Beteleme adalah ibu kota kecamatan Lembo, yang terletak dalam daerah vegetasipadang dan hutan. Jarak Beteleme kira-kira 25 km dari ibu kota Kabupaten Morowali, yaitu Kolonodale[b]. Sebelum terjadi penyerangan di Beteleme, tidak ada bibit konflik pada masyarakat Beteleme. Tidak ada perkelahian antar pemuda ataupun perkelahian karena miras dan sejenisnya. Interaksi sosial masyarakat Beteleme berjalan dengan baik dan saling membutuhkan satu dengan lainnya. Desa Beteleme sudah diincar sejak lama oleh Pasukan Jihad yang juga menyerang desa Peleru pada waktu lalu yang menyebabkan Pendeta Rinaldy Damanik ditangkap karena mengevakuasi warga Kristen Peleru yang diserang.
Penyerangan
Persiapan
Muhammadong berperan besar merencanakan penyerangan desa Beteleme. Menurut pengakuan anak buahnya yang tertangkap, mereka juga mendapat senjata dan amunisi dari Muhammadong. Para tersangka mendapat persediaan makanan saat dalam perjalanan antara Poso ke Beteleme dari dua orang kurir yang mengendarai sepeda motor.[3]
Rute
Pemimpin penyerangan, Muhammadong, diketahui memimpin pasukan jihad yang mulai bergerak dari Kota Poso, Tayawa, Translolemba, Lembah Masara, Tamaenusi, Kolonodale, dan desa Peleru.
Menurut kesaksian Kapolsek Lembo saat itu, Johanis S. Paleleng, dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dia baca, diketahui bahwa kelompok penyerang itu berjumlah 17 orang. Rute yang mereka tempuh berawal dari Tojo menuju Kolonodale, yang saat itu masih merupakan ibu kota sementara Kabupaten Morowali. Dengan ojek, mereka menuju Desa Pawaru. Di desa tersebut, kelompok ini sempat latihan perang selama dua hari. Setelah itu, mereka kembali ke Kolonodale, dan keesokan harinya mereka menyerang ke desa Beteleme.[4]
Serbuan
Sejak pagi hari pada tanggal 10 Oktober 2003, tidak terlihat pemisahan-pemisahan pada masyarakat. Tidak ada barikade atau penghalang di jalan-jalan. Interaksi sosial antar masyarakat terlihat seperti biasanya dan tidak tergangggu.
Pasukan Jihad tidak dapat melanjutkan aksi penyerangan, karena setelah penyerangan di desa Peleru, satuan Brimob dari Polda Papua ditempatkan di daerah ini dan Morowali.[2]
Kepolisian kemudian berhasil menangkap 13 tersangka pelaku anggota gerombolan bersenjata. Dari hasil pemeriksaan dan pengembangan, polisi menyita dua pucuk senapan M16, sebuah senapan SKS berikut empat buah magasin M16 dengan 206 peluru, dan magasin SKS 1 beserta 27 peluru.[5]
Pada 19 Oktober 2003, kontak tembak dengan polisi juga menewaskan seseorang yang diidentifikasi sebagai Rahmat Jeba.[6] Aswan alias Acho, salah seorang pelaku, juga tewas. Pada hari yang sama, dia tewas dalam kontak senjata dengan aparat. Dengan demikian, anggota gerombolan perusuh yang tewas menjadi lima orang. Dia sempat menulis surat wasiat kepada keluarganya pada 29 September 2003, beberapa hari sebelum menyerang Beteleme.[5]
Pemimpin penyerangan, Muhammadong alias Madong, tewas ditembak polisi di kawasan hutan gunung Mompane, Morowali. Dia orang yang paling dicari polisi karena penyerangan lima desa di sana, termasuk Beteleme, dengan total korban tewas dari penyerangan tersebut mencapai 13 orang.[7]
Persidangan
Pada 19 April 2004, tujuh terdakwa penyerangan warga Beteleme, disidangkan di Pengadilan Negeri Palu. Persidangan ini dijaga ketat oleh satu regu dari Satuan Perintis Kepolisian Resort Kota Palu. Persidangan ini tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat seperti persidangan kasus Poso sebelumnya. Hanya wartawan, polisi dan pegawai PN Palu serta beberapa mahasiswaFakultas Hukum Universitas Tadulako yang datang di ruang sidang II PN Palu.[1]
Sidang yang dipimpin oleh majelis hakim yang terdiri dari I Nyoman Somanada, I Made Sukanada dan Tahsin, itu dimulai sekitar pukul 12.00 WITA dan berakhir sekitar pukul 13.00 WITA. Para tersangka didampingi oleh Tim Advokasi Beteleme, yang dipimpin oleh Tajwin Ibrahim dan beranggotakan 14 pengacara muslim lainnya dari Palu. Mereka didakwa telah melanggar Pasal 14 - Pasal 6 Perpu RI No. 1 Tahun 2002, Pasal 1 UU No. 15 Tahun 2003, Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tak cuma itu, mereka juga didakwa melanggar UU Darurat No. 12 Tahun 1951.[1]