Indonesia dan Britania Raya menjalin hubungan diplomatik sejak tahun 1949 dan menjaga hubungan dengan kuat sejak saat itu.[1] Indonesia memiliki kedutaan besar di London[2] sementara Britania Raya memiliki kedutaan besar di Jakarta.[3] Britania Raya menganggap Indonesia sebagai mitra yang sangat penting di lingkup global dan berkomitmen menjalin hubungan di tingkat lebih tinggi.[4] Kedua negara adalah anggota dari ekonomi besar G-20.
Menurut jajak pendapat BBC World Service Poll tahun 2013, 65% orang Indonesia memandang Britania Raya memberikan pengaruh positif, dengan hanya 15% memandang negatif, ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki persepsi terbaik kedua untuk Britania Raya di Asia setelah Korea Selatan.[5]
Sejarah
Pelaut Inggris pertama kali mencapai wilayah yang sekarang bernama Indonesia pada abad ke-16, kala itu Sir Francis Drake tiba di Maluku pada tahun 1579 dalam perjalanan mengelilingi dunia. Perusahaan Hindia Timur Inggris membuka pos perdagangan di Bantam pada perjalanan pertama tahun 1601 dan mengimpor lada dari Jawa yang merupakan komoditas penting Perusahaan selama dua puluh tahun. Namun, karena persaingan ketat dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), pos perdagangan Inggris di Bantam ditutup pada tahun 1683. Inggris mengalihkan perhatian mereka pada anak benua India sementara Belanda mulai menetapkan diri di Jawa dan kemudian memperluas ke sebagian besar kepulauan Indonesia.
Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Inggris-Belanda 1824 yang menentukan batas kekuasaan Inggris dan Belanda di Asia Tenggara dan India. Perbatasan ini menjadi cikal bakal perbatasan Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura di masa modern. Nama "Indonesia" pertama kali digunakan tahun 1850, saat George Windsor Earl, ahli etnologi asal Inggris, mengusulkan istilah Indunesians — dan, istilah yang lebih ia sukai, Malayunesians — untuk menyebut penduduk di "Kepulauan India atau Kepulauan Melayu".[9] Di terbitan yang sama, murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan nama Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.[10][11]
Pada tahun 1963 tentara Inggris dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terlibat dalam perang yang tidak diumumkan sebelumnya di Kalimantan Utara (Sabah dan Sarawak) selama konfrontasi Indonesia–Malaysia. Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno tidak setuju dengan keputusan Inggris melepas dan memerdekakan Malaysia, penggabungan Federasi Malaya (sekarang Malaysia Barat), Singapura dan perlindungan/jajahan kerajaan Inggris di Sabah dan Sarawak (secara kolektif dikenal sebagai Borneo Inggris, sekarang Malaysia Timur). Inggris membantu angkatan bersenjata Malaysia melawan kampanye dan operasi militer oleh Indonesia di Kalimantan Utara. Dengan jatuhnya kekuasaan Soekarno dan dilanda masalah dalam negeri, Indonesia tidak lagi berminat untuk berperang dan permusuhan di antara keduanya berhenti. Indonesia akhirnya menyetujui pembentukan Federasi Malaysia.
Setelah masa-masa penuh gelojak di tahun 1960an, Indonesia dan Inggris mulai memperbaiki hubungan. Karena pentingnya bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, pemerintah Indonesia mempromosikan pendidikan bahasa Inggris sebagai bahasa asing paling penting dan mengajarkannya di sekolah-sekolah di Indonesia sejak tahun 1970an. Dewan Inggris dibentuk pada tahun 1948 di Jakarta untuk mempromosikan budaya Inggris di Indonesia melalui bidang utama: bahasa Inggris, seni, pendidikan dan masyarakat.[12]
Pada tahun 1974, Ratu Elizabeth II berkunjung ke Indonesia, dan menjadi pemimpin Inggris pertama yang melakukan kunjungan resmi ke Indonesia.[13][14][15] Pada tahun 1989, Pangeran dan Putri Wales berkunjung ke Indonesia.[16] Pasangan ini mengunjungi Rumah Sakit Kusta Sitanala di Tangerang, Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, Kraton Yogyakarta, Borobudur dan Bali. Pangeran Wales kemudian berkunjung kembali ke Yogyakarta dan Borobudur pada tahun 2008.
Pada 2006, perdana menteri Inggris saat itu Tony Blair bertemu dengan presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono, mereka menyepakati "pembentukan Forum Kemitraan Indonesia-Inggris secara berkala yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, untuk mendorong dialog strategis mengenai isu-isu bilateral, multilateral dan global".[1] Forum Indonesia-Inggris pertama diadakan pada tahun 2007, dan dipimpin oleh menteri luar negeri Inggris Margaret Beckett dan menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirajuda.[1]
Pada Maret 2010, anggota Dewan Bangsawan Inggris memuji langkah Indonesia dalam menciptakan masyarakat yang demokrasi, kebebasan pers dan penjagaan lingkungan.[18] Dalam pertemuan dengan anggota DPR Hayono Isman, Dewan Bangsawan mengatakan mereka ingin memperbaiki hubungan di antara kedua negara.[18]
Pada 2010, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia melancarkan kampanye untuk menaikan jumlah turis dari Inggris untuk ke Indonesia.[2] Pada 2009, 160.000 turis dari Inggris berkunjung ke Indonesia, dan tujuan dari kampanye adalah menaikan jumlah ini hingga 200.000.[2]
Perdagangan dan investasi
Ekspor barang dari Inggris ke Indonesia pada tahun 2010 bernilai £438,9 juta, naik sebanyak 25% dari tahun sebelumnya, sementara impor barang ke Inggris dari Indonesia naik 13% yaitu sebanyak £1,3 miliar.[19] Perusahaan-perusahaan Inggris yang beroperasi di Indonesia antara lain perusahaan minyak bumi BP, pemberi pinjaman Standard Chartered Bank dan HSBC dan perusahaan rokok British American Tobacco, sementara perusahaan Indonesia yang beroperasi di Inggris adalah Bank Negara Indonesia (BNI).[20]
^Linda Yulisman (2013-01-14). "UK sees Indonesia as strategic partner". The Jakarta Post. Asian News Network. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-15. Diakses tanggal 31 March 2013.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Sir Thomas Stammford Raffles: The History of Java; Black, Parbury, and Allen for the Hon. East India Company 1817; reprinted in the Cambridge Library Collection, 2010
^Institute, Batak (2021-07-29). "Hester Needham Si Boru Malim Batak". TOKOH INDONESIA | TokohIndonesia.com | Tokoh.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-07-22.
^Earl, George SW (1850). "On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations". Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA): 119.
^Earl, George SW (1850). "On The Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations". Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA): 254, 277–8.
^"Travels with Princess Diana". dianaforever.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 September 2015. Diakses tanggal 22 December 2012.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)