Perdagangan rempah mengacu pada perdagangan antara peradaban-peradaban bersejarah di Asia, Afrika Timur, dan Eropa. Rempah-rempah seperti kayu manis, cengkeh, kayu manis messi cina, kapulaga, jahe, dan kunyit secara luas dikenal, dan sangat dicari dalam perdagangan di Dunia Timur zaman dahulu.[1] Rempah-rempah tersebut menemukan jalan mereka ke Timur Tengah sebelum awal era Kristen, tempat sumber-sumber sebenarnya dari rempah-rempah tersebut dirahasiakan oleh para pedagang, yang mengkait-kaitkannya dengan cerita-cerita yang fantastis.[1]
Dunia Yunani-Romawi mengikuti perdagangan ini dengan berdagang di sepanjang Jalur Dupa dan jalur Romawi-Hindustan.[2] Di tengah milenium pertama, rute pelayaran ke Hindustan (sekarang India) dan Sri Lanka (Romawi - Taprobane) dikendalikan oleh Hindustan dan Ethiopia yang menjadi kekuatan perdagangan maritim Laut Merah. Kekaisaran Aksum (sekitar abad ke-5 SM- abad ke-11 M) telah merintis rute Laut Merah sebelum abad ke-1 Masehi. Selama milenium pertama Masehi, Etiopia menjadi kekuatan perdagangan maritim di Laut Merah. Pada periode ini, rute perdagangan sudah ada dari Sri Lanka (Taprobana dalam dunia Romawi) dan India, yang telah memperoleh teknologi maritim dari kontak Austronesia awal. Pada pertengahan abad ke-7 M, setelah kebangkitan Islam, para pedagang Arab mulai melintasi jalur laut ini dan mendominasi jalur laut Samudera Hindia bagian barat.
Pedagang-pedagang Arab akhirnya mengambil alih pengiriman rempah-rempah melalui pedagang Levant dan pedagang Venesia untuk Eropa, sampai kebangkitan Turki Seljuk pada tahun 1090. Kemudian kerajaan Ottoman menguasai rute-rute tersebut lagi pada tahun 1520. Jalur darat pada awalnya membantu perdagangan rempah-rempah, tapi rute perdagangan maritim menyebabkan pertumbuhan yang luar biasa dalam aktivitas komersial.[1] Selama periode Abad Pertengahan Tinggi dan Abad Pertengahan Akhir para pedagang Muslim mendominasi rute perdagangan rempah-rempah maritim di seluruh Samudra Hindia, mendapat keuntungan besar dari daerah sumber rempah-rempah di Timur Jauh (Asia Tenggara) dan mengirimkan rempah-rempah dari emporium perdagangan di Hindustan ke arah barat ke Teluk Persia dan Laut Merah, rute darat menuju ke Eropa.
Perdagangan rempah-rempah kemudian diubah oleh Zaman Penjelajahan Eropa,[3] di kala perdagangan rempah-rempah, terutama lada hitam, menjadi sebuah kegiatan yang sangat penting bagi para pedagang Eropa.[4] Rute pelayaran dari Eropa ke Samudera Hindia melalui Tanjung Harapan yang memutari Afrika dipelopori oleh penjelajah dan navigator PortugisVasco da Gama pada tahun 1498, sehingga terciptalah rute maritim baru untuk perdagangan rempah-rempah.[5]
Perdagangan rempah-rempah ini kala itu mendorong ekonomi dunia dari akhir Abad Pertengahan sampai ke zaman modern,[4] dan akhirnya mengantarkan era dominasi bangsa Eropa di Dunia Timur.[5] Kanal-kanal seperti Teluk Benggala, digunakan sebagai jembatan untuk pertukaran budaya dan komersial di antara beragam budaya[3] kala negara-negara itu berjuang untuk menguasai perdagangan di sepanjang banyak rute rempah-rempah.[1] Dominasi Eropa berkembang dengan lambat. Rute perdagangan Portugis umumnya dilarang dan dibatasi oleh penggunaan rute kuno, pelabuhan, dan negara-negara yang sulit untuk didominasi. Kerajaan Belanda kemudian mampu melewati banyak masalah ini dengan merintis rute laut langsung dari Tanjung Harapan ke Selat Sunda di Nusantara (sekarang Indonesia).
