Ini adalah daftar orang-orang yang pernah menyandang gelar Khalifah, pemimpin agama dan politik tertinggi dari sebuah negara Islam yang dikenal sebagai Khilafah, dan gelar penguasa Umat Islam, sebagai penerus politik Muhammad. Semua tahun menurut Masehi. Beberapa Muslim percaya bahwa, setelah meninggalnya Muhammad pada tahun 632, krisis suksesi muncul karena Muhammad tidak meninggalkan ahli waris yang diakui secara umum.
Penunjukan Khalifah
Pada umumnya, khalifah utama ini diakui oleh hampir semua dunia Islam. Ketersambungan kepemimpinan ini setidaknya terdapat beberapa macam:
Penunjukkan. Seorang khalifah menunjuk seseorang untuk menjadi penerusnya. Hal ini seperti yang dilakukan Abu Bakar kepada 'Umar bin Khattab, Mu'awiyah kepada Yazid, dan Sulaiman bin 'Abdul Malik kepada 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Dalam cara ini, seseorang yang telah ditunjuk akan menjadi khalifah setelah khalifah lama mangkat.
Pengangkatan. Seorang khalifah baru diangkat oleh dewan musyawarah, majelis negara, atau pihak berwenang lain yang merupakan bagian dari pemerintahan khalifah sebelumnya. Bila tidak, tokoh berpengaruh yang semula berada di luar lingkaran dalam khalifah lama dapat menunjuk seseorang calon dan disetujui para pemuka dari anggota pemerintahan khalifah sebelumnya. Contoh kasusnya adalah pengangkatan 'Ali bin Abi Thalib dan Marwan bin al-Hakam.
Pewarisan. Metode ini biasanya dilakukan dalam sistem monarki dinasti yang menunjuk anggota keluarga besar penguasa lama sebagai penerus. Sistem pewarisan ini tidak harus menurunkan jabatan yang bersangkutan dari orang tua kepada anak, tapi bisa juga kepada kerabat lain yang masih dipandang sebagai satu keluarga besar dengan penguasa lama. Di masa Abbasiyah sendiri, tampuk kekhalifahan sering diwariskan dari penguasa lama ke saudaranya, sepupunya, atau keponakannya.
Penyerahan. Seorang khalifah lama menyerahkan kedudukannya kepada orang yang dia tunjuk. Berbeda dengan metode penunjukkan, penyerahan berarti khalifah lama masih hidup dan turun takhta sehingga khalifah baru dilantik saat pendahulunya masih hidup dalam keadaan sudah bukan merupakan khalifah lagi. Hal ini pernah dilakukan Hasan bin 'Ali yang menyerahkan kedudukannya kepada Mu'awiyah dan Muhammad al-Mutawakkil III kepada Selim I.
Penggulingan. Khalifah baru mendapat kedudukannya setelah menggulingkan khalifah sebelumnya. Hal ini terjadi pada Wangsa Abbasiyah yang menggulingkan Wangsa Umayyah.
Selain lima metode tersebut, ada juga beberapa kasus khusus.
Pemilihan 'Utsman menjadi khalifah merupakan gabungan dari metode penunjukkan dan pengangkatan. Di ranjang kematian, 'Umar menunjuk enam orang untuk memilih salah satu di antara mereka menjadi khalifah.
Wangsa Abbasiyah mulai abad kesembilan secara praktik menggunakan gabungan pewarisan dan pengangkatan. Khalifah harus merupakan keluarga Abbasiyah, tapi para tokoh militer berpengaruh kerap campur tangan secara terbuka. Pada masa-masa Khalifah Abbasiyah kehilangan sebagian besar pengaruhnya, para pemuka militer ini bahkan memiliki kekuatan untuk menurunkan khalifah yang sudah dipandang tidak layak.
Kekhalifahan dimulai sejak Abu Bakar dilantik menjadi khalifah pada 632 dan pembubaran kekhalifahan pada 3 Maret 1924. Sesuai latar belakang masing-masing khalifah, kekhalifahan dibagi menjadi beberapa masa.
11 November 644 (23 H) – 20 Juni 656 (35 H) (11 tahun, 223 hari)
Bergelar Dzun Nurrain (dua cahaya) karena menikahi dua putri Muhammad
Anggota Bani Umayyah pertama yang menjadi khalifah. Meski begitu, 'Utsman tidak dimasukkan dalam daftar khalifah dari Dinasti Umayyah karena Bani Umayyah bukan sebuah dinasti pada masanya.
Wangsa Abbasiyah adalah keluarga besar yang merupakan keturunan dari 'Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad. Silsilah dari ayah dari dua khalifah Bani Abbasiyah pertama adalah Muhammad bin 'Ali bin 'Abdullah bin 'Abbas. Masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama adalah sebelum jatuhnya Baghdad pada 1258 dan periode kedua adalah setelah penaklukan Baghdad.
