Kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi adalah istilah yang digunakan dalam teologi Kristen untuk mengungkapkan ajaran bahwa Yesus adalah benar-benar atau secara substansial hadir dalam Ekaristi atau Perjamuan Kudus, bukan hanya secara simbolis atau metaforis.
Terdapat sejumlah pandangan berbeda dalam pemahaman tentang arti istilah "realitas" dalam konteks ini di antara kelompok Kristen kontemporer yang menerimanya, termasuk Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja dari Timur, Lutheranisme, Anglikanisme, dan Metodisme.[1][2] Perbedaan-perbedaan tersebut sehubungan dengan penafsiran-penafsiran harfiah ataupun figuratif dari Kata-Kata Institusi, serta pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan konsep realisme dalam konteks aksiden (accidere) dan substansi Platonis. Upaya-upaya untuk mencapai saling pengertian antara berbagai keyakinan menyebabkan diadakannya perundingan pada tahun 1980-an tentang Baptisan, Ekaristi dan Pelayanan [en] melalui Dewan Gereja-gereja se-Dunia.
Teologi Ekaristi sebagai salah satu cabang teologi Kristen berkembang selama periode abad pertengahan; sebelum itu, selama periode abad pertengahan awal, perbedaan pendapat teologis utamanya berfokus pada pertanyaan-pertanyaan tentang Kristologi.
Perbedaan pendapat seputar pertanyaan tersebut terjadi pertama kali pada abad ke-9, setelah Karl II mengajukan pertanyaan apakah tubuh dan darah Kristus merupakan suatu misteri iman, atau apakah benar-benar hadir (in mysterio fiat an in veritate). Paschasius Radbertus dan Ratramnus mengambil dua posisi berbeda. Ratramnus berpendapat bahwa tubuh Kristus hadir secara spiritual (spiritualiter) namun tidak secara fisik (corporaliter), sedangkan Paschasius menekankan kehadiran sebenarnya tubuh Kristus. Perbedaan tersebut diselesaikan oleh Paschasius dalam suratnya kepada Frudiger, yang di dalamnya ia mengklarifikasi posisinya secara umum bahwa hakikat sebenarnya dari tubuh sakramental Kristus bersifat spiritual, sehingga kehadiran sebenarnya tubuh Kristus tentu bersifat spiritual dan tidak bersifat fisik pada hakikatnya, dengan demikian kehadiran-Nya dalam Ekaristi adalah nyata dan simbolis pada saat bersamaan.[3]
Pertanyaan tentang hakikat dari Ekaristi menghangat untuk kedua kalinya di dalam Gereja Barat pada abad ke-11, ketika Berengarius dari Tours membantah perlunya suatu perubahan materiil dalam elemen-elemen tersebut untuk menjelaskan kehadiran-Nya dalam Ekaristi. Hal ini menyebabkan kontroversi yang mengarah pada klarifikasi eksplisit atas ajaran mengenai Ekaristi.[4] Pada tahun 1215, Konsili Lateran IV menggunakan kata "tertransubstansiasi" (transubstantiated) dalam pernyataan iman yang dihasilkannya, ketika berbicara tentang perubahan yang terjadi dalam Ekaristi.
Pada abad ke-13, metafisika Aristotelian diterima dan suatu elaborasi filosofis yang sejalan dengan metafisika tersebut dikembangkan, yang rumusan klasiknya dapat ditemukan dalam ajaran Santo Thomas Aquinas.[5] Skolastisisme membawa masuk teologi Kristen ke dalam istilah-istilah Aristotelianisme. Dengan demikian penting untuk dipahami bahwa istilah-istilah seperti nyata (riil) dan substansi dalam kehadiran nyata dan transubstansiasi harus dimengerti di dalam kerangka teori substansi Aristotelian, dan bukan dalam pengertian masa kini yang mengacu pada fisik atau materiil. Para filsuf abad pertengahan yang menggunakan konsep-konsep Aristotelian sering membuat perbedaan antara bentuk-bentuk (morphē) yang substansial dan aksidental ("tampilan atributif"). Bagi Aristoteles, suatu "substansi" (ousia) adalah suatu objek atau benda (thing) yang individual, yang dapat memiliki bentuk-bentuk aksidental sebagai properti-properti non-esensial.
