Tentara Spanyol meniru tentara Maroko di sebuah gang jalan di kota Sidi Ifni selama perang Ifni, 15 February 1958.
Di tahun 1948, Spanyol memiliki deposit uranium terbesar di dunia setelah Prancis.[2] Sehingga di bulan September, dengan menggunakan dekrit rahasia, Francisco Franco mendirikan Junta de Investigaciones Atómicas (JIA), atau Dewan Riset Nuklir. Berdiri pada 8 Oktober 1948,[3] dewan dibentuk oleh José María Otero de Navascués [es] (direktur jenderal dan presiden hingga tahun 1974), Manuel Lora-Tamayo, Armando Durán Miranda [es] dan José Ramón Sobredo y Rioboo [es].[4] Di tahun 1951, tahap rahasia dinyatakan berakhir, dan JIA berganti nama menjadi Junta de Energía Nuclear (JEN), atau Dewan Energi Nuklir,[5] diresmikan di Universitas Kota Madrid di bawah kepemimpinan Jenderal Juan Vigón[6] dan Otero de Navascués sebagai direktur jenderal. Tujuan JEN adalah untuk bekerja sebagai "pusat penelitian, lembaga penasehat pemerintah, dan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap perlindungan terhadap bahaya radiasi pengion, dan sebagai penggerak perkembangan industri di bidang penerapan energi nuklir".
Pada tanggal 1 April 1939, Amerika Serikat mengangkat embargo yang diterapkan kepada Spanyol setelah [[Perang Sipil Spanyol, memberikan pengakuan terbatas kepada Negara Spanyol,[7]:16 dan kedutaan besar kepada Spanyol, yang sebelumnya di Barcelona, pindah ke kota Madrid pada tanggal 13.[8] Dengan Spanyol sebagai anggota kekuatan Axis, terdapat skeptisisme di antara negara-negara barat mengenai apakah mereka dapat diizinkan untuk bergabung dengan ordo internasional seperti PBB. Opini publik tentang Negara Spanyol cukup rendah dan ini dapat dibuktikan dengan permasalahan Spanyol, seperti ketika Konferensi San Francisco, dengan inisiatif dari delegasi Australia dan Meksiko, sebuah mosi diadopsi, dengan tanpa secara eksplisit menyebut Spanyol, mereka menyebutnya dengan ungkapan berikut:
Berdasarkan paragraf 2 Bab III, Delegasi Meksiko mempertimbangkan bahwa paragraf ini tidak bisa diterapkan kepada negara yang rezimnya dibentuk dengan bantuan militer dari negara-negara yang telah berperang melawan Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang rezim ini masih berkuasa.[9]
Spanyol tidak hadir ketika konferensi. Namun pemimpin Republikan Spanyol menghadirinya, dan mengerahkan pengaruhnya, termasuk syarat masuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, ke beberapa delegasi.[9][10] Pada Konferensi Potsdam, permasalahan mengenai bagaimana melanjutkan urusan dengan Spanyol pasca perang adalah salah satu yang pertama dikerjakan. Dalam hal ini, Stalin, dalam beberapa cara, menginginkan balas dendam terhadap Spanyol di bawah Franco, karena negara tersebut pernah mengirimkan Divisi Biru (sukarelawan yang berperang bersama dengan angkatan bersenjata Jerman) melawan Uni Soviet selama Perang Dunia II.[9]
Pada konferensi ini, tiga negara adidaya pemenang Perang Dunia II (Amerika Serikat, Britania Raya, dan Uni Soviet) mengeluarkan pernyataan:
Namun ketiga pemerintah merasa terpaksa untuk menyatakan bahwa mereka tidak akan mendukung permintaan apapun untuk menerima (masuk ke dalam PBB) pemerintahan Spanyol saat ini, yang telah dibangun menggunakan dukungan negara-negara Axis, yang dengan alasan pembentukannya, sifatnya, sejarahnya, dan keterkaitan eratnya dengan negara-negara agresor, menunjukkan berbagai kualitas yang diperlukan untuk membenarkannya.
