Maliana adalah sebuah kota di Timor Leste,[1] 149 kilometer barat daya Dili. Ini memiliki populasi 22.000. Maliana adalah ibu kota dari Distrik Bobonaro dan Subdistrik Maliana, dan terletak hanya beberapa kilometer dari perbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dan juga merupakan kota tahta Keuskupan Katolik Roma Maliana, yang dibentuk oleh Paus Benediktus XVI dengan wilayah yang diambil dari Keuskupan Katolik Roma Dili.
Maliana merupakan sektor pertanian yang penting, terutama produksi beras. Mayoritas penduduk Maliana sangat bergantung pada pertanian untuk mata pencaharian mereka, hal ini karena beras menjadi makanan pokok yang disukai banyak orang Timor. Sebagian besar penduduknya adalah petani yang menanam padi dan jagung. Selama pendudukan Indonesia, Maliana menjadi kota lumbung padi untuk mendukung kabupaten lain di Timor Timur, dan mengekspor ke tempat lain di NTT, khususnya Timor Barat.
Maliana memiliki tujuh desa yang terdiri dari Lahomea, Holsa, Ritabou, Odomau, Raifun, Tapo-Memo dan Saburai. Ada dua sumber utama irigasi air yang mensuplai air ke sawahs seperti Sungai Bulobu, Sungai Nunura, Malibaka dan Sungai Bui Pira. Bunak dan Kemak adalah dialek asli Maliana tetapi kebanyakan orang mengerti dan berbicara bahasa Tetum.
Maliana memiliki salah satu sekolah pilihan selama pendudukan Portugis, yang dikenal sebagai Collegio Infante sagres. Collegio Infante sagres berada di bawah misi Katolik dan banyak orang terpelajar Timor Leste telah lulus dari sekolah menengah atas tersebut.
Warga Maliana berperan penting bagi tentara Australia antara tahun 1999 dan 2001, selama operasi UNTAET. Dipekerjakan sebagai "Warga Sipil yang Dipekerjakan Secara Lokal" oleh kontingen kecil dari Skuadron Sinyal ke-110, masyarakat Maliana memberikan dukungan domestik, serta intelijen lokal mengenai ancaman milisi Indonesia kepada tentara dan kontraktor sipil yang bekerja di daerah tersebut.
Wartawan Australia Greg Shackleton dan rekan-rekannya ("Balibo Five") mengajukan laporan berita dari Maliana (saat itu masih Timor Portugis) sesaat sebelum perjalanan penting mereka ke Balibo pada bulan Oktober 1975.[2]
Referensi
Pranala luar