Periode pertama (750-1258)
Pada masa ini, khalifah tidak lagi memiliki kendali langsung atas semua wilayah negara Islam. Gelar sultan mulai digunakan untuk merujuk pada penguasa Muslim yang menguasai wilayah tertentu di dunia Islam, berbeda dengan khalifah yang merupakan pemimpin seluruh dunia Islam. Namun dalam praktiknya, daerah kekuasaan beberapa sultan lebih luas daripada wilayah yang dipimpin langsung oleh khalifah. Meski sepenuhnya mandiri dari campur tangan khalifah dalam memerintah wilayah kekuasaannya, para sultan ini tetap menyatakan ketundukannya kepada khalifah meski hanya secara simbolis. Terdapat 37 khalifah pada masa ini, terhitung dari 'Abdullah as-Saffah naik takhta sampai terbunuhnya 'Abdullah al-Musta'shim pada 1258 saat Baghdad jatuh ke tangan Mongol.
5 Desember 1242 – 20 Februari 1258 (15 tahun, 78 hari)
Ayah: (55) Manshur Al-Mustanshir
Ibu: Hajir, budak-selir Habasyah
Khalifah Abbasiyah periode pertama yang terakhir.
Setelah kehancuran Baghdad oleh tentara Mongol pada 1258, sebagian anggota Wangsa 'Abbasiyah berlindung di Mesir dan melanjutkan garis kekhalifahan di sana
Periode kedua (1261–1517)
Setelah Baghdad runtuh, Wangsa Abbasiyah mengungsi ke Mesir yang saat itu dikuasai Kesultanan Mamluk dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana. Berbeda saat sebelum kejatuhan Baghdad, Khalifah Abbasiyah di Mesir sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan dan hanya berperan sebagai simbol pemersatu dunia Islam. Kekurangan dalam memiliki kekuatan politik menjadikan khalifah pada masa ini kerap terombang-ambing saat terjadi pergolakan di pemerintahan Mesir, membuat khalifah pada periode ini juga disebut dengan "khalifah bayangan." Sultan Mamluk bahkan mampu menunjuk khalifah yang baru atau menggulingkan khalifah yang sedang berkuasa.
Terdapat 17 khalifah pada periode ini. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Periode kedua Wangsa Abbasiyah berakhir setelah Kesultanan Mamluk ditaklukan oleh Kesultanan Utsmaniyah pada 1517.
Sebelum penaklukan Mesir, para penguasa Utsmani menyandang beberapa gelar, di antaranya adalah sultan dan padisyah. Penguasa Utsmani menyandang gelar sultan atas kedudukan mereka sebagai kepala negara Muslim. Padisyah merupakan kaisar atau maharaja dalam bahasa Persia dan penguasa Utsmani menyandang gelar ini untuk menegaskan kedudukan mereka di atas para raja. Penguasa Utsmani resmi menyandang gelar khalifah setelah penaklukan Mesir, meski beberapa penguasa Utsmani sebelumnya sudah mulai mengklaim dirinya sebagai khalifah.
Gelar khalifah kehilangan kekuasaannya sebagai kepala negara sejak jatuhnya Baghdad pada 1258 dan hanya berperan menjadi pemimpin simbolis dunia Islam. Hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah, bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri. Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat Perjanjian Küçük Kaynarca, untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdül Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, Mustafa Kemal (Atatürk) belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdül Mejid II pada 19 November 1922. Abdül Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdül Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdül Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
Ibu tiri dan angkatnya, Rahime Perestu, menjadi valide sultan pada masa kekuasaannya
100
Mehmed V محمد خامس 27 April 1909 – 3 Juli 1918 (9 tahun, 68 hari)
2 November 1844 – 3 Juli 1918(1918-07-03) (umur 73)
Ayah: (96) 'Abdül Mejid I
Ibu: Gülcemal Kadın dari Bosnia
Saudara dari (98) Murad V dan (99) 'Abdül Hamid II
101
Mehmed VI محمد السادس 4 Juli 1918 – 1 November 1922 (4 tahun, 121 hari)
(1861-01-14)14 Januari 1861 – 16 Mei 1926(1926-05-16) (umur 65)
Ayah: (96) 'Abdül Mejid I
Ibu: Gülüstü Hanım dari keluarga bangsawan Abkhaz, Syervasyidze (Chachba)
Saudara dari (98) Murad V, (99) 'Abdül Hamid II, dan (100) Mehmed V
Kesultanan Utsmaniyah dibubarkan pada 1 November 1922 oleh Majelis Agung Nasional Turki, menjadikan Mehmed VI sebagai Sultan Utsmaniyah terakhir
102
'Abdül Mejid II عبد المجید الثانی 19 November 1922 – 3 Maret 1924 (1 tahun, 106 hari)
29/30 Mei 1868 – 23 Agustus 1944(1944-08-23) (umur 76)
Ayah: (97) 'Abdül 'Aziz
Ibu: Hayranidil Kadın dari Kaukasus
Sepupu dari (101) Mehmed VI
Satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan, karena Kesultanan Utsmaniyah sudah dibubarkan pada tahun 1922
Khalifah terakhir
Kekhalifahan pendek
Idealnya, kedudukan khalifah hanya diisi satu orang setiap satu masa. Namun pada keberjalanannya, beberapa pihak menyatakan diri sebagai khalifah saat masih ada khalifah yang sedang berkuasa. Sebagai catatan, saat pihak-pihak tersebut menyatakan dirinya sebagai khalifah, itu tidak berarti bahwa dia menyejajarkan dirinya dengan khalifah utama. Khalifah adalah gelar bagi pemimpin dunia Islam dan normalnya, hanya ada satu khalifah setiap masa, sehingga pernyataan diri sebagai khalifah bermakna bahwa pihak tersebut secara prinsip mengklaim sebagai pemimpin tunggal seluruh dunia Islam (terlepas wilayah kekuasaan yang sebenarnya) dan menganggap khalifah lainnya sebagai khalifah yang tidak sah.[1]
Bagian ini memuat daftar pihak-pihak yang melakukan pernyataan diri sebagai khalifah, tanpa ketersambungan kepemimpinan dengan khalifah sebelumnya.