Atoms for Peace dan hubungan dengan Amerika Serikat
Ketika Perang Dingin dimulai, dan agen rahasia Spanyol, ofisial militer Amerika Serikat, dan pebisnis Amerika Serikat melobi untuk membuka hubungan di antara kedua negara, opini yang populer mulai bergeser. Penunjukkan duta besar Amerika Serikat untuk Madrid diumumkan pada tanggal 27 Desember 1950. Di bulan Juli tahun 1951, negosiasi dimulai untuk pembentukan aliansi yang pada akhirnya menjadi Pakta Madrid.[11] Di tahun 1955, di tengah-tengah menghangatnya hubungan antara Amerika Serikat dan Spanyol, juga naiknya status Spanyol menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Francisco Franco dan Presiden Dwight D. Eisenhower menandatangani persetujuan kerja sama nuklir sebagai bagian dari inisiatif Atoms for Peace, membuka riset nuklir kepada masyarakat sipil dan negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki teknologi nuklir. Argumen Eisenhower bertujuan untuk terbentuknya persetujuan nonproliferasi di seluruh dunia untuk menghentikan penggunaan senjata nuklir di dalam militer. Meski negara-negara yang sudah memiliki senjata nuklir tetap menyimpan senjata mereka dan meningkatkan suplainya, program ini dirancang untuk mencegah negara lain mengembangkan senjata serupa. Program ini juga menciptakan regulasi penggunaan tenaga nuklir, yang bertujuan untuk membentuk penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan positif semata. Pada akhirnya program ini tidak berjalan sebagaimana yang telah dituju. Di bawah program terkait Atoms for Peace, Amerika Serikat mengekspor lebih dari 25 ton uranium yang telah diperkaya dengan sangat tinggi ke 30 negara, sebagian besar sebagai bahan bakar reaktor riset, yang sekarang dikatakan sebagai proliferasi dan juga risiko terorisme.[12][13][14] Faktanya, ini akan menjadi program yang memungkinkan Jenderal Francisco Franco, ditemani oleh Menteri Kepresidenan Pemerintah Luis Carrero Blanco, untuk meresmikan Juan Vigón National Nuclear Energy Center di Universitas Kota Madrid pada 27 Desember 1958.[1][15] Bersama dengan Rencana Stabilisasi tahun 1959 dan Keajaiban Spanyol yang akan datang, Spanyol dapat bergerak menjauhi autarki sebelumnya, memungkinkan dimulainya sektor nuklir sipil yang baru berkembang yang akan menjadi pondasi Proyek Islero.
Di tahun 1956, Maroko akan mendeklarasikan kemerdekaannya dari Prancis di bawah pemerintahan Muhammad V. Kemudian mereka akan meminta seluruh wilayah di bawah label Maroko Raya, termasuk seluruh wilayah Spanyol di Afrika. Sementara Spanyol akan mundur dari wilayah kekuasaannya di Maroko, mereka tetap akan mempertahankan Ceuta, Melilla, Ifni, Sahara Spanyol, dan Semenanjung Juby. Ini tidaklah cukup, dan di tahun 1957, Maroko mendeklarasikan perang terhadap Spanyol, menegaskan kedaulatan negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya tersebut terhadap wilayah Afrika Barat Spanyol.[15] Pertempuran berlanjut hingga tahun 1958, dan meski berada di bawah Traktat Angra de Cintra, Spanyol mempertahankan Sidi Ifni hingga tahun 1969 ketika mereka mundur dari wilayah tersebut. Spanyol pada akhirnya tidak dapat mempertahankan semenanjung Juby dan wilayah sekitar Ifni kepada Maroko. Dari situ, Defence High Command mulai berteori akan kemungkinan penggunaan pencegahan bersenjata di hadapan konflik yang akan terjadi di masa depan. Dan di tahun 1963, mereka mulai menempatkan ide bom atom Spanyol, mengajukan laporan rahasia mengenai kemungkinan membuatnya tanpa memunculkan kecurigaan masyarakat internasional.