Orang-orang dari periode Neolitik berdagang rempah-rempah, obsidian, kerang laut, batu mulia dan bahan bernilai tinggi lainnya setidaknya sejak abad 10 milenium SM (sekitar 10000 SM). Pihak yang pertama kali menyebutkan perdagangan ini dalam periode sejarah adalah bangsa Mesir Kuno. Dalam milenium ke-3 SM (sekitar 3000 SM), mereka berdagang dengan Negeri Punt, yang diyakini kala itu terletak di daerah yang meliputi Somalia utara, Djibouti, Eritrea, dan pesisir Laut MerahSudan.[8]
Di paruh kedua milenium pertama SM suku-suku Arab Selatan dan Barat Arabia mengambil kontrol atas perdagangan darat rempah-rempah dari Arab Selatan ke Laut Mediterania. Suku-suku tersebut adalah M'ain, Qataban, Hadhramaut, Saba dan Himyarite. Di utara suku Nabath menguasai jalur perdagangan yang melintasi Negev dari Petra ke Gaza. Perdagangan ini membuat suku-suku Arab tersebut menjadi sangat kaya. Wilayah Arabia Selatan disebut "Arabia Eudamon" (Arabia yang gembira) oleh orang-orang Yunani dan ada dalam agenda penaklukan Alexander dari Makedonia sebelum ia meninggal. Orang-orang India dan orang Arab memegang kontrol atas perdagangan laut dengan Hindustan. Pada akhir abad kedua SM, orang Yunani dari Mesir Kuno belajar dari negeri Hindustan bagaimana cara berlayar langsung dari Aden ke pantai Barat Hindustan menggunakan angin muson (Hippalus) dan mengambil kontrol atas perdagangan laut.
Kekaisaran Romawi
Dengan berdirinya Mesir Romawi, Romawi Kunomengembangkan lebih lanjut perdagangan yang sudah ada.[7] Rute Romawi-Hindustan sangat bergantung pada teknik yang dikembangkan oleh kekuatan perdagangan maritim, Kerajaan Aksum (sekitar abad ke-5 SM - abad ke-11 M) yang telah memelopori rute Laut Merah sebelum abad ke-1 M. Ketika mereka bertemu Roma (sekitar abad 30 SM - abad 10 M) mereka berbagi dengan pedagang Romawi pengetahuan tentang memanfaatkan angin muson musiman Laut Arab, menjaga hubungan baik dengan satu sama lain sampai pertengahan abad ke-7.
Bahkan pada awal abad 80 SM, Alexandria telah menjadi pusat perdagangan yang dominan untuk masuknya rempah-rempah India ke dalam dunia Yunani-Romawi.[1] Kapal-kapal dari Hindustan (India) berlayar ke Mesir. Rute maritim yang berkembang di Asia Selatan ini tidak di bawah kendali kekuatan tunggal,[9] tetapi melalui berbagai sistem. Rempah-rempah dari timur ini dibawa ke pelabuhan perdagangan rempah-rempah besar di Hindustan seperti Barbaricum, Barygaza, Muziris, Korkai, Kaveripattinam, dan Arikamedu.
