Difabel, disabilitas,ketunaan, ketunadayaan, atau keterbatasan diri (bahasa Inggris: disability) dapat bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan atau beberapa kombinasi dari ini.
Istilah difabel dan disabilitas sendiri memiliki makna yang agak berlainan. Difabel (different ability—kemampuan berbeda) didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan aktivitas berbeda bila dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan, serta belum tentu diartikan sebagai "cacat" atau disabled. Sementara itu, disabilitas (disability) didefinisikan sebagai seseorang yang belum mampu berakomodasi dengan lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan disabilitas.[1]
Definisi
Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.[2]
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik seperti lumpuh layu, cerebral palsy, dan paraplegia
penyandang disabilitas intelektual termasuk down syndrome dan tuna grahita
Sejak 2006, Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 182 negara di dunia dan menjadi landasan pembaruan cara pandang dan prinsip-prinsip dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.[4] Penandatanganan konvensi tersebut menjadi komitmen bersama bagi seluruh negara untuk mewujudkan pembangunan inklusif ramah disabilitas.
Program kebijakan pemerintah bagi penyandang disabilitas cenderung berbasis belas kasihan (charity), sehingga kurang memberdayakan penyandang disabilitas untuk terlibat dalam berbagai masalah. Kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang penyandang disabilitas menyebabkan perlakuan pemangku kepentingan unsur pemerintah dan swasta yang kurang peduli.[butuh rujukan]
upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[5]
setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.[6]
DPR menilai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (difabel) sudah tidak sesuai dengan paradigma terkini mengenai kebutuhan penyandang disabilitas dan merancang RUU inisiatif DPR tentang penyandang disabilitas. Rapat Paripurna DPR yang digelar pada Kamis, 17 Maret 2016, akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Penyandang Disabilitas. Rancangan tersebut akan menjadi undang-undang 30 hari sejak disahkan DPR, dengan atau tanpa tanda-tangan presiden.[7]