Proyek ini dibagi menjadi dua tahap, bom atom itu sendiri dan konstruksi reaktor nuklir, di mana bahan bakarnya akan digunakan untuk diekstraksi plutoniumnya untuk membuat bom. Sedangkan reaktornya dapatdibangun dengan bantuan Prancis. Charles de Gaulle mendukung ide Spanyol atom, di mana material yang akan mereka gunakan untuk bomnya itu sendiri, juga bagaimana mereka membangunnya, menjadi pertimbangan tersendiri. Hasil awalnya berwujud kegagalan. Para spesialis JEN, yang kesemuanya anggota militer, menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui detail teknis mengenai cara membangun perangkat bom atom dan mendapatkan plutonium yang dibutuhkannya.
Pertanyaan mereka terjawab ketika pada tanggal 17 Januari 1966, ketika pesawat pengebom B-52G dari Amerika Serikat jatuh ketika sedang membawa bom nuklir B28, sebuah bom termonuklir hidrogen,[20][21][22] Tiga bom dapat ditemukan di daratan dekat sebuah desa nelayan di Palomares. Bahan peledak non-nuklir di dua senjata yang ada meledak ketika bertabrakan dengan daratan, menghasilkan kontaminasi radioaktif plutonium seluas 2 km2. Bom keempat yang jatuh di Laut Mediterania, dapat diperoleh kembali dua setengah bulan kemudian.[23] Pemerintah Spanyol melaksanakan riset rahasia di lokasi insiden, di mana teknisi yang dipimpin oleh Velarde menemukan sisa-sisa bom dan detonator di lokasi. Dengan melakukan itu, Velarde memahami bagaimana cara kerja bom desain Teller–Ulam. Hal ini memungkinkan proyek untuk menggunakan Plutonium-239, sebuah keuntungan karena harganya yang relatif murah, dan menjadikan desain bom yang dikonstruksi oleh proyek ini bertipe senjata termonuklir.
Kemunduran (1966–1971)
Kemudian di tahun itu, Franco mengadakan pertemuan dengan Velarde di mana ia memerintahkan untuk menunda tanpa batas waktu pengembangan proyek secara fisik, tapi tidak secara teori dikarenakan kekhawatirannya untuk tidak mampu menjaga kerahasiaannya, dan dengan International Atomic Energy Agency yang baru saja berdiri, publisitas akan memicu peningkatan sanksi ekonomi terhadap Spanyol. Meski demikian, ia tetap mengizinkan riset terus berjalan, meski terpisah dari angkatan bersenjata. Franco juga tidak menandatangani perjanjian internasional yang dibuat untuk menegosiasikan pelarangan manufaktur senjata nuklir. Sehingga pada tanggal 1 Juli 1968 ketika lima puluh negara telah menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir atau NPT, Spanyol tidak termasuk di dalamnya. Sementara itu, Spanyol mulai menjajaki tenaga atom di tempat lain. Di Guadalajara, konstruksi PLTN Spanyol yang pertama, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir José Cabrera sedang berlangsung, dan JEN memasang reaktor Spanyol pertama dengan kapasitas produksi plutonium, Coral-I, yang dapat bekerja dengan menggunakan Pu-239 atau dengan U-235 90% meski dengan limbah yang masih mengandung bahan bakar yang sama besarnya dengan yang telah dikonsumsi. Di tahun 1969, Spanyol mulai mendapatkan gram Pu-239 pertamanya, dan merupakan negara pertama di luar kendali IAEA yang mendapatkannya.[1]