Menurut The Cambridge History of Africa ("Sejarah Afrika menurut Cambridge") (1975):[2]
Perdagangan dengan Arabia dan Hindustan dalam dupa dan rempah-rempah menjadi semakin penting, dan Yunani untuk pertama kalinya mulai berdagang langsung dengan Hindustan. Penemuan, atau penemuan kembali, rute-laut ke Hindustan dikaitkan dengan seorang Eudoxos, yang dikirim untuk tujuan ini menjelang akhir masa pemerintahan Ptolemeus Euergetes II (meninggal 116 SM). Eudoxos membuat dua perjalanan ke Hindustan, dan kemudian, setelah bertengkar dengan majikan Ptolemeus nya, tewas dalam upaya gagal untuk membuka sebuah rute laut alternatif ke Hindustan, yang bebas dari kontrol Ptolemaik, dengan berlayar di sekitar Afrika. Pembentukan kontak langsung antara Mesir dan Hindustan mungkin dimungkinkan oleh melemahnya kekuatan Arab di periode ini, karena Kerajaan Kaum Saba' di Barat-daya Arabia runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Himyarite sekitar 115 SM. Impor ke Mesir yaitu kayu manis dan rempah-rempah Timur lainnya, seperti lada, meningkat secara substansial, meskipun perdagangan di Samudra Hindia untuk saat ini tetap di cukup kecil, tidak lebih dari dua puluh kapal Mesir berada di luar Laut Merah setiap tahun.
Perdagangan antara Hindustan dan dunia Yunani-Romawi terus meningkat,[10] dalam perdagangan ini, rempah-rempah merupakan impor utama dari Hindustan ke dunia Barat,[11] melebihi sutra dan komoditas lainnya.[12] Kutipan dari Strabo (sejarawan Yunani Kuno):
Bagaimanapun, ketika Gallus menjadi prefek Mesir, saya menemani dia dan menyusuri Sungai Nil sejauh Syene dan perbatasan Ethiopia, dan saya belajar bahwa sebanyak seratus dua puluh kapal berlayar dari Myos Hormos ke Hindustan, sedangkan sebelumnya, di bawah Ptolemaik, hanya sedikit yang memberanikan diri untuk melakukan perjalanan dan untuk melakukan lalu lintas barang dagangan Hindustan. - Strabo (II.5.12.)
Di Pulau Jawa dan Kalimantan, lewat pengenalan budaya Hindustan menciptakan permintaan untuk komoditas aromatik.[13] Pos-pos perdagangan ini kemudian akan melayani pasar dari negeri Tiongkok dan Arab.[13] Dokumen Yunani "Periplus Maris Erythraei" menyebutkan nama-nama beberapa pelabuhan Hindustan dari mana kapal-kapal besar berlayar arah timur ke Khruse.[14]
Mekah pada zaman pra-Islam terus menggunakan rute Jalur Dupa kuno untuk mendapatkan keuntungan dari permintaan besar Romawi untuk barang-barang mewah.[15] Keterlibatan Mekah juga dalam ekspor barang yang sama: kemenyan arab, gading dan emas Afrika Timur, rempah-rempah Hindustan, sutra Tiongkok, dsb.[15]
Perdagangan Arab dan Eropa abad pertengahan
Roma berperan dalam perdagangan rempah-rempah selama abad ke-5, namun peran ini tidak seperti Arab dan tidak berlangsung sampai melewati Abad Pertengahan.[1] Bangkitnya Islam menutup rute darat para kafilah melalui Mesir dan Suez, dan pedagang Arab terutama dari Mesir akhirnya mengambil alih pengiriman barang melalui Levant ke Eropa.
