Di Indonesia, surat izin mengemudi (SIM) merupakan bukti registrasi dan identifikasi yang diberikan oleh Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Korlantas Polri) kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas, dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan. Orang yang kedapatan tidak membawa SIM saat berkendara dapat dikenakan tilang.
Awalnya, jenis SIM hanya ada SIM A, B dan C saja, sebelum kemudian diberlakukan aturan baru dengan dibuat SIM D dengan golongan D1 untuk penyandang cacat (disabilitas) roda empat, lalu golongan SIM C dibagi menjadi tiga menurut kapasitas mesin yang digunakan yaitu C, C1 dan C2.[1]
Perpanjangan SIM dilakukan setiap 5 tahun sekali dan tidak boleh diwakilkan. Menurut golongannya, ada 2 jenis SIM yang dapat diperpanjang melalui layanan daring. Salah satu pelayanan pemerintah untuk mempermudah perpanjangan SIM adalah SIM Keliling. SIM Keliling sebagai salah satu pelayanan jemput bola yang memudahkan masyarakat mengurus pajak 5 tahunan perpanjangan SIM khusus untuk SIM A dan C.[2]
Sesuai dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 2021 tentang Penerbitan dan Penandaan Surat Izin Pengemudi, Surat Izin Mengemudi di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam dua kategori: SIM Kendaraan Bermotor perseorangan (untuk kendaraan pribadi) dan SIM Kendaraan Bermotor Umum (untuk kendaraan umum), dengan penggolongan sebagai berikut:[3] [4]
atau kapasitas mesin (cc/in3)[a 1]
Catatan:
Secara umum, berlaku ketentuan mengenai kompatibilitas SIM di Indonesia. Pengguna jalan yang memiliki SIM umum dapat menjalankan kendaraan pribadi dan/atau kendaraan yang jumlah beratnya sama atau lebih rendah. Pengguna jalan yang memiliki SIM perseorangan tidak dapat menjalankan kendaraan yang memerlukan SIM umum. Pengguna jalan yang memiliki SIM yang jumlah beratnya lebih rendah tidak dapat menjalankan kendaraan dengan jumlah berat yang lebih tinggi. Namun, untuk mendapatkan SIM dengan jumlah berat yang lebih tinggi, seseorang harus memiliki kecakapan dengan SIM yang jumlah beratnya rendah, misalnya untuk mendapatkan SIM B1 harus memiliki SIM A.[8]
Pada sepeda motor, seseorang dapat memiliki SIM C1 jika sebelumnya sudah memiliki SIM C; begitu juga dengan SIM C2 harus memiliki SIM C1. Pengendara sepeda motor dengan SIM C2 dapat menjalankan kendaraan yang memerlukan SIM C1 dan SIM C.[9]
Satuan Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi (Satpas) adalah unit pelaksana teknis yang dibentuk di lingkungan Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Korlantas) pada tingkat kabupaten/kota, yang bertugas menyelenggarakan layanan administrasi SIM. Termasuk di dalamnya adalah mengatur proses pembuatan, ujian, perpanjangan, dan pencabutan SIM. Satpas tersedia secara statis (dilayani di bangunan tetap) maupun secara drive-thru (sebagai layanan SIM keliling).[10] Selain Satpas, Korlantas juga mengembangkan aplikasi bernama Digital Korlantas, guna mempermudah administrasi SIM secara daring tanpa perlu ke Satpas.[11]
Setiap pengemudi yang hendak mendapatkan SIM harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. Lembaga pendidikan dan pelatihan tersebut harus mendapatkan izin dan terakreditasi oleh pemerintah.[12]