Selama periode abad pertengahan berikutnya, isu tersebut diperdebatkan di dalam Gereja Barat. Dan, setelah Reformasi Protestan, menjadi salah satu topik utama yang menyebabkan perpecahan di antara berbagai kelompok dalam Protestanisme. Doktrin Lutheran mengenai kehadiran nyata, yang dikenal dengan sebutan "persatuan sakramental", dirumuskan dalam Pengakuan Iman Augsburg tahun 1530. Martin Luther secara terbuka mendukung doktrin tersebut, menerbitkan Sakramen Tubuh dan Darah Kristus—Melawan Kaum Fanatik pada tahun 1526. Dengan demikian, perpecahan teologis utama dalam isu ini beralih menjadi bukan antara Katolisisme dengan Protestanisme, tetapi di dalam Protestanisme sendiri, khususnya antara Luther dan Zwingli, yang membahas isu ini di Musyawarah Marburg pada tahun 1529 namun gagal mencapai kesepakatan. Pandangan Zwingli kelak dikaitkan dengan istilah Memorialisme, yang mengemukakan suatu pemahaman tentang Perjamuan Kudus yang diselenggarakan semata-mata sebagai "peringatan akan" Kristus. Hal ini secara akurat mendeskripsikan posisi kalangan Anabaptis dan tradisi-tradisi turunannya. Namun, John Riggs mengatakan bahwa ini bukan posisi yang dianut Zwingli; menurutnya, Zwingli menegaskan bahwa Kristus adalah benar-benar (secara substansi), kendati bukan secara fisik, hadir dalam sakramen tersebut.[6]
Konsili Trente, yang diadakan tahun 1545–1563 sebagai reaksi terhadap Reformasi Protestan dan memprakarsai Kontra-Reformasi Katolik, menyatakan pandangan tentang kehadiran nyata sebagai "perubahan keseluruhan substansi roti menjadi tubuh, keseluruhan substansi (substantia) anggur menjadi darah [Kristus], dan hanya penampilannya (species) saja yang tetap; suatu perubahan yang paling tepat Gereja Katolik sebut Transubstansiasi."[7]
Gereja Ortodoks Timur baru terlibat dalam isu ini pada abad ke-17. Menghangatnya isu ini dimulai pada tahun 1629, ketika Cyril Lucaris menolak doktrin transubstansiasi, menggunakan istilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, metousiosis, untuk konsep tersebut. Untuk melawan ajaran Lucaris, Metropolit Peter Mogila dari Kiev menyusun sebuah Pengakuan Iman Ortodoks dalam bahasa Latin untuk membela transubstansiasi. Konfesi atau Pengakuan Iman tersebut disetujui oleh semua patriark berbahasa Yunani (yaitu dari Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia, dan Yerusalem) pada tahun 1643, dan ditegaskan kembali oleh Sinode Yerusalem tahun 1672 (juga disebut sebagai Konsili Betlehem).