Perdagangan rempah telah membawa kekayaan besar bagi kekhalifahan Abbasiyah, dan bahkan menginspirasi legenda terkenal seperti Sinbad si Pelaut. Para pelaut dan pedagang awal ini sering berlayar dari kota pelabuhan Basra dan akhirnya setelah banyak pelayaran mereka akan kembali untuk menjual barang-barang mereka termasuk rempah-rempah di Baghdad. Ketenaran banyak rempah-rempah seperti pala dan kayu manis dikaitkan dengan para pedagang rempah awal ini.[16]
Koneksi komersial Hindustan dengan Asia Tenggara terbukti vital bagi pedagang Arab dan Persia pada abad ke-7 dan ke-8.[13] Pedagang-pedagang Arab, terutama keturunan pelaut dari Yaman dan Oman mendominasi rute maritim di seluruh Samudera Hindia, mendapat keuntungan besar dari daerah sumber di Timur Jauh - menghubungkan mereka dengan rahasia "kepulauan rempah" (Kepulauan Maluku dan Kepulauan Banda). Pulau-pulau di Maluku juga ditemukan telah disebutkan dalam beberapa catatan: sebuah kronik Jawa (1365) menyebutkan "Maluku" dan "Maloko",[17] dan karya navigasi dari abad ke-14 dan ke-15 berisi referensi pelaut Arab yang pertama dan tegas tentang Maluku.[17]Sulaima al-Mahr menulis: "Timur dari Timor [di mana cendana ditemukan] adalah kepulauan 'Bandam' dan mereka adalah pulau-pulau di mana pala dan fuli ditemukan. Kepulauan cengkih yang disebut 'Maluku' .....".[17]
Dari sana, rute darat menuju pesisir Mediterania. Dari abad ke-8 sampai abad ke-15, Republik Venesia dan republik maritim tetangganya memegang monopoli perdagangan Eropa dengan Timur Tengah. Perdagangan sutra dan rempah-rempah, yang melibatkan rempah-rempah, dupa, herbal, obat dan opium, membuat kota-negara di Mediterranean ini menjadi kaya secara fenomenal. Rempah-rempah berada di antara produk yang paling mahal dan paling dicari dari Abad Pertengahan, digunakan dalam pengobatan. Mereka semua diimpor dari Asia dan Afrika. Pedagang Venesia kala itu mendistribusikan barang melalui Eropa sampai akhirnya munculnya Kesultanan Utsmaniyah, yang akhirnya menyebabkan jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453, memblokir orang Eropa dari kombinasi perdagangan jalur darat-laut yang penting.
Zaman Penjelajahan bangsa Eropa: menemukan rute baru dan Dunia Baru
Republik Venesia telah menjadi kekuatan yang tangguh, dan pemain kunci dalam perdagangan rempah-rempah Timur.[1] Kekuasaan lainnya, mulai membangun kemampuan maritim dalam upaya untuk melepaskan genggaman Venesia pada perdagangan rempah-rempah.[1] Salah satu konsekuensi utama dari perdagangan rempah-rempah adalah penemuan benua Amerika oleh penjelajah Eropa. Sampai pertengahan abad ke-15, perdagangan dengan timur dilakukan melalui Jalan Sutra, dengan Kekaisaran Bizantium dan negara-kota ItaliaVenesia dan Genoa bertindak sebagai orang tengah. Pada tahun 1453, bangsa Turki Utsmanimerebut Konstantinopel sehingga Kekaisaran Bizantium berakhir. Dengan posisinya yang mengendalikan salah satu rute perdagangan rempah-rempa yang ada pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah berada di posisi yang menguntungkan untuk menarik pajak terhadap barang dagangan yang menuju Eropa Barat. Orang-orang Eropa Barat, tidak ingin tergantung pada kekuatan ekspansionis non-Kristen dalam perdagangan yang menguntungkan dengan timur, merencanakan untuk menemukan rute laut alternatif yang memutari Afrika.
