Masyarakat lereng barat Gunung Merbabu menjalani tradisi merayakan Lebaran yang disebut sebagai "Sungkem Telompak" bertepatan dengan 5 Syawal 1431 Hijriyah di Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, [4]Karena ada tradisi itu, masyarakat kemudian merawat sumber air di Telompak, mereka tidak menebangi pohon sehingga mata air tetap lestari. Tradisi ini telah menjadi pendidikan lingkungan, pendidikan ekologi yang real dilaksanakan oleh masyarakat sebagai kepandaian lokal, setelah itu mereka menggelar kesenian tradisional "Campur Bawur" di mata air itu setelah selesai berdoa dan memasang sesaji dengan dipimpin juru kunci tempat itu.
Tempat itu berada di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air laut, di lereng barat Gunung Merbabu. Dusun Keditan dengan Gejayan berjarak sekitar tujuh kilometer.
Dua sesepuh warga Keditan, masing-masing Partowiyoto dan Martodinomo, bersama puluhan orang yang berpakaian tarian tradisional Merbabu, "Prajuritan", berdiri di halaman rumah jurukunci sumber air Tlompak, Partowiyoto terlihat secara resmi meminta restu Purwosugito untuk melaksanakan tradisi turun temurun di kawasan itu.
Mereka kemudian berjalan kaki dipimpin Purwosugito yang mengenakan pakaian adat Jawa, "bebet", surjan, dan belangkon, menuju mata air Tlompak yang berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman warga Gejayan. Seorang warga mengusung sesaji dengan wadah dari anyaman bambu, berisi antara lain tumpeng, lauk pauk, palawija, bunga mawar, rokok keretek, dan kemenyan. Tabuhan sejumlah alat musik seperti kenong, bende, jedor, dan truntung terdengar mengiring prosesi jalan kaki menuju mata air yang terletak di antara dua jurang di kawasan itu.