Gereja Katolik memahami kehadiran Kristus dalam Ekaristi sebagai sesuatu yang nyata atau riil, maksudnya objektif dan tidak bergantung pada iman.[8]
Gereja Katolik memahami bahwa kehadiran Kristus yang nyata dan objektif terjadi karena perubahan substansi roti dan anggur menjadi substansi tubuh dan darah Yesus Kristus, tanpa perubahan "penampilan", warna, properti aksidental atau bentuk dari roti dan anggur, termasuk pula, misalnya, nilai nutrisinya. Perubahan tersebut dinamakan transubstansiasi, sebagaimana tertulis dalam Katekismus Gereja Katolik.[9]
Penggunaan istilah "transubstansiasi" untuk mendeskripsikan "cara yang jauh melampaui pengertian", yang dengannya tanda-tanda roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus,[10] umumnya tidak diadopsi oleh gereja lain,[1] kendati terkadang digunakan oleh kalangan Ortodoks,[11][12] yang juga berpandangan bahwa roti dan anggur mengalami suatu perubahan yang nyata.[13]
Salah satu himne dari Gereja, "Ave Verum Corpus", menyapa Kristus dalam Ekaristi dengan ungkapan (dalam terjemahan bebas dari bahasa Latin aslinya): "Salam, tubuh sejati, lahir dari Perawan Maria, yang benar-benar menderita, dikurbankan di kayu salib untuk umat manusia."[14]
Gereja Katolik berpandangan bahwa kehadiran Kristus dalam Ekaristi terjadi secara keseluruhan: tidak melihat apa yang sebenarnya ada dalam Ekaristi sebagai suatu tubuh tak bernyawa dan sekadar darah, tetapi sebagai Kristus secara keseluruhan, yakni tubuh, darah, jiwa, dan keilahian-Nya; juga tidak melihat tetapnya penampilan luar roti dan anggur serta properti-propertinya (seperti berat dan nilai gizi) sebagai suatu ilusi belaka, tetapi ada secara objektif sebagaimana sebelumnya dan tak berubah.
Dalam pandangan Gereja Katolik, kehadiran Kristus dalam Ekaristi adalah suatu tatanan yang berbeda dengan kehadiran Kristus dalam sakramen-sakramen lain: dalam sakramen lainnya Ia hadir dengan kuasa-Nya dan bukan dengan kenyataan tubuh dan darah-Nya, yang merupakan dasar dari ekspresi "kehadiran nyata". Oleh karena itu, Gereja menganggap mereka yang berpendapat bahwa elemen-elemen dari Ekaristi dalam kenyataan objektifnya tetap tidak berubah bukan meyakini kehadiran nyata Kristus dalam sakramen khusus ini, tetapi meyakini suatu kehadiran yang sekadar bersifat pribadi pada diri penerima komuni, apapun nama yang digunakan untuk mendeskripsikannya (pneumatik, anamnetik, dll.).
Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental, dan juga Gereja dari Timur, meyakini bahwa roti dan anggur Ekaristi secara objektif berubah dan menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam pengertian yang sebenarnya.[15] Para teolog seperti Brad Harper dan Paul Louis Metzger menyatakan bahwa:
Kendati Gereja Ortodoks sering menggunakan sebutan transubstansiasi, Kallistos Ware menyatakan sebutan "tidak menyukai keyakinan yang khas ataupun pasti" dalam Gereja Ortodoks. Penggunaannya dalam Gereja Ortodoks juga tidak "membuat para teolog menerima konsep-konsep filosofis Aristotelian" (sebagaimana dalam Gereja Katolik Roma). Ware juga mencatat bahwa Ortodoks selalu "bersikeras pada kenyataan perubahan" dari roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus pada saat konsekrasi elemen-elemen tersebut, namun Ortodoks "tidak pernah berupaya untuk menjelaskan cara perubahannya."[16]
Istilah Yunani metousiosis (μετουσίωσις) terkadang digunakan oleh kalangan Kristen Ortodoks Timur untuk mendeskripsikan perubahan tersebut karena istilah ini "tidak terikat dengan teori substansi dan aksiden skolastik", tetapi istilah ini tidak memiliki status resmi sebagai suatu dogma dari Persekutuan Ortodoks.[17][18][19] Gereja Ortodoks Koptik juga "takut menggunakan istilah-istilah filosofis perihal kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi, lebih memilih rujukan-rujukan tanpa kritik pada bagian-bagian biblika seperti 1 Kor. 10.16; 11.23-29 atau diskursus dalam Yoh. 6.26-58."[20]
Gereja Katolik Roma meyakini bahwa perubahan ini "terjadi saat kata-kata institusi atau konsekrasi", namun Gereja Ortodoks Timur mengajarkan bahwa "perubahan ini terjadi dimana saja antara Proskomedia (Liturgi Persiapan)" dan "Epiklesis ('memanggil turun'), atau seruan kepada Roh Kudus agar 'turun atas kita dan atas pemberian-pemberian yang ditetapkan di sini'". Oleh karena itu, Ortodoks Timur mengajarkan bahwa "pemberian-pemberian ini perlu diperlakukan dengan hormat sepanjang seluruh ibadah. Kita tidak tahu kapan tepatnya perubahan itu terjadi, dan tetap dibiarkan misteri."[21]
Kata-kata dari liturgi Etiopia berikut merepresentasikan iman Ortodoksi Oriental: "Aku percaya, aku percaya, aku percaya dan mengaku sampai hembusan napas terakhir bahwa ini adalah tubuh dan darah dari Tuhan Allah dan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang diambil-Nya dari Bunda kita, Perawan Maria yang kudus dan tak bernoda, Bunda Allah."
