Sulaiman bin 'Abdul-Malik (bahasa Arab: سلیمان بن عبدالملك; ± 674 - 717) adalah khalifah yang berkuasa dari Februari 715 sampai mangkatnya pada September 717. Dia menjadi khalifah sepeninggal kakak kandungnya, Al-Walid, mangkat pada 715. Sulaiman berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani.
Pada masa kekuasaannya, Sulaiman melucuti jabatan lawan-lawan politiknya, terkhusus mereka yang dulu bersekutu dengan Al-Hajjaj bin Yusuf, panglima Umayyah yang terkenal akan kekerasannya. Dia juga menghidupkan kembali upaya penaklukan Konstantinopel. Sulit menggambarkan masa kekuasaannya secara tepat lantaran waktunya yang singkat, menjadikan Sulaiman kerap dipandang sebagai tokoh yang ambigu oleh sejarawan. Peran Sulaiman dalam sejarah juga terbayang-bayangi oleh reputasi penerusnya, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, yang kerap mendapat sorotan oleh sejarawan Muslim.
Awal kehidupan
Sulaiman lahir di Madinah sekitar tahun 675 pada masa kekuasaan Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Sepeninggal Mu'awiyah bin Abu Sufyan mangkat pada 680, tampuk kekhalifahan diwariskan kepada putranya, Yazid bin Mu'awiyah. Penobatan Yazid ditentang banyak pihak dan gaya hidupnya juga dipandang tidak pantas untuk ukuran seorang pemimpin umat. Rasa ketidakpuasan terhadap Yazid melebar menjadi sentimen anti-Umayyah, sehingga seluruh anggota Bani Umayyah diusir dari kawasan Hijaz, di antaranya adalah Sulaiman sendiri bersama ayah dan kakeknya. Mereka kemudian mengungsi di Syria yang merupakan pusat kekuasaan Wangsa Umayyah.[2]
Yazid mangkat pada 683 dan takhta diwariskan kepada putranya, Mu'awiyah bin Yazid. Namun Mu'awiyah tidak genap setahun berkuasa dan mangkat tanpa meninggalkan keturunan. Sebagian suku Arab dan tokoh di Syria kemudian menyatakan kesetiaan kepada 'Abdullah bin Zubair yang menjadi khalifah pesaing Umayyah dan berpusat di Makkah. Mereka disebut kelompok Qays. Sedangkan suku-suku Arab yang mendukung Umayyah, disebut kelompok Yamani, mengangkat Marwan bin Al-Hakam menjadi khalifah. Dalam masa kekuasaannya yang tidak genap setahun, Marwan berhasil mengembalikan kawasan Syria ke dalam kendali Umayyah. Khalifah 'Abdul Malik yang merupakan putra dan penerusnya berhasil mengalahkan 'Abdullah bin Zubair dan mengembalikan kekhalifahan ke dalam satu kepemimpinan.
