Saat awal proses pembuatannya, film ini didukung oleh banyak sineas Indonesia, di mana banyak yang diantaranya tergabung dalam Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Banyak yang diantaranya telah meninggal sebelum film ini diselesaikan dan dirilis. Film yang pada awalnya di-shoot dengan kamera35mm ini tidak dapat dirilis pada era pemerintahan Orde Baru. Setelah diselesaikan dan dirilis tahun 2008, perbedaan dengan versi awalnya hanya dalam format digital mediumnya saja. Rol filmnya harus disimpan selama kurang lebih 18 tahun akibat berbagai kesulitan dalam pembuatannya, termasuk karena Krisis finansial Asia 1997 yang merambat ke gonjang ganjingnya politik di Indonesia dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Setelah datangnya era reformasi di Indonesia, film ini akhirnya dapat dilepaskan dari belenggu represif, walaupun para kritikus film Indonesia sangat menyayangkan keterlambatan film ini. Walau umumnya mendapat sambutan positif, film ini mendapat kritik yang bercampur antara masih relevan atau tidaknya dengan kehidupan dan situasi Indonesia setelah era reformasi.[2]
Film dibuka dengan adegan W.S. Rendra yang bermimpi tentang orang-orang yang berlari dikejar sekelompok orang yang mengenakan masker gas, bersepatumiliter, mengenakan jas hujan dan menenteng senjata api laras panjang, seolah menggambarkan bagaimana represifnya situasi tersebut. "Aku mendengar suara..... Jerit makhluk terluka.... luka... luka.... Orang-orang harus dibangunkan... ", dilanjutkan alunan lagu "Kesaksian". Kemudian W.S. Rendra membacakan syair panjang yang berisi kritik tajam terhadap kondisi masyarakat dan pemerintahan.
Adegan demi adegan kemudian dibentuk oleh dialog / monologteater dan puisi yang disambung dengan lagu-lagu yang diambil dari album Kantata Takwa dan Swami I dan dibalut dengan cuplikan-cuplikan konser akbar "Kantata Takwa" tahun 1991 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Latar berpindah dari sebuah pedesaan yang damai ke pantai berpasir dengan angin menderu yang mengibarkan jilbab dan selendang sekelompok wanita, mengisi atmosfer dengan nuansa religius, ke latar orang-orang teater yang menari dengan mengenakan topeng mengerikan, kemudian sebuah adegan dialog antara Iwan Fals dan Sawung Jabo yang duduk bersila membicarakan kehidupan.
Syair-syair W.S Rendra dan lagu-lagu dari "Kantata Takwa" dan "Swami" menyertai adegan demi adegan dalam film ini, diselingi dengan munculnya seorang tokoh wanita yang mengenakan busana jilbab (Clara Sinta Rendra), yang selalu hadir menjadi saksi tanpa kata-kata. W.S. Rendra akhirnya diadili oleh hakim dengan banyak wajah bertopeng, dan film mencapai adegan klimaks dalam eksekusi personel "Kantata" satu persatu oleh pasukan bermasker, di mana Jockie Surjoprajogo tewas dipukuli di rumahnya, Setiawan Djodi tewas dibekap dengan bantal saat tidur, Sawung Jabo tewas ditembak di sebuah jalan buntu, dan Iwan Fals dieksekusi dengan dicabut giginya satu persatu. Film diakhiri dengan perlawanan orang-orang desa melawan pasukan bermasker, hancurnya pasukan bermasker, dan ditutup dengan alunan lagu "Kesaksian".
Musisi yang terlibat dalam film ini adalah musisi-musisi kondang Indonesia yang juga terlibat dalam pembuatan album "Kantata Takwa", "Swami I", "Swami II" dan tampil dalam konser akbar "Kantata Takwa" tahun 1991.