Sinode Yerusalem Ortodoks Timur menyatakan: "Kita percaya bahwa Tuhan Yesus Kristus hadir, tidak seperti biasanya, tidak secara figuratif, tidak juga dengan rahmat yang meluap-luap, seperti dalam Misteri-Misteri lainnya, ... tetapi secara sungguh-sungguh dan benar-benar, sehingga setelah konsekrasi roti dan anggur, roti ditransmutasikan, ditransubstansiasikan, diubah, dan ditransformasikan menjadi benar-benar Tubuh Itu Sendiri dari Tuhan, Yang lahir di Betlehem dari Maria yang Tetap Perawan, yang dibaptis di Sungai Yordan, menderita, dikuburkan, bangkit kembali, naik, duduk di sisi kanan Allah dan Bapa, serta akan datang kembali dalam awan-awan di langit. Dan anggur diubah serta ditransubstansiasikan menjadi benar-benar Darah Itu Sendiri dari Tuhan, Yang, ketika Dia tergantung di kayu Salib, dicurahkan untuk kehidupan dunia ini."[22]
Jemaat Lutheran percaya akan kehadiran nyata tubuh dan darah Kristus dalam Perjamuan Kudus atau Ekaristi.[23][24] Tubuh dan darah Kristus dipandang "benar-benar dan secara substansial hadir di dalam, dengan dan di bawah bentuk"[25][26] roti dan anggur yang telah dikonsekrasi (elemen-elemennya). Karenanya para penerima komuni makan dan minum tubuh dan darah kudus dari Kristus sendiri maupun roti dan anggur tersebut (lih. Pengakuan Iman Augsburg, Artikel 10) di dalam Sakramen ini.[27][28] Doktrin Lutheran tentang kehadiran nyata secara lebih tepat dan formal disebut "persatuan sakramental."[29] Doktrin tersebut secara tidak akurat disebut "konsubstansiasi", istilah yang secara khusus ditolak oleh kebanyakan teolog dan kalangan Lutheran[30] karena mengakibatkan kebingungan seputar doktrin yang sebenarnya, dan merujuk pada konsep filosofis yang menurut mereka tidak alkitabiah seperti halnya istilah "transubstansi".[31][32][33]
Bagi jemaat Lutheran, adalah bukan sakramen apabila tidak menggunakan elemen-elemennya sesuai dengan institusi Kristus (konsekrasi, distribusi, dan penerimaan). Hal ini dinyatakan pertama kali dalam Konkord Wittenberg tahun 1536 dalam rumusan: Nihil habet rationem sacramenti extra usum a Christo institutum ("Tidak ada yang memiliki karakter suatu sakramen di luar penggunaan yang diinstitusikan oleh Kristus"). Beberapa kalangan Lutheran menggunakan rumusan ini sebagai alasan mereka menentang praktik penyimpanan elemen-elemen yang telah dikonsekrasi, misa pribadi, praktik Corpus Christi, dan keyakinan bahwa reliquæ (apa yang tersisa dari elemen-elemen yang telah dikonsekrasi setelah penerimaan komuni oleh jemaat) masih dipersatukan secara sakramental dengan Tubuh dan Darah Kristus. Penafsiran demikian tidak berlaku umum di antara kalangan Lutheran. Elemen-elemen yang telah dikonsekrasi diperlakukan dengan penuh hormat; dan dalam beberapa kalangan Lutheran juga dilakukan penyimpanan sebagaimana dalam praktik Katolik, Ortodoks, dan Anglikan. Adorasi Ekaristi eksternal umumnya tidak dipraktikkan oleh kebanyakan kalangan