Pada masa 'Abdul Malik, Sulaiman ditunjuk untuk menjadi Gubernur Palestina, jabatan 'Abdul Malik pada masa Khalifah Marwan.[2][3] Pada tahun 701, Sulaiman memimpin rombongan haji. Sebelum 'Abdul Malik mangkat, dia menobatkan Al-Walid sebagai putra mahkota pertama dan Sulaiman sebagai putra mahkota kedua.[2] Sepeninggal 'Abdul Malik, Al-Walid menjadi khalifah pada 705 dan secara hukum, Sulaiman naik menjadi putra mahkota pertama. Pada masa kekuasaan Al-Walid, Sulaiman tetap menjabat sebagai Gubernur Palestina.[3] Sulaiman mengubah ibu kota provinsinya dari Al-Ludd ke Ramlah. Dia juga memerintahkan pembangunan Masjid Al-Abyan di Ramlah.[4]
Kedudukan Sulaiman menjadikannya dekat dengan kelompok Yamani yang mendominasi provinsinya. Dia menjalin hubungan kuat dengan Raja' bin Haiwah, seorang ulama tabi'in yang mengawasi pembangunan Kubah Shakhrah di Yerusalem yang dibangun atas perintah 'Abdul Malik. Raja' kemudian menjadi guru dan pendamping Sulaiman. Sulaiman juga menjalin hubungan dekat dengan lawan politik Al-Hajjaj bin Yusuf yang merupakan orang kepercayaan Khalifah Al-Walid. Pada 708, Sulaiman memberikan suaka kepada Yazid bin Muhallab bersama keluarga besarnya. Yazid sendiri sebelumnya dipecat dari jabatannya sebagai Gubernur Khorasan oleh Al-Hajjaj dan kemudian ditahan, tetapi kabur dan bersembunyi dalam perlindungan Sulaiman.[5] Saudara Sulaiman, Al-Walid, tidak berkenan dengan yang telah dilakukan adiknya tersebut. Sulaiman kemudian menawarkan diri untuk membayarkan denda yang dibebankan Al-Hajjaj pada Yazid dan mengirimkan denda tersebut kepada Al-Walid bersama dengan salah satu putra Sulaiman sendiri, Ayyub, dalam keadaan dirantai agar Yazid diberi pengampunan. Al-Walid mengabulkan permohonan adiknya meski mendapat penentangan dari Al-Hajjaj.[6][7] Yazid kemudian menjadi orang kepercayaan Sulaiman dan mengajari Sulaiman cara berpakaian yang indah, membuatkan hidangan lezat padanya, dan memberinya hadiah-hadiah besar.[8] Yazid tetap bersama Sulaiman selama sembilan bulan atau sampai kematian Al-Hajjaj pada 714.[9][10]
Kenaikan takhta
Menurut ketentuan yang dibuat 'Abdul Malik, ketika Al-Walid menjadi khalifah, maka Sulaiman menjadi putra mahkota pertama dan paling berhak atas takhta sepeninggal Al-Walid. Namun beberapa pihak menentang bila Sulaiman menjadi putra mahkota dan lebih mendukung putra Al-Walid, 'Abdul 'Aziz. Di antara tokoh penentang itu antara lain Al-Hajjaj bin Yusuf, Qutaibah bin Muslim yang menjabat Gubernur Khurasan, Musa bin Nushair yang merupakan penakluk Al-Andalus dan Gubernur Ifriqiyah (Afrika Utara), dan Muhammad bin Qasim yang merupakan panglima yang menaklukkan Sindh, mereka adalah tokoh-tokoh penting yang menguatkan pondasi Umayyah di kekhalifahan.
Dalam upaya melempangkan jalan putranya sendiri ke takhta, Al-Walid menawarkan sejumlah besar dana kepada Sulaiman agar mau melepas kedudukannya kepada takhta, tetapi Sulaiman menolak. Penasihat Al-Walid, 'Abbad bin Ziyad, mengusulkan agar Sulaiman diundang ke istana khalifah di Damaskus untuk dipaksa melepas kedudukannya secara resmi.[11] Namun saat Al-Walid mengundang Sulaiman ke Damaskus, Sulaiman juga tidak hadir dan mengulur-ulur waktu.
Al-Walid mangkat pada Februari 715 sebelum kedudukan putra mahkota sempat diubah secara resmi. Hal ini menjadikan Sulaiman naik takhta menjadi khalifah tanpa penentangan berarti[11] dan menerima bai'at di Ramlah.[12] Sulaiman tetap memerintah dari Palestina saat menjadi khalifah.[13] Sejarawan Reinhard Eisener mengutip sumber Syria abad pertengahan bahwa Sulaiman menetapkan Yerusalem sebagai pusat pemerintahannya,[2] sementara Wellhausen dan Hugh N. Kennedy menyatakan bahwa dia tetap berada di Ramlah.[14]
Khalifah
Perubahan politik
Selama menjadi gubernur, Sulaiman berkeyakinan bahwa alih-alih menumbuhkan kesetiaan, pemerintahan Al-Hajjaj justru menyuburkan rasa benci rakyat Iraq pada Umayyah. Hal ini menjadikan Sulaiman melucuti kedudukan banyak para pejabat provinsi yang ditunjuk Khalifah Al-Walid dan Al-Hajjaj pada tahun pertamanya menjadi khalifah.