Di tahun 1971, atas keinginan Manuel Díez-Alegría, kepala staf Jenderal Tinggi, Velarde melanjutkan kembali Project Islero. Centro Superior de Estudios de la Defensa Nacional [es] (CESEDEN) kemudian membuat laporan resmi yang menyimpulkan bahwa "Spanyol telah secara sukses menerapkan opsi nuklir militer". Plutonium diproduksi secara rahasia di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Vandellòs Nuclear, dengan Sahara Spanyol direncanakan sebagai lokasi uji. Semua itu memakan biaya 8.7 miliar peseta Spanyol atau 57 juta US$.[1] Di saat yang bersamaan, Muñoz Grandes, José María Otero de Navascués [es] dan direktur jenderal JEN Antonio Colino [es] memulai negosiasi dengan Prancis pimpinan Charles de Gaulle untuk mendapatkan reaktor nuklir berbahan bakar gas dan grafit uranium alami. Mendapatkan plutonium yang cukup untuk membuat sebuah bom (6 kg), di negara di mana tanahnya mengandung jumlah Uranium terbesar kedua di Eropa, bukanlah sebuah mimpi, terutama jika dibantu oleh Prancis yang bahkan tidak mengizinkan IAEA menginspeksi reaktor nuklirnya. Charles de Gaulle dan penerusnya Georges Pompidou, mendukung proyek ini. Keberadaan aliansi kekuatan nuklir di benua dipandang sebagai peningkatan independensi Prancis terhadap Amerika Serikat dan NATO.[15] Hingga kemudian, Hispano Francesa de Energía Nuclear S.A. (HIFRENSA) dibangun, dan di tahun 1972 reaktor Vandellòs-I diresmikan dengan perjanjian antara Luis Carrero Blanco dan Charles de Gaulle.[24]
Di tanggal 15 Desember 1973, Velarde mengabarkan kepada Letjen Manuel Díez-Alegría — yang ketika itu merupakan kepala komando tinggi di awal dekade 1970an, mendorongnya untuk memenuhi investigasinya – dan kepada orang kepercayaannya, Brigjen Manuel Gutiérrez Mellado, bahwa Spanyol telah memiliki kapasitas dalam memanufaktur tiga bom plutonium dalam setahun. Díez-Alegría memerintahkannya untuk menyatakan temuannya dalam tulisan.[25] Namun kerahasiaan yang menyelimuti program nuklir Spanyol tidak berjalan selaras dengan sekutu mereka Amerika Serikat. Meski proyek Spanyol telah menarik perhatian CIA, dilantiknya Carrero Blanco menjadi Perdana Menteri Spanyol membuat perhatian ini dengan segera berubah menjadi kekhawatiran. Meski diyakini merupakan antikomunis, Carrero Blanco hanya memiliki sedikit kecenderungan terhadap Amerika Serikat, dan lebih kecil lagi terhadap Israel, dan lebih mengutamakan Dunia Arab. Carrero Blanco mengusulkan untuk merevisi hubungan Spanyol dengan Amerika Serikat, meminta agar kedua negara diperlakukan secara setara, dan Spanyol disuplai dengan teknologi militer maju, dan Amerika Serikat berkomitmen untuk mempertahankan Spanyol, sebagai syarat untuk melanjutkan keberadaan basis militer Amerika Serikat di wilayah Spanyol.[15] Dan juga, berdasarkan beberapa laporan rahasia yang telah diungkap oleh US Military Intelligence Service, Spanyol menyimpan plutonium untuk membuat bom nuklir, mengalihkannya dari kendali IAEA, sesuatu yang sama sekali bukan ciri khas sekutu Amerika Serikat, atau bahkan setara dengan negara berbahaya. CIA memberitahu Sekretaris Negara Amerika Serikat, Henry Kissinger bahwa Proyek Islero akan berbuah, dan dengan tensi di antara Spanyol dan Amerika Serikat yang meningkat akibat Krisis Minyak 1973 dan Perang Yom Kippur, sebuah pertemuan dengan Carrero Blanco dibuka.