Lutheran, kecuali membungkuk, bertekuk lutut, dan berlutut untuk menerima Ekaristi sejak Kata-Kata Institusi serta berdiri kembali untuk penerimaan makanan kudus tersebut. Reliquæ secara tradisional dikonsumsi oleh selebran (pelayan yang memimpin ibadah) setelah jemaat menerima komuni atau roti perjamuan, kendati ada sejumlah kecil yang mungkin disimpan untuk diantar ke mereka yang terlalu lemah atau sakit untuk menghadiri ibadah. Dalam hal ini, elemen-elemen yang telah dikonsekrasi harus segera diantarkan, untuk menjaga keterkaitan antara penerimaan komuni orang sakit tersebut dengan jemaat yang berhimpun dalam Ibadah Ilahi atau kebaktian publik.
Jemaat Lutheran menggunakan ungkapan "di dalam, dengan, dan di bawah bentuk roti dan anggur yang dikonsekrasi" serta "Persatuan Sakramental" untuk membedakan pemahaman mereka tentang Ekaristi dengan jemaat Calvinis dan tradisi lainnya.
Kalangan Anglikan lebih memilih pandangan tentang kehadiran objektif yang mempertahankan suatu perubahan definitif, namun bagaimana perubahan itu terjadi dibiarkan tetap menjadi misteri.[1][21] Demikian pula kalangan Metodis mendalilkan kehadiran par excellence sebagai suatu "Misteri Kudus".[2] Kalangan Anglikan secara umum dan resmi meyakini kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi, tetapi bentuk spesifik keyakinan tersebut bervariasi dari kehadiran jasmani (kehadiran objektif yang nyata), yang terkadang dibarengi dengan adorasi Ekaristi (terutama kalangan Anglo-Katolik gereja tinggi),[34][35] hingga keyakinan akan kehadiran pneumatik (terutama kalangan Anglikan Reformed gereja rendah).[36]
Dalam teologi Anglikan, sakramen adalah tanda eksternal dan terlihat dari rahmat internal dan spiritual. Dalam Ekaristi, tanda eksternal dan yang terlihat adalah dari roti dan angur, sementara rahmat internal dan spiritual adalah dari Tubuh dan Darah Kristus. Aforisme klasik Anglikan sehubungan dengan perdebatan tentang Ekaristi adalah puisi karya John Donne (1572–1631): "Ia adalah Firman yang mengucapkannya; Ia mengambil roti dan memecah-mecahkannya; Dan apa yang Firman lakukan; Aku percaya dan mengambilnya" (Divine Poems. On the Sacrament).[37]
Selama Reformasi Inggris, doktrin baru Gereja Inggris sempat mendapat suatu pengaruh yang kuat dari teolog-teolog Reformed Eropa yang pernah diundang oleh Cranmer ke Inggris untuk membantu reformasi tersebut. Di antara mereka terdapat Martin Bucer, Peter Martyr Vermigli, Bernardino Ochino, Paul Fagius, dan Jan Łaski. Yohanes Calvin juga didesak untuk datang ke Inggris oleh Cranmer, namun menolaknya dengan alasan bahwa ia juga terlibat dalam reformasi Swiss. Konsekuensinya, Gereja Inggris sejak awal memiliki pengaruh Reformed yang kuat, kendati bukan pengaruh Calvinistik secara khusus. Pandangan mengenai kehadiran nyata sebagaimana dideskripsikan dalam 39 Artikel karenanya sangat mirip dengan pandangan pneumatik dari Bucer, Martyr, dan Calvin.
