Penyelidikan terhadap tuduhan korupsi terhadap mantan presiden Suharto dimulai setelah beliau turun dari jabatan presiden pada tahun 1998.
Estimasi jumlah nominal yang dituduhkan dikorupsi oleh Soeharto berkisar di $15 miliar sampai $35 miliar.[1] Namun, hal ini akhirnya digugat oleh Presiden Soeharto dan Majalah Time kalah dan dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp1 Triliun.[2]
Pada 12 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.[3]
12 Juni 2006, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan walaupun sampai saat ini negara tidak dapat membuktikan dasar-dasar pencabutan SKP3 dengan bukti bukti baru.
Pada tahun 2024, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (Tap) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna sidang akhir MPR RI periode 2024-2029. Alasan yang dikemukakan adalah karena Suharto tidak pernah diadili atas tuduhan ini sebelum kematiannya pada tahun 2008.[4]
|date=
|accessdate=, |date=