Keruntuhan Uni Soviet pada bulan Desember 1991 mewariskan Rusia sebagai negara yang berhak atas kepemilikan mayoritas atas senjata pemusnah massal. Setelah itu, Rusia telah mengimplementasikan perjanjian kontrol senjata dan berpartisipasi dalam program penurunan dan pemusnahan sebagian dari arsenal dan sejumlah senjata lainnya. Pada saat ini, Rusia melakukan modernisasi dan rekapitalisasi atas seluruh arsenal senjata nuklir dan sistem wadah senjata tersebut. Walaupun peralatan yang menua dari era Soviet menimbulkan usaha yang lebih dalam hal penanganan modernisasi tersebut. Rusia memandang bahwa modernisasi sebagai tandingan atas superioritas atas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dalam pengakuan sebagai negara dengan status kekuatan miiter salah satu yang utama di dunia. Rusia juga aktif dalam partisipasi di perjanjian non-proliferasi, kontrol atas senjata, dan perlucutan senjata sebagai bentuk peran aktif Rusia di tingkat Global.[4]
Sejak Rusia melakukan aneksasi atas Krimea pada tahun 2014 dengan Ukraina, hal tersebut membuat hubungan bilateral antara Rusia dan Amerika Serikat menjadi buruk, yang menghambat dalam hal proses kerjasama dalam isu non-proliferasi dan pengontrolan senjata. Presiden Rusia (Vladimir Putin) bertemu Presiden Amerika Serikat (Donald Trump) pada bulan Juli 2018, namun tidak menghasilkan kesepakatan dari pertemuan yang dilakukan kedua pemimpin negara.
Latar belakang terjadi saat rusia masih dibawah rezim Uni Soviet, untuk menandingi pengaruh dari Amerika Serikat.
Menurut doktrin militer Rusia yang ditetapkan pada 2010, bahwa senjata nuklir dapat digunakan oleh Rusia "sebagai tanggapan atas penggunaan nuklir dan jenis senjata pemusnah massal lainnya terhadap Rusia dan sekutunya, juga dalam kasus agresi terhadap Rusia dengan penggunaan senjata konvensional ketika keberadaan negara terancam".[5][6][7]
|url-status=
Artikel bertopik senjata ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.