39 Artikel Agama Anglikan menyatakan bahwa:
Transubstansiasi (atau perubahan substansi roti dan anggur) dalam Perjamuan Tuhan tidak dapat dibuktikan oleh Kitab Suci, tetapi tidak sesuai dengan kata-kata sederhana Kitab Suci, menggantikan hakikat dari suatu Sakramen, dan telah memberikan kesempatan pada banyak takhayul. Tubuh Kristus diberikan, diambil, dan dimakan dalam Perjamuan hanya dengan suatu cara ilahiah dan rohani. Dan sarana yang melaluinya tubuh Kristus diterima dan dimakan dalam Perjamuan adalah Iman. (Artikel XXVIII).
Bagi banyak kalangan Anglikan, yang mistisismenya sangat kuat, terdapat penekanan yang sangat penting bahwa Allah menggunakan hal duniawi dan temporal sebagai suatu sarana untuk memberikan manusia hal yang transenden dan abadi. Beberapa kalangan memperluas pandangan tersebut dengan mencakupkan gagasan tentang suatu kehadiran yang ada dalam dunia roh dan keabadian, dan bukan mengenai kedagingan-jasmani.
Selama Gerakan Oxford pada abad ke-19, kaum Traktarian mengajukan keyakinan akan kehadiran objektif Kristus yang nyata dalam Ekaristi, namun mempertahankan pandangan bahwa detail tentang bagaimana Ia hadir tetap merupakan rahasia atau misteri iman,[34][35] suatu pandangan yang juga dianut oleh Gereja Ortodoks dan Metodis.[1][2] Memang pada kenyataannya, salah satu komunitas devosional tertua Anglo-Katolik, yaitu Persaudaraan Sakramen Mahakudus, didirikan secara khusus untuk memajukan keyakinan akan kehadiran objektif Kristus yang nyata dalam Ekaristi.[38]
Dari beberapa perspektif Anglikan, kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi Kudus tidak berarti bahwa Yesus Kristus hadir secara materiil atau dalam tempat tertentu. Mereka menganggap hal ini selaras dengan beberapa interpretasi atas ajaran Katolik Roma, seperti yang misalnya diungkapkan oleh St. Thomas Aquinas, yang mengatakan bahwa Kristus secara keseluruhan hadir dalam sakramen tersebut, namun dikatakan juga bahwa kehadiran ini tidak "seperti dalam suatu tempat".[39] Nyata tidak berarti materiil: ketiadaan wujud setelahnya tidak berarti ketidakhadiran yang sebelumnya tidak ada. Menurut mereka, Ekaristi adalah bukan kehadiran Kristus secara intrinsik seperti bagian tubuh dari suatu tubuh, namun adalah kehadiran secara ekstrinsik sebagai instrumen-Nya untuk menyampaikan Rahmat Ilahi. Beberapa kalangan Anglikan melihat pemahaman ini sesuai dengan teori-teori yang berbeda tentang kehadiran Kristus—transubstansiasi, konsubstansiasi, atau virtualisme—tanpa terlibat dalam mekanisme "perubahan" atau juga berupaya untuk menjelaskan misteri dari tindakan Allah sendiri.
