Sidang Istimewa MPR adalah sidang yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan RakyatIndonesia atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat atau Sidang Tahunan Majelis untuk meminta dan menilai pertanggungjawaban Alul presiden atas pelaksanaan putusan Majelis.[1] Sidang ini diadakan jika presiden dianggap melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan menyimpang dari GBHN, yang kemudian pertanggungjawabannya akan dilakukan dalam Sidang Istimewa, yang biasanya mengarah kepada upaya pemakzulan.
Setelah berlakunya UU 27 Tahun 2009 pasal 184 ayat 4 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pemakzulan baru sah jika disetujui tigaperempat anggota MPR, tetapi kemudian syarat tersebut dibatalkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi.[2]
Indonesia pernah mengalami beberapa kali Sidang Istimewa. Hasilnya bisa berupa kejatuhan presiden yang sedang menjabat ataupun tidak. Ada pula Sidang Istimewa yang akhirnya memutuskan percepatan pemilihan umum, yaitu yang terjadi pada tahun 1998.
Sidang Istimewa MPR 1967
Sidang Istimewa majelis pertama kali diadakan pada tahun 1967 setelah peristiwa Gerakan 30 September yang mengakibatkan Soekarno kehilangan kepercayaan dan dianggap tidak mampu mengendalikan keamanan setelah pidato pertanggungjawabannya di depan MPRS, Nawaksara, dibacakan. MPRS pada masa itu meminta Soekarno untuk memperbaiki pidato pertanggungjawabannya di Sidang Umum MPRS, yang direspon Soekarno dengan pidato "Pelengkap Nawaksara". Namun pertanggungjawaban tersebut kembali ditolak dan akhirnya diputuskan bahwa pada 7 Maret 1967 akan dilakukan Sidang Istimewa MPRS.[3]
Setelah Sidang Istimewa ini, Soekarno diturunkan dari jabatan presiden dan digantikan oleh Soeharto sebagai pejabat presiden.
Sidang Istimewa MPR 1998
Sidang Istimewa ini dilakukan pada tanggal 10–13 November 1998.
Sidang Istimewa ini memutuskan diperlukannya percepatan pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada tahun 1999. Awalnya sidang ini ditolak oleh aktivis dan mahasiswa, tetapi dihadang oleh penjagaan militer, brimob, dan pengamanan swakarsa. Akibatnya korban sipil berjatuhan dan diperingati sebagai Tragedi Semanggi.[4]
Sidang Istimewa MPR 1999
Sidang Istimewa pada tahun 1999 dilakukan dengan agenda pidato pertanggungjawaban B. J. Habibie sebagai presiden pada tanggal 14 Oktober 1999. Pertanggungjawaban tersebut dinyatakan ditolak pada tanggal 20 Oktober 1999,[5] tetapi tidak menyebabkan kejatuhan Habibie. Hanya saja, Habibie menyatakan tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai presiden berikutnya. Akhirnya fraksi Partai Golkar mengalihkan dukungannya kepada Abdurrahman Wahid, yang kemudian menjadi presiden ke-4 Indonesia.[6]
Sidang Istimewa MPR 2001
Sidang Istimewa tahun 2001 dilakukan dengan agenda memberhentikan Abdurrahman Wahid setelah berbagai pertentangan dengan parlemen.[7][8] Tindakan ini diawali dengan keluarnya nota pertama pada 1 Februari 2001. Kemudian disusul nota kedua pada 30 April 2001, disertai permintaan DPR kepada MPR untuk diadakannya Sidang Istimewa.[9]