Pada awal Perang Dunia II, Lembong tergabung dalam pasukan KNIL sebagai operator radio dengan nomor registrasi 41642 di Manado. Pada tahun 1943, dia ditangkap oleh pasukan Jepang dan dikirim ke Luzon, Filipina melalui Rabaul.[1]:107 Selama di kamp tawanan Jepang di Luzon, ia menjalin kontak dengan gerilyawan Filipina, kemudian bersama beberapa tawanan lainnya berhasil melarikan diri dan bergabung dengan sebuah unit gerilya yang termasuk dalam pasukan USAFFE (United States Armed Forces in the Far East) - LGAF (Luzon Guerilla Armed Forces).[2]:67 Ia sempat diangkat sebagai komandan Skuadron 270, yang beranggotakan gerilyawan Minahasa dan Filipina, dengan pangkat Letnan Dua, oleh Kapten Robert Lapham dari Tentara Ke-Enam US Army di Filipina.
Menjelang berakhirnya perang yang masih di duduki Jepang di Amurang, Sulawesi Utara, Lembong pun mengusulkan sebuah misi penyusupan ke Sulawesi Utara ke atasannya di USAFFE pada Juli 1945. Ia ingin mengorganisir kekuatan gerilya di wilayah Manado, Tondano, Tonsea, Tomohon, Kawangkoan dan lainnya. Namun, rencana gerilya ini tak kunjung terlaksana. Ketika Perang Dunia II berakhir, Lembong memutuskan menemui perwakilan KNIL di Filipina. Setelah melaporkan diri, dia kembali direkrut dan diberi pangkat Letnan Satu dan ditugaskan kembali ke Indonesia, yang saat itu sudah memproklamirkan diri dari kolonial Belanda.
Perjuangan Kemerdekaan
Lembong mendarat sebagai Letnan Satu KNIL di Surabaya pada Januari 1946. Ia kemudian memutuskan menyeberang ke pihak Indonesia, ketika Belanda melancarkan Operatie Produkt, atau Aksi Polisionil, yang lebih dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, dan bergabung dengan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) di Yogyakarta.
Pada tahun 1947, KRIS dan beberapa organisasi perjuangan lainnya diintegrasikan dengan Tentara Republik Indonesia (TRI).[3]:141 Pada tahun 1948, TRI menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Lembong diangkat sebagai Komandan Brigade XVI di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada bulan September 1948, ia sempat ditangkap dan diculik ke Klaten oleh anak buahnya sendiri yang tergabung di dalam Kompi Masud atas suruhan Kahar Muzakkar, salah satu perwira bawahannya juga. Untungnya, anak buahnya yang lain, KaptenVentje Sumual bergerak cepat membebaskannya. Akhirnya, Lembong dicopot dari jabatannya selaku Komandan Brigade XVI dan digantikan oleh Letnan KolonelJoop Warouw pada 28 November 1948. Lembong dimutasi sebagai perwira staf di Markas Besar TNI di Yogyakarta.
Sempat direncanakan Lembong akan ditugaskan sebagai Atase Militer Indonesia di Filipina, dengan Sam Ratulangi sebagai duta besarnya. Di Filipina, Lembong akan ditugaskan mengorganisir pembebasan Sulawesi Utara melalui Filipina. Namun rencana itu tak kunjung terlaksana. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Lembong yang tak punya pasukan lagi juga ingin gerilya, tetapi dicegah oleh Ventje Sumual yang sudah jadi mayor. Akhirnya, Lembong ditangkap oleh pasukan Belanda di Yogyakarta, dipenjarakan di Ambawara dan baru dibebaskan setelah Perjanjian Roem-Royen.[4]:141
Terbunuh dalam Peristiwa APRA
Selepas pengakuan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, Lembong ditugaskan membentuk pusat pendidikan militer di Bandung. Untuk mengemban tugasnya, pada tanggal 23 Januari 1950, Lembong dan ajudannya, Kapten Leo Kailalo, bermaksud menemui Panglima Divisi Siliwangi di Bandung. Namun, pada saat bersamaan, markas Divisi Siliwangi sedang diserang oleh pasukan bekas KNIL yang tergabung dalam gerakan APRA pimpinan Raymond Westerling. Lembong dan Kailalo dibunuh secara keji oleh pasukan APRA.[5]
Gedung di mana Lembong terbunuh sekarang dijadikan Museum Mandala Wangsit yang berisikan tentang sejarah perjuangan Divisi Siliwangi.[6] Jalan di mana museum ini terletak sekarang dinamai Jalan Lembong.
Referensi
^de Jong, Loe (1985). Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog [Kerajaan Belanda pada Perang Dunia II] (dalam bahasa Belanda).
^Lapham, R.; Norling, B. (1996). Lapham's Raiders [Penyerang-Penyerang Lapham] (dalam bahasa Inggris).
^Saelan, Maulwi (2008). Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66. Visi Media.
^Lapian, Ed; Frieke, Ruata; Matindas, BE (2009). Memoar Ventje H.N. Sumual. Bina Insani.
^Nasution, Abdul Haris (1991). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Volume 11. DISJARAH-AD.