Al-Hajjaj sendiri meninggal pada masa kekuasaan Al-Walid, tetapi keluarganya disiksa dan harta mereka disita atas perintah Sulaiman. Musa bin Nushair yang dipandang berupaya mendirikan dinastinya sendiri di Afrika Utara dan Al-Andalus kemudian diberhentikan dan menghabiskan masa pensiun di Madinah. Putra Musa, 'Abdul 'Aziz bin Musa, dibunuh dan kepalanya dikirim kepada Sulaiman saat Musa bin Nushair juga ada di sana. Sebagian pendapat menyatakan bahwa Sulaiman yang memberi perintah atas hal tersebut,[15] tetapi Ibnu Khaldun berpendapat bahwa perintah itu dari Habib bin Abu 'Ubaidah, keturunan bangsawan Arab di Kairouan.[16] Beberapa hal yang ditengarai menjadi penyebab peristiwa tersebut adalah 'Abdul 'Aziz bin Musa dikatakan telah menjadi Kristen lantaran terpengaruh istrinya, Permaisuri Egilona, janda Raja Roderikus, meski sangat mungkin bahwa kabar tersebut disebarkan oleh lawan politiknya. Atas desakan Qutaibah, Sulaiman mempertahankan kedudukannya sebagai Gubernur Khurasan, tetapi Qutaibah sendiri kemudian dikudeta dan dibunuh pasukannya sendiri yang dipimpin Waki bin Abi Sud lantaran sang gubernur berusaha mengkhianati Sulaiman.[17][18] Muhammad bin Qasim sendiri ditahan dan dihukum mati atas pengaruh Salih bin 'Abdurrahman, pejabat berpengaruh di kawasan Iraq, yang kerabatnya ditahan dan dihukum mati oleh Al-Hajjaj.[19]
Sebagian sejarawan menyatakan bahwa masa kekuasaan Sulaiman merupakan kembalinya kekuatan politik kelompok Yamani, sebagian lain menyatakan bahwa tidak ada tanda-tanda Sulaiman mengunggulkan satu kelompok atas lainnya. Sulaiman sendiri juga menjalin hubungan dekat dengan pasukan kelompok Qays di Mesopotamia Hulu.
Setelah melucuti kekuatan lawan-lawan politiknya, Sulaiman menempatkan orang-orang kepercayaannya menggantikan mereka. Yazid bin Muhallab ditetapkan sebagai Gubernur Iraq. Waki bin Abi Sud menyatakan dirinya sebagai Gubernur Khurasan sepeninggal Qutaibah dan Sulaiman mengakui kedudukannya, meski Sulaiman membatasi kekuasaannya hanya dalam urusan militer. Sepupu Sulaiman, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz yang dulu diberhentikan menjadi Gubernur Madinah oleh Al-Walid atas usulan Al-Hajjaj kemudian menjadi tangan kanan dan penasihat utama khalifah. Sulaiman sendiri kemudian memerintahkan pembebasan tahanan politik di kawasan Iran dan Iraq yang pada umumnya adalah pendukung ahlul bait.