Negara pertama yang mencoba untuk mengelilingi Afrika adalah Portugal, yang sejak awal abad ke-15 mulai menjelajahi Afrika utara di bawah Henry sang Navigator. Didorong oleh keberhasilan awal ini dan mengincar monopoli menguntungkan pada rute laut yang mungkin ke Hindia, Portugis pertama kali melintasi Tanjung Harapan pada tahun 1488 dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Bartolomeu Dias.[21] Hanya sembilan tahun kemudian pada tahun 1497 atas perintah Manuel I dari Portugal, empat kapal di bawah komando navigator Vasco da Gama mengitari Tanjung Harapan, melanjutkan ke pantai timur Afrika ke Malindi untuk berlayar menyeberangi Samudra Hindia menuju Kalikut[5] di selatan Hindustan - ibu kota penguasa lokal Zamorin. Kekayaan Hindia sekarang telah terbuka bagi orang Eropa untuk dieksplorasi. Kerajaan Portugis adalah kerajaan Eropa awal yang berlayar di laut Eropa untuk kemudian tumbuh besar dari perdagangan rempah-rempah.[5]
Selama era penemuan baru inilah para penjelajah yang bekerja untuk Kerajaan Spanyol dan Portugis pertama kali menginjakkan kaki di Dunia Baru. Christopher Columbus adalah yang pertama ketika pada tahun 1492, dalam upaya untuk mencapai Hindia dengan berlayar ke arah barat, ia membuat pendaratan di sebuah di wilayah pulau yang sekarang dikenal sebagai Bahama. Percaya bahwa dirinya telah mencapai Hindia, ia menyebut para penduduk asli pulau tersebut sebagai "Indian".[22] Hanya delapan tahun kemudian pada tahun 1500, navigator Portugis, Pedro Álvares Cabral ketika mencoba untuk mereproduksi rute Vasco da Gama ke Hindustan (sekarang India), tertiup ke arah barat ke wilayah yang sekarang disebut Brasil. Setelah mengambil kepemilikan lahan baru tersebut, Cabral melanjutkan perjalanannya ke Hindustan, akhirnya tiba di sana pada bulan September 1500 dan kembali ke Portugal pada tahun 1501.[23]
Saat itu Portugis telah memegang kontrol penuh dari rute laut Afrika. Dengan begitu Spanyol jika ingin memiliki harapan untuk bersaing dengan Portugal untuk perdagangan yang menguntungkan, harus menemukan rute alternatif. Upaya awal pertama mereka adalah dengan Christopher Columbus, tapi ia malah menemukan sebuah benua tak dikenal di antara Eropa dan Asia. Orang Spanyol akhirnya berhasil dengan perjalanan Ferdinand Magellan. Pada 21 Oktober1520 ekspedisi Magellan melintasi apa yang sekarang dikenal sebagai Selat Magellan, membuka pantai Pasifik Amerika untuk eksplorasi. Pada 16 Maret1521 kapal-kapalnya sampai di kepulauan yang sekarang disebut Filipina, dan kemudian segera mencapai Kepulauan Rempah-Rempah, secara efektif mendirikan rute perdagangan rempah ke barat yang pertama ke Asia. Magellan tewas di Filipina, namun setelah kapal anggota ekspedisi yang terakhir berhasil kembali ke Spanyol pada tahun 1522, kru ekspedisi yang selamat menjadi manusia-manusia pertama yang telah berhasil mengelilingi bumi.
Menurut Encyclopædia Britannica 2002: "Ferdinand Magellan terjun dalam ekspedisi laut untuk Spanyol pada tahun 1519. Dari lima kapal di bawah komandonya, hanya satu, Victoria, yang kembali ke Spanyol, tapi penuh kemenangan, sarat dengan cengkih (dari Maluku)."[1]
Pada tahun 1602 Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) muncul dengan kewenangan Jenderal Perkebunan Belanda. Pada 1664 Perusahaan Hindia Timur Prancis didirikan oleh otorisasi negara di bawah Louis XIV. Negara-negara Eropa lainnya memberikan piagam kepada perusahaan-perusahaan Hindia Timur dengan berbagai keberhasilan. Hal ini diikuti perjuangan dan penaklukan untuk mendapatkan keuntungan dan kontrol monopoli perdagangan rempah. Portugal, selama lebih dari 100 tahun adalah kekuatan dominan, akhirnya menyerah terhadap kongsi perusahaan dan penaklukan oleh Inggris dan Belanda, pada abad ke-19 kepentingan Inggris telah berakar kuat di India dan Ceylon (sekarang Sri Lanka), dan Belanda memegang kendali atas sebagian besar Hindia Timur (Nusantara atau Indonesia sekarang.