Pertemuan dengan Kissinger
Empat hari setelah laporan Velarde, Carrero Blanco bertemu dengan Sekretaris Negara Amerika Serikat, Henry Kissinger, dan mengatakan bahwa pemerintah Spanyol menginginkan Amerika Serikat berikrar untuk mendukung Spanyol di saat terjadinya agresi. Ketika Kissinger menolak, Carrero Blanco menunjukkan kepadanya laporan Velarde, yang membuat Kissinger merasa terganggu. Kissinger, meski telah gagal membujuk Spanyol menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir, ia menyampaikan pesan yang cukup jelas: konfirmasi mengenai keinginan Franco untuk perangkat nuklir militer menjadikan "kendali ketat" terhadap aktivitas ini diperlukan.[1][26] Di hari yang sama, Kissinger meninggalkan Madrid dengan terburu-buru, dan keesokan paginya pada tanggal 20 Desember 1973, Carrero Blanco dibunuh. Kemungkinan keterlibatan CIA dalam serangan telah dipaparkan oleh para cendekiawan, dengan motivasi potensial adalah keinginan untuk menghapus Carrero Blanco dan mengakhiri program.[15][27]
Sesudahnya
Tak lama setelahnya, proyek mulai goyah ketika Gregorio López-Bravo menghalangi penyelesaian program. Menteri telah berbicara kepada Franco untuk meyakinkannya untuk mengakhiri program ini, dengan berpendapat bahwa Amerika Serikat pada akhirnya akan mengetahui sesuatu tentang proyek ini dan akan menjadi masalah yang berlarut-larut bagi Spanyol.[28]Muñoz Grandes, yang ketika itu sedang mengalami sakit parah, tidak mampu meyakinkan Franco tentang rencananya untuk menggunakan bom atom dan aliansi dengan Prancis sebagai cara untuk mendapatkan independensi lebih dari Amerika Serikat, karena Franco melihat ini sebagai operasi yang sangat mahal dengan melibatkan tantangan kepada Washington, yang dukungannya ia anggap lebih penting ketimbang memiliki bom atau mendekati Prancis. Franco mengakhir diskusi panas ini dengan memerintahkan penghentian riset dan melarang proyek militer berjalan, mengabarkan kepada Velarde bahwa "Spanuol tidak dapat membiarkan blokade internasional baru dikeluarkan oleh Amerika Serikat, dan manfaat untuk memiliki persenjataan kecil tidak melebihi kerusakan yang dapat ditimbulkannya".[29]
Meski demikian, kematian Carrero Blanco, pemecatan Díez-Alegría pada tanggal 13 Juni 1974, ataupun kematian Franco pada 20 November 1975, tidak menghentikan proyek. Penerus Carrero Blanco, Carlos Arias Navarro, memberikan dorongan baru terhadap Proyek Islero,[25] dan meski proyek ini bersusah payah untuk berkembang, sekalipun dalam tekanan yang terus menerus dari Amerika Serikat[15] dan presidennya Jimmy Carter agar Spanyol menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir, di tahun 1976 Menteri Luar Negeri Spanyol José María de Areilza, mendeklarasikan bahwa Spanyol dapat membuat bom atom dalam "tujuh atau delapan tahun mendatang jika kita fokus. Kita tidak ingin menjadi yang terakhir dalam daftar". Meski dengan transisi Spanyol menuju demokrasi dan dilantiknya Presiden Adolfo Suárez dan naiknya partai Union of the Democratic Centre (UCD) di tahun 1976, proyek terus berlanjut dengan dukungan dalam negeri. Suárez, yang mengadvokasikan kebijakan netralitas dan persahabatan dengan Dunia Arab untuk mencegah masalah di Kepulauan Canary, Ceuta, dan Melilla, mendukung ide bom atom Spanyol sebagai pencegahan akhir terhadap agresi bersenjata. Tensi dengan Amerika Serikat meningkat lebih jauh di tahun 1977, ketika publik mengetahui kemampuan tenologi fasilitas nuklir yang direncanakan untuk Soria Nuclear Research Center (Centro de Investigación Nuclear de Soria, disingkat CINSO) di Cubo de la Solana. Investigator Amerika terkejut ketika mengetahui bahwa fasilitas digunakan untuk mengkonversi uranium menjadi plutonium dan dapat memproduksi 140 kilogram plutonium per tahun, cukup untuk membuat 23 bom setiap tahunnya.[1][15]