Terdapat beberapa pendapat mengenai kebijakan Sulaiman ini. Sebagian menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan awal dari menurunnya kekuasaan Umayyah lantaran tokoh-tokoh yang diberhentikan ini merupakan sosok berpengaruh yang memberi sumbangsih materi besar atas kekhalifahan. Namun dalam sudut pandang lain, berbagai keputusan ini dipandang tepat lantaran perilaku keagamaan para pejabat baru yang lebih baik dan kebijakan mereka yang lebih akomodatif dengan suara rakyat. Hal ini membalikkan persepsi rakyat di berbagai kawasan untuk lebih menerima kekuasaan Umayyah.[20]
Militer
Sebagaimana pendahulunya, Sulaiman mempertahankan kebijakan militer. Meski demikian, upaya perluasan wilayah kekhalifahan hampir terhenti lantaran perlawanan pasukan lokal yang lebih efektif dari sebelumnya. Namun sejarawan menyatakan bahwa ini bukanlah tanda mengendurnya semangat perluasan wilayah. Selama kampanye empat bulan pada 716/717, Yazid mengepalai pasukan berkekuatan 100.000 orang yang berasal dari garnisun Kufah, Basrah, Jibal, Khurasan, dan Syria, berhasil menaklukkan Kepangeranan Jurjan dan Thabaristan, keduanya berada di pantai selatan Laut Kaspia.[2][21]
Perhatian utama Sulaiman terkait militer adalah perang dengan Romawi Timur[14] yang saat itu dipimpin Kaisar Leo III, pendiri Wangsa Isaurian. Sulaiman menunjuk putranya, Dawud, untuk memimpin pasukan pada musim panas dan menundukkan Hisn al-Mar'a (Benteng Wanita) di dekat Malatya di kawasan Anatolia Timur/Armenia Barat.[22] Setelah memimpin rombongan haji pada akhir 716, Sulaiman kembali ke Syria dan berkemah di Dabiq untuk memantau perang antara pihak Umayyah dan Romawi. Dia mengirim saudara tirinya, Maslamah, untuk mengepung Konstantinopel lewat darat dengan perintah untuk tetap di sana sampai penaklukan berhasil atau dipanggil khalifah untuk kembali.[23] Sebelumnya pada awal 716, angkatan laut Umayyah di bawah pimpinan 'Umar bin Hubairah juga meluncurkan penyerangan ke Konstantinopel. Meski demikian, upaya penaklukan tersebut gagal dan pihak Romawi berhasil memukul mundur pasukan Umayyah pada awal musim panas 717.[2]
Kebijakan lain
Di kancah domestik, dengan baik ia telah membangun Makkah untuk ziarah dan mengorganisasi pelaksanaan ibadah. Sulaiman dikenal untuk kemampuan pidatonya yang luar biasa, tetapi hukuman matinya pada ketiga jenderalnya menyuramkan reputasinya.
Dalam masalah pewarisan takhta, Sulaiman menunjuk putranya, Ayyub, sebagai putra mahkota. Namun Ayyub meninggal mendahului Sulaiman pada awal 717.[24] Sulaiman kemudian berencana menunjuk putranya yang lain, Dawud, sebagai putra mahkota, tetapi Raja' bin Haiwah tidak sepakat dengan alasan bahwa Dawud sedang berperang di Konstantinopel dan tidak ada kejelasan mengenai kembalinya. Raja' mengusulkan agar mengangkat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai pewaris sebab reputasi 'Umar sebagai salah satu dari yang bijaksana, cakap, dan saleh pada masa itu. Sulaiman menyepakati usulan tersebut. Namun demi menghindari perselisihan di dalam tubuh Umayyah antara pihak 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dengan saudara-saudara Sulaiman, Sulaiman menetapkan saudaranya, Yazid, sebagai putra mahkota kedua.[25]
Sulaiman dikenal sebagai tokoh yang menghidupkan kembali kegiatan shalat di awal waktu, yang mana pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang mengakhirkan shalat. Dia juga melarang adanya nyanyian dan musik.[26]
Mangkat
Sulaiman mangkat di Dabiq pada September 717.[2] Menurut laporan, Sulaiman jatuh sakit setelah shalat Jum'at dan meninggal beberapa hari kemudian.[25] Anak-anaknya tetap tinggal di Palestina dan menjalin hubungan dekat dengan kelompok Yamani.[27]
Sebuah tantangan untuk menggambarkan secara tepat masa kekuasaan Sulaiman karena terbilang singkat,[2] menjadikannya sebagai tokoh yang cenderung ambigu di mata sejarawan.[28] Selain itu, peran Sulaiman sendiri cenderung kurang mendapat perhatian lantaran para sejarawan Muslim umumnya sangat menitikberatkan penerusnya, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.[29]
Rujukan
^Dr. Eli Munif Shahla, "Al-Ayam al-Akhira fi Hayat al-Kulafa", Dar al-Kitab al-Arabi, 1st ed., 1998, p. 236