Sejumlah dokumen yang diperlukan untuk administrasi SIM adalah Kartu Tanda Penduduk asli, surat keterangan sehat jasmani dan rohani, serta formulir pembuatan SIM yang dibayar sesuai tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak menurut golongan SIM. Pada 2024, Korlantas juga menerapkan kartu BPJS/JKN sebagai persyaratan administrasi baru.[12][13] Biaya asuransi senilai Rp30.000,00 terkadang dikenakan, meski keberadaannya tidaklah wajib.[14] Apabila persyaratan administrasi terpenuhi, pendaftar dapat langsung mengikuti ujian tertulis (teori) dan praktik. Jika pendaftar lulus ujian, pendaftar menunggu antrean pengambilan foto biometrik, tanda tangan, dan sidik jari pada SIM hingga akhirnya berhasil tercetak.[12] Jika pendaftar dinyatakan belum lulus ujian, Satpas umumnya akan meminta pendaftar untuk mengulang pada hari yang sama hingga 14 hari kerja sejak dinyatakan tidak lulus.[15] Untuk pendaftar yang pindah alamat SIM, pendaftar hanya diminta membawa KTP dengan alamat baru di Satpas lokasi tujuan.[16]
Per 1 Juni 2015, Korlantas Polri juga menyediakan aplikasi permohonan pembuatan dan perpanjangan SIM berbasis daring, tersentralisasi, dan terintegrasi yang disebut dengan OCI. Sistem ini memudahkan masyarakat untuk mengajukan penerbitan SIM baru atau perpanjangan tanpa terikat domisili berdasarkan KTP-nya, serta otomatis terintegrasi dengan basis data kependudukan dan catatan sipil Kemendagri.[17] Dalam perkembangannya, perpanjangan SIM kemudian secara daring dikembangkan hingga muncul Digital Korlantas.[11]
Berikut ini persyaratan SIM perseorangan dan umum menurut penggolongan SIM
Ujian SIM dibagi menjadi dua jenis, yakni ujian teori dan ujian praktik. Ujian teori memuat pengetahuan mengenai peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas, teknik dasar berkendara, cara mengemudi, etika berlalu lintas, serta upaya kedaruratan dan pertolongan pertama bila terjadi kecelakaan. Sementara itu, pada SIM umum juga menambahkan materi mengenai pelayanan transportasi umum, fasilitas umum, tata cara menaikturunkan penumpang dan barang, serta teknik pengoperasian kendaraan dan peralatan keamanan. Sebelumnya, ujian ini diselenggarakan berbasis kertas, dan kini berbasis komputer. Apabila pendaftar lulus ujian teori, berikutnya pendaftar menjalani ujian praktik.[23]
Ujian praktik, terutama SIM C, banyak dikritik karena banyak di antara pendaftar yang tidak lulus akibat gagal menyelesaikan jalur yang dianggap mirip akrobat ekstrem (misalnya keluar dari garis batas atau menabrak patok pembatas).[27] Akibatnya, banyak di antara pendaftar memilih untuk "nembak" atau mendaftar SIM melalui calo agar dapat memperoleh SIM untuk berkendara. Korlantas mengubah alur administrasi SIM dengan mengubah materi ujian untuk SIM C. Dengan pengubahan materi ujian ini, Korlantas mengharapkan ujian SIM C semakin fleksibel serta mudah dilaksanakan oleh pendaftar sehingga potensi untuk "nembak" dapat ditekan. Dengan diterapkannya sistem baru ini, SIM tidak dapat tercetak jika pendaftar belum lulus ujian.[28]
Indonesia menerapkan sistem poin untuk menilang setiap pengguna jalan yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Umumnya proses penilangan dilakukan saat terjadi razia lalu lintas, atau melalui perilaku pengendara yang terekam pada kamera tilang elektronik (ETLE). Namun, pelanggaran yang berhubungan dengan membawa SIM dan STNK hanya dapat diketahui saat razia lalu lintas, dan tidak dapat dilakukan menggunakan ETLE.[29]
Pelanggaran lalu lintas yang tidak berhubungan dengan dokumen administrasi seperti melanggar rambu, markah jalan, APILL, atau perilaku yang membahayakan orang lain (ugal-ugalan, melanggar batas kecepatan, atau kejahatan jalanan), akan dikenakan pidana sesuai peraturan serta dicatat sebagai poin pada pangkalan data registrasi dan identifikasi (Regident) bagi pengemudi baik elektronik ataupun manual. Poin yang menumpuk hingga 12 poin menyebabkan pengemudi dapat dicabut SIM-nya untuk sementara, dan jika 18 poin dapat menyebabkan pencabutan permanen atas putusan pengadilan. Pengemudi yang dicabut SIM-nya dapat mendaftar lagi, tetapi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan mengemudi hingga lulus agar dapat mengurus SIM baru.[31]
|access-date=
|url-status=