Akhir (1977–1987)
Meski secara internal proyek berjalan dengan baik, di luar, tekanan Amerika Serikat terus memuncak. Di masa kepemimpinan empat tahun Jimmy Carter ia telah meluncurkan kampanye melawan negara-negara yang tidak menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir.[30] Sebagai tambahan, dengan Amerika Serikat yang semakin nervous menjadi terobsesi dengan IAEA yang menginspeksi fasilitas milik Spanyol yang dicurigai. Jika inspeksi dicegah, Amerika Serikat akan menghentikan ekspor uranium yang diperkaya ke negaranya, yang berarti akan menghentikan PLTN sipil yang telah berjalan. Sehingga pada tanggal 23 Februari 1981, UCD yang dipimpin pemerintahan Calvo-Sotelo setuju untuk diinspeksi oleh IAEA, di hari yang sama ketika upaya kudeta Spanyol 1981 berlangsung.[1] Namun keputusan ini belum secara definitif menghentikan proyek Islero karena UCD masih mengadvokasikannya meski tidak terlalu serius. Di sisi lain, Spanish Socialist Workers' Party (PSOE) telah memutuskan untuk meninggalkan proyek nuklir Spanyol dan tetap berada di dalam NATO, sebagai ganti dari integrasi Spanyol ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa. PAda tanggal 13 Oktober 1987, perwakilan Spanyol di PBB, Fernando Morán dari partai Spanish Socialist Workers' Party di bawah pemerintahan Felipe González kedua, menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir, secara resmi mengakhiri proyek.[17][31]
Notes
^Di tahun 1973 ia meraih jabatan di Fisika Nuklir Sekolah Tinggi Teknik Industri, dan di tahun 1980 ia mengusulkan pembentukan Institut Nuklir Fusi.
Referensi
^ abcdefgCal, Juan C. de la; Garrido, Vicente (June 10, 2001). "La bomba atómica que Franco soñó" [The Atomic Bomb that Franco Dreamed Of] (dalam bahasa Spanish) (295). El Mundo. Diakses tanggal July 24, 2019.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^ abPayne, Stanley G.; Palacios, Jesús (November 24, 2014). Franco. University of Wisconsin Pres. hlm. 496–497. ISBN978-0-299-30210-8.
^Fernández, Antonio; Pereira, Juan Carlos (1995). "La percepción española de la ONU (1945–1962)". Cuadernos de Historia Contemporánea (dalam bahasa Spanyol). Madrid: Universidad Complutense (17): 121–146. ISSN0214-400X. Diakses tanggal April 13, 2017.
^"Guillermo Velarde". Instituto de Fusión Nuclear (dalam bahasa Spanyol). Universidad Politécnica de Madrid. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 December 2014. Diakses tanggal 29 November 2015.
^López, José María (November 22, 2022). "¿Por qué España no tiene la bomba atómica?" [Why Does Spain Not Have the Atomic Bomb?] (dalam bahasa Spanish). Diakses tanggal July 1, 2023.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Figueredo, Enrique (April 16, 2017). "La bomba atómica española que nunca llegó" [The Spanish Atomic Bomb hat Never Arrived] (dalam bahasa spanish). La Vanguardia. Diakses tanggal July 24, 2019.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Bibliografi
Velarde, Guillermo (2016). Proyecto Islero: cuando España pudo desarrollar armas nucleares. Córdoba: Editorial Guadalmazán. ISBN978-84-943-8468-4.