Para teolog Anglikan dan Katolik Roma yang berpartisipasi dalam Komisi Internasional Anglikan–Katolik Roma pertama (ARCIC I) menyatakan bahwa mereka telah "mencapai kesepakatan substansial mengenai doktrin Ekaristi".[40] Klaim tersebut diterima oleh Konferensi Lambeth tahun 1988 yang diselenggarakan para uskup Anglikan (Resolusi 8), tetapi dipertanyakan secara tegas dalam Tanggapan Resmi Katolik Roma terhadap Laporan Akhir ARCIC I tahun 1991.[41]
Para pengikut John Wesley umumnya menegaskan bahwa sakramen Perjamuan Kudus adalah suatu Sarana Rahmat instrumental yang melaluinya kehadiran nyata Kristus dikomunikasikan kepada umat beriman,[42] tetapi membiarkan detailnya tetap menjadi suatu misteri.[43] Secara khusus, jemaat Metodis menolak ajaran Katolik mengenai transubstansiasi (lihat "Artikel XVIII" dalam Artikel Agama, Sarana Rahmat). Pada tahun 2004, Gereja Metodis Bersatu menegaskan pandangannya tentang sakramen ini dan keyakinannya akan kehadiran nyata dalam sebuah dokumen resmi berjudul This Holy Mystery: A United Methodist Understanding of Holy Communion Diarsipkan 2012-04-06 di Wayback Machine.. Catatan khusus di sini adalah pengakuan tegas gereja tersebut akan anamnesis sebagai lebih dari sekadar suatu peringatan tetapi, lebih tepatnya, suatu penghadiran kembali Yesus Kristus dan Kasih-Nya.
Penegasan atas kehadiran nyata ini dapat terlihat dengan jelas pada bahasa yang digunakan dalam Liturgi Ekaristi Metodis Bersatu[44] di mana, ketika epiklesis dalam Doa Syukur Agung, pelayan yang memimpin perayaan berdoa atas elemen-elemen perjamuan:
Hal tersebut mencerminkan sejauh mana pandangan kebanyakan kalangan Metodis dalam mendefinisikan kehadiran nyata.
Jemaat Metodis menegaskan bahwa Yesus benar-benar hadir, dan bahwa sarana kehadiran-Nya merupakan suatu "Misteri Kudus". Pelayan yang memimpin perayaan akan berdoa agar Roh Kudus menjadikan elemen-elemen perjamuan "bagi kami tubuh dan darah Kristus", dan bahkan jemaat yang hadir dapat menyanyikan, misalnya, stanza ketiga dari himne Charles Wesley yang berjudul Come Sinners to the Gospel Feast. Terjemahan bebas stanza tersebut:
Bagaimanapun, sebagian besar kalangan Metodis tidak berupaya untuk mendefinisikan lebih dari tingkat kekhususan ini. Bagi jemaat Kristen Metodis, penegasan akan kehadiran nyata sebagaimana dijelaskan oleh referensi-referensi di atas adalah cukup untuk mengenal dan ambil bagian dalam sakramen tersebut dengan cara yang layak.
In the Roman Catholic Church the official explanation of how Christ is present is called transubstantiation. This is simply an explanation of how, not a statement that, he is present. Anglicans and Orthodox do not attempt to define how, but simply accept the mystery of his presence.
For Anglicans and Methodists the reality of the presence of Jesus as received through the sacramental elements is not in question. Real presence is simply accepted as being true, its mysterious nature being affirmed and even lauded in official statements like This Holy Mystery: A United Methodist Understanding of Holy Communion.
The Greek term corresponding to transubstation is metousiosis, which, however is not bound up with the scholastic theory of substance and accidents. It was accepted by the Synod of Bethlehem, 1672, during the reaction against the Calvinizing movement of the Patriarch Cyril Lucaris, but it was never accepted formally by the Russian Church, and it is not a dogma of the Orthodox Communion.
But it does not care to dwell much on the scholastic theories of 'transubstantiation'.
At the same time, the Latins interpret the Sacraments in a legal and philosophical way. Hence, in the Eucharist, using the right material things (bread and wine) and pronouncing the correct formula, changes their substance (transubstantiation) into the Body and Blood of Christ. The visible elements or this and all Sacraments are merely "signs" of the presence of God.The Orthodox call the Eucharist "the mystical Supper." What the priest and the faithful consume is mysteriously the Body and Blood of Christ. We receive Him under the forms of bread and wine, because it would be wholly repugnant to eat "real" human flesh and drink "real" human blood.
|url=
|access-date=
The Copts are fearful of using philosophical terms concerning the real presence of Christ in the Eucharist, preferring uncritical appeals to biblical passages like 1 Cor. 10.16; 11.23-29 or the discourse in John 6.26-58.