'Abdullah bin Zubair menolak upaya Mu'awiyah bin Abu Sufyan menetapkan putranya sendiri, Yazid, sebagai khalifah sepeninggalnya. Saat Yazid kemudian mangkat pada 683, 'Abdullah bin Zubair menyatakan diri sebagai khalifah. Wilayah kekuasaannya berada di kawasan Hijaz. Ibnu Zubair akhirnya terbunuh pada Pengepungan Makkah tahun 692 oleh komandan Umayyah al-Hajjaj bin Yusuf.[2]
Fatimiyah berasal dari Ismaili yang merupakan cabang dari Syi'ah, oleh karena itu kekhalifahan ini tidak diakui oleh sebagian besar Sunni, baik dalam wilayah kekuasaan mereka maupun negara tetangga.[3][4] Para penguasa Fatimiyah mengklaim sebagai keturunan dari nama putri Muhammad, Fatimah, yang mana menjadi dasar bagi penamaan Fatimiyah.
Setelah Wangsa Umayyah yang berkuasa di Damaskus digulingkan oleh Wangsa Abbasiyah pada tahun 750, keturunan mereka yang tersisa meninggalkan tempat kekuasaan lama mereka dan berkuasa di semenanjung Iberia (kawasan Spanyol dan Portugal modern). Meski 'Abdurrahman III sebagai khalifah pertama di Kordoba merupakan keturunan para Khalifah Umayyah yang berkuasa di Syam, para khalifah Kordoba tidak dimasukkan dalam daftar khalifah utama. Hal ini karena dari berakhirnya kekuasaan Umayyah di Damaskus sampai tahun 929, anggota Wangsa Umayyah pada umumnya mengakui Wangsa Abbasiyah sebagai pemimpin dunia Islam yang sah.[5] Mereka sendiri awalnya menggunakan gelar 'amir' atau 'sultan' saat berkuasa di Andalusia. Namun pada tahun 929 (hampir dua abad setelah kekuasaan Umayyah di Damaskus runtuh), 'Abdurrahman III baru menyatakan dirinya sebagai khalifah, sehingga klaimnya tidak tersambung dengan para khalifah leluhurnya. Sebagaimana khalifah lain, Khalifah di Kordoba juga mengklaim kepemimpinan atas seluruh dunia Islam, meski secara de facto kekuasaannya hanya berkisar di Andalusia dan Maghrib.
Khalifah di Kordoba hanya bertahan selama satu abad. Selama rentang waktu tersebut, tampuk kekhalifahan dipegang oleh Wangsa Umayyah dan Wangsa Hammud.
Upaya terakhir untuk mengembalikan kekhalifahan dengan pengakuan ekumenis dilakukan oleh Syarif Husain dari Hijaz dan Syarif Makkah, yang memimpin pada 11 Maret 1924 sampai 3 Oktober 1924, ketika ia meninggal dan tahta tersebut turun kepada anaknya Ali bin Husain, tetapi anaknya tidak ingin menerapkan kekhalifahan.[8]
Pada 2014-15, lusinan kelompok Salafi Jihadi[13] dan ulama[14] di seluruh dunia berjanji setia kepada ISIL mengklaim Kekhalifahan.
Pada awal tahun 2022, ISIS menempati beberapa wilayah di Nigeria dan memiliki 3 juta orang di bawah kekuasaannya;[15] terus mempertahankan kendali atas 5 kantong gurun tak berpenghuni di Suriah Tengah.[13] and scholars[14]
^Yusuf al-Qaradawi stated: "[The] declaration issued by the Islamic State is void under sharia and has dangerous consequences for the Sunnis in Iraq and for the revolt in Syria", adding that the title of caliph can "only be given by the entire Muslim nation", not by a single group. Strange, Hannah (5 July 2014). "Islamic State leader Abu Bakr al-Baghdadi addresses Muslims in Mosul". The Telegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-12. Diakses tanggal 6 July 2014.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)