Memanasnya kompetisi perdagangan ini menyebabkan negara yang saling bersaing untuk beralih ke cara-cara militer untuk menguasai perdagangan rempah-rempah.[24] Pada tahun 1641, Maluku Portugis ditangkap oleh Belanda.[24] Setelah penangkapan Maluku ini Belanda melihat perkebunan terkonsentrasi pada cengkih dan pala, dan kemudian mnggunakan Perjanjian Batavia (1652) Belanda berupaya untuk menghancurkan pohon cengkih dan pala di semua pulau-pulau lain untuk menjaga pasokan dan mengontrol pasar penting rempah-rempah.[24] Upaya ini mengganggu pola kuno perdagangan Nusantara dan bahkan menyebabkan depopulasi seluruh kepulauan, terutama Kepulauan Banda.[24]
Maluku di bawah Belanda pun menjadi pelabuhan masuk utama untuk perdagangan rempah-rempah, dan menurut Robin A. Donkin (2003):[25]
Perdagangan antara orang Eropa di bagian Asia Selatan dan Timur yang berbeda sering kali lebih menguntungkan daripada memasok negara asal mereka. Pada 1530-an, Portugis mengirimkan lebih banyak cengkih, pala, dan fuli ke India dan Ormus daripada Portugal. Para pembeli di Ormus adalah para "pedagang Moor yang meneruskannya, melewati Persia, Arabia dan seluruh Asia sejauh Turki." Dari setidaknya abad ke-17, produk yang sama dibawa ke Benggala oleh Portugis dan Belanda. Pedagang Inggris melihat bahwa mereka hasil penjualan mereka "sangat baik melebihi perkiraan" di Surratt dan stasiun dagang India dan Persia lainnya. Belanda antara 1620 dan 1740 memasarkan sepertiga atau lebih dari rempah-rempah mereka, terutama cengkih, di Asia: Persia, Arabia, dan India. Permintaan rempah Jepang dilayani oleh Portugis dari Makau dan kemudian oleh Belanda, tetapi permintaan untuk cengkih dan rempah-rempah umumnya di awal abad ke-17 dikatakan menjadi relatif kecil dan akibatnya harga menjadi rendah.
Pulau Pinang (sekarang bagian Malaysia), wilayah milik Inggris, didirikan sebagai pelabuhan lada pada tahun 1786.[26] Selama abad ke-18, wilayah Prancis di India ditangkap oleh Inggris, yang kemudian berpindah dengan agresif ke wilayah Belanda di Timur Jauh.[27] Status Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (VOC) Belanda melemah sebagai akibat dari berkembangnya pengaruh Inggris.[27]
Pada 1585, kapal-kapal dari Hindia Barat tiba di Eropa dengan muatan "jahe Jamaika", akar yang berasal dari India dan Tiongkok Selatan, yang menjadi bumbu Asia pertama yang tumbuh dengan sukses di Dunia Baru.[27] Pemahaman kolot bahwa tanaman dan pohon tidak tumbuh dengan bagus di luar tanah asal mereka ini tetap bertahan sampai pertengahan abad ke-18, karena perjuangan ahli-ahli botani terkemuka kala itu, seperti Georg Eberhard Rumpf (1627-1702).[27] Namun teori Rumpf akhirnya didiskreditkan oleh serangkaian percobaan transplantasi sukses yang dilakukan di Eropa dan Semenanjung Malaya pada awal abad ke-18.[27]
Pada tahun 1815, pengiriman pertama pala dari Sumatra telah tiba di Eropa.[26] Selain itu, pulau-pulau di Hindia Barat, seperti Grenada, juga terlibat dalam perdagangan rempah-rempah.[26]
Cendana dari Timor dan dupa Tibet memperoleh status sebagai komoditas berharga di Tiongkok selama awal abad ke-18.[28]Asia Timur menunjukkan ketertarikan dalam produk cendana, yang digunakan untuk membuat gambar Buddha dan artefak berharga lainnya.[28]
Pertengahan abad ke-19 lahirlah teknologi refrigerasi buatan. Rempah-rempah kala itu tidak hanya digunakan untuk bumbu makanan, seperti tujuan utamanya saat ini. Tapi, sebelum munculnya teknologi pendingin buatan, rempah-rempah juga digunakan untuk mengawetkan makanan serta menutupi rasa makanan yang mulai busuk. Munculnya teknologi baru ini mengakibatkan penurunan status keseluruhan konsumsi rempah-rempah, dan perdagangannya.[29]
Pertukaran kebudayaan
Kuatnya agama Buddha dan agama Hindu dalam sejarah Asia Tenggara, termasuk Nusantara, dihubungkan dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan rempah yang kuat di wilayah ini, karena pelanggan perdagangan rempah mempercayakan dana besar yang nantinya akan digunakan untuk keuntungan ekonomi lokal dengan manajemen pemukiman, keahlian dan promosi kegiatan perdagangan.[30] Buddhisme khususnya, tumbuh bersama tumbuhnya perdagangan maritim, yang mempromosikan mata uang, seni dan keaksaraan dalam sejarah Asia Tenggara.[31] Kebesaran kemaharajaan bahari Srivijaya yang kala itu berpusat di Sumatra juga karena pengaruh perdagangan maritim, termasuk rute perdagangan rempah yang melewati Selat Sunda dan Selat Malaka.
Agama Islam juga menyebar ke seluruh Dunia Timur, mencapai Asia Tenggara maritim pada abad ke-10 lewat perdagangan ini. Pedagang Muslim memainkan peran penting dalam perdagangan rempah.[29] Begitu pula misionaris Kristen, seperti Santo Fransiskus Xaverius, juga berperan penting dalam penyebaran agama Kristen di Dunia Timur.[29] Kristen kala itu bersaing dengan Islam untuk menjadi agama dominan di Kepulauan Maluku.[29] Namun, penduduk asli "Kepulauan Rempah" tersebut menampung aspek dari kedua agama tersebut dengan mudah.[32]
Permukiman kolonial Portugis melihat pedagang-pedagang seperti Vanika dari Gujarat, Chetti dari India Selatan, Suriah Kristen, Tionghoa dari provinsi Fujian, dan orang Arab dari Aden terlibat dalam perdagangan rempah-rempah.[33] Cerita-cerita epos, bahasa, dan adat budaya dipinjam oleh Asia Tenggara dari Hindustan, dan kemudian Tiongkok.[3] Pengetahuan tentang bahasa Portugis menjadi penting bagi pedagang yang terlibat dalam perdagangan ini.[34]
Pedagang Hindustan yang terlibat dalam perdagangan rempah-rempah membawa masakan India ke Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia masa kini, di mana campuran rempah-rempah dan kari menjadi populer.[35] Orang Eropa menikah dengan orang India, dan mempopulerkan keterampilan kuliner yang berharga, seperti kue, di India.[36] Orang Portugis juga memperkenalkan cuka ke India, dan biarawan Fransiskan memproduksinya dari nira.[37] Makanan India, menyesuaikan dengan lidah Eropa, menjadi terlihat di Inggris pada tahun 1811 kala perusahaan-perusahaan eksklusif mulai memenuhi permintaan untuk selera baik bagi orang-orang yang penasaran maupun yang kembali dari India.[38]
Corn, Charles (1999). The Scents of Eden: A History of the Spice Trade. Kodansha America. ISBN1-56836-249-8.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan); Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Morton, Timothy (2000). Poetics of Spice: Romantic Consumerism and the Exotic. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-02666-6.
Rawlinson, Hugh George (2001). Intercourse Between India and the Western World: From the Earliest Times of the Fall of Rome. Asian Educational Services. ISBN81-206-1549-2.
Ray, Himanshu Prabha (2003). The Archaeology of Seafaring in Ancient South Asia. Cambridge University Press. ISBN0-521-01109-4.