In other words, Roman Catholics believe that transubstantiation is the 'change' that occurs in the 'whole substance' of the bread and wine set apart for the Eucharistic mystery. This is a change that takes place at the words of institution or consecration (i.e. 'This is My Body,' etc.). There's some Scholastic language here, of course, but that's the basic gist. In the Orthodox tradition, you will find it taught variously that this change takes place anywhere between the Proskomedia (the Liturgy of Preparation)—which is now a separate service prior to both Orthros and the Divine Liturgy on a typical Sunday, though traditionally it is done during Orthros—and the Epiklesis ('calling down'), or invocation of the Holy Spirit 'upon us and upon these gifts here set forth' (as in Chrysostom's liturgy). As such, the gifts should be treated with reverence throughout the entirety of the service. We don't know the exact time in which the change takes place, and this is left to mystery. As Orthodox Christians, we must be careful to balance and nuance our claims, especially with regards to the Latins or 'the West.' The last thing we want to do is oversimplify matters to the extent of seeming deceptive or—perhaps worse—misinformed. After all, this is typically what gets thrown our way from those unfamiliar with Orthodoxy (beyond literature), often justly putting us on the 'defensive' (an important distinction from 'triumphalism') in response to such misrepresentations.
As Confessional Lutherans we believe in baptismal regeneration, the real presence of Christ's body and blood in the Lord's Supper, and infant baptism.
Lutherans have always emphasized that Christ's true body and blood are really present 'in, with, and under' the bread and wine and that Christ's true body and blood are received by all who receive the elements, either to their blessing or to their condemnation…Lutherans emphasize that although the presence of Christ in the Sacrament is a supernatural presence, which is beyond our understanding and explanations, it is a real, substantial presence. Jesus simply says, 'This is my body. This is my blood,' and Lutherans confess this when they say, 'The bread and wine we receive are Christ's body and blood.' They also combine the words 'in and under' from the Catechism and the word 'with' from the Formula of Concord into the expression 'Christ's body and blood are received in, with, and under the bread and wine.'
Although some Lutherans have used the term 'consbstantiation' [sic] and it might possibly be understood correctly (e.g., the bread & wine, body & blood coexist with each other in the Lord's Supper), most Lutherans reject the term because of the false connotation it contains...either that the body and blood, bread and wine come together to form one substance in the Lord's Supper or that the body and blood are present in a natural manner like the bread and the wine. Lutherans believe that the bread and the wine are present in a natural manner in the Lord's Supper and Christ's true body and blood are present in an illocal, supernatural manner.
We reject transubstantiation because the Bible teaches that the bread and the wine are still present in the Lord's Supper (1 Corinthians 10:16, 1 Corinthians 11:27–28). We do not worship the elements because Jesus commands us to eat and to drink the bread and the wine. He does not command us to worship them.
Many folk tale enthusiasts remained vicarious participants in a vague supernaturalism; Anglo-Catholics wanted not Wonderland but heaven, and they sought it through their sacraments, especially the Eucharist. Though they stopped short of transubstantiation, Anglo-Catholics insisted that the consecrated bread and wine contained the "Real Objective Presence" of God.
How the bread and wine of the Eucharist become the Body and Blood of Christ after a special, sacramental and heavenly manner and still remain bread and wine, and how our Lord is really present (real as being the presence of a reality), is a mystery which no human mind can satisfactorily explain. It is a mystery of the same order as how the divine Logos could take upon himself human nature and become man without ceasing to be divine. It is a mystery of the Faith, and we were never promised that all the mysteries would be solved in this life. The plain man (and