Syeikh Syamsuddin Ibn Abdullah As-Sumatrani adalah seorang ulama besar Aceh yang hidup pada Abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Beliau merupakan murid dari seorang Ulama yang dikenal dengan nama Hamzah al-Fansuri. Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawi, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang dikuasainya ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain. Meskipun secara pasti tidak diketahui kelahiran beliau namun dari namanya menunjukkan bahwa beliau merupakan Ulama yang berasal dari Pasai (Aceh).[1] Beliau meninggal dunia dalam pertempuran dengan portugis di Melaka pada pada tahun 1040 H/ 1630 M dan dikebumikan di Kampung Ketek, Melaka.[2][3][4] Dalam kitab Bustanul Salatin karya Syeikh Nurruddin ar-Raniri juga diperoleh keterangan bahwa Syamsuddin wafat pada hari ke-12 bulan Rajab tahun 1039 H/1630 M.[5]
Riwayat Hidup
Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani adalah seorang mufti dan penasihat Sultan Iskandar Muda, seorang pembesar dan penghulu agama, seorang syeikh terkemuka yang berada di lingkungan istana kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam catatan orang Eropa yang berjumpa Syeikh Syamsuddin bin Abdullah As Sumatrani seperti yang ditulis oleh Frederick de Houtman dalam bukunya Cort Verhael van’t Wedervaren is Frederick de Houtman, Tot Atchein (1603)[6] menyatakan, Syeikh Shamsuddin bi Abdullah As Sumatrany sebagai penasihat agung Sultan Saidil Mukammil. Syeikh ini sempat mengajak dia masuk Islam.
Pengaruh Syeikh Shamsuddin dalam kerajaan Aceh Darussalam dicatat juga oleh Sir James Lacaster ketika berkunjung ke Aceh pada tahun 1602. Dalam bukunya The Voyages of Sir James Lascaster,[7] Lacaster menyebut Syeikh Shamsuddin sebagai “a man of great estimation with the king and the peoples (seorang pria yang memiliki pengaruh besar terhadap raja dan rakyat). ” James Lacaster bahkan ditanyakan oleh Syeikh Shamsuddin, “Sir, what reasons shall we show to the king, from you whereby he may grants these things which you have demanded to be granted by him (Alasan apa yang akan kami tunjukkan kepada raja, agar dia mengabulkan permintaan Anda).”
Sampai akhir hayatnya beliau merupakan seorang Qadhi di Kesultanan Aceh, sebelum akhirnya meninggal dunia dalam pertempuran melawan penjajah portugis di Melaka.[8]
Syeikh Syamsuddin dan Syeikh Nuruddin
Syeikh Nuruddin pertama sekali datang di Aceh pada tahun 1637 M, 7 tahun setelah Syeikh Syamsuddin meninggal dunia. Syeikh Syamsuddin tidak pernah mengenal Syeikh Nuruddin, tetapi dalam beberapa tulisan ilmuwan barat sering ditulis adanya perselisihan antara dua ulama Aceh ini, sampai berujung kepada pembakaran kitab karangan Syeikh Syamsuddin. Namun bukti kejadian ini sampai saat ini masih diragukan kebenarannya.
Dalam beberapa kitab karangan Syeikh Nuruddin mengkritisi dengan bijak pemahaman Syeikh Syamsuddin dan mencoba menjelaskan secara lebih mendalam sesuatu yang kurang dapat difahami oleh orang awam pada masa itu, seperti dalam beberapa kitab karangan beliau.[9]
Karya-karya
Karya-karya Syamsuddin Sumatrani ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (Jawi). antara karyanya adalah seperti berikut:
- Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
- Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 halaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze ini, walaupun sedikit sahaja halamannya tetapi cukup penting kerana mengandungi penjelasan tentang perbezaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
- Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).
- Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Karya ini bukti yang cukup kuat bahawa Syamsuddin Sumatrani adalah penyambung aktiviti dan bertanggungjawab menyebarkan ajaran gurunya Hamzah Fansuri.
- Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terhadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.
- Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandungi pembicaraan tentang rahsia ilmu makrifah (martabat tujuh).
- Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandungi penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
- Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang roh.
- Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.[10]
Referensi
Ulama Aceh |
---|
Abad ke-12 | |
---|
Abad ke-16 M | |
---|
Abad ke-17 M | |
---|
Abad ke-18 M | |
---|
Abad ke-19 M | |
---|
Abad ke-20 M | |
---|
Abad ke-21 M | |
---|