga herbivora, serta antara serangga hama dan musuh alaminya.[19][sitasi tak relevan]

Referensi

  1. ^ (Indonesia) Arti kata carik (3) dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. ^ (Indonesia) Arti kata bendang dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  3. ^ "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-27. Diakses tanggal 2013-12-11. 
  4. ^ Molina, J.; Sikora, M.; Garud, N.; Flowers, J. M.; Rubinstein, S.; Reynolds, A.; Huang, P.; Jackson, S.; Schaal, B. A.; Bustamante, C. D.; Boyko, A. R.; Purugganan, M. D. (2011). "Molecular evidence for a single evolutionary origin of domesticated rice". Proceedings of the National Academy of Sciences. 108 (20): 8351. doi:10.1073/pnas.1104686108. 
  5. ^ "Riz de Camargue, Silo de Tourtoulen, Riz blanc de Camargue, Riz et céréales de Camargue". Riz-camargue.com. Diakses tanggal 2013-04-25. 
  6. ^ "Methane Sources - Rice Paddies". GHG Online. Diakses tanggal 28 Maret 2023. 
  7. ^ "Scientists blame global warming on rice". Sptimes.com. 2007-05-02. Diakses tanggal 2013-04-25. 
  8. ^ "Shifts in rice farming practices in China reduce greenhouse gas methane". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2003-01-11. Diakses tanggal 2002-12-19. 
  9. ^ Cao, Zhihong; Fu, Jianrong; Zou, Ping; Huang, Jing Fa; Lu, Hong; Weng, Jieping; Ding, Jinlong (2010). "Origin and chronosequence of paddy soils in China". Proceedings of the 19th World Congress of Soil Science: 39–42. Diakses tanggal 8 February 2013. 
  10. ^ Fujiwara, H. (ed.). Search for the Origin of Rice Cultivation: The Ancient Rice Cultivation in Paddy Fields at the Cao Xie Shan Site in China. Miyazaki: Society for Scientific Studies on Cultural Property, 1996. (In Japanese and Chinese)
  11. ^ Fujiwara 1996
  12. ^ Tsude, Hiroshi. Yayoi Farmers Reconsidered: New Perspectives on Agricultural Development in East Asia. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 21(5):53-59, 2001.
  13. ^ Crawford, Gary W. and Gyoung-Ah Lee. Agricultural Origins in the Korean Peninsula. Antiquity 77(295):87-95, 2003.
  14. ^ "Expansion of Chinese Paddy Rice to the Yunnan-Guizhou Plateau". Diakses tanggal 2007-08-06. 
  15. ^ Geertz, Clifford (2016) [1974]. Involusi Pertanian [Agricultural Involution: The PRocesses of Ecological Changes in Indonesia]. Diterjemahkan oleh Triwira, Gatot (edisi ke-5). Depok: Komunitas Bambu. hlm. 218. ISBN 978-979-9542-38-3 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  16. ^ Gourou, Pierre (1956). The Quality of Land Use of Tropical Cultivators. hlm. 336–349. 
  17. ^ Grist, D. H. (1959). Rice (edisi ke-3). London: Longmans Green. 
  18. ^ Pelzer, Karl Josef (1945). Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics. New York: Institute of Pacific Relations. 
  19. ^ Aminatun, Tien; Widyastuti, Sri Harti (2014). "Pola Kearifan Masyarakat Lokal dalam Sistem Sawah Surjan untuk Konservasi Ekosistem Pertanian". Jurnal Penelitian Humaniora. 19 (1): 65–76. 

Bahan bacaan terkait

  • Bale, Martin T. Archaeology of Early Agriculture in Korea: An Update on Recent Developments. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 21(5):77-84, 2001.
  • Barnes, Gina L. Paddy Soils Now and Then. World Archaeology 22(1):1-17, 1990.
  • Crawford, Gary W. and Gyoung-Ah Lee. Agricultural Origins in the Korean Peninsula. Antiquity 77(295):87-95, 2003.
  • Kwak, Jong-chul. Urinara-eui Seonsa – Godae Non Bat Yugu [Dry- and Wet-field Agricultural Features of the Korean Prehistoric].In Hanguk Nonggyeong Munhwa-eui Hyeongseong [The Formation of Agrarian Societies in Korea]: 21-73. Papers of the 25th National Meetings of the Korean Archaeological Society, Busan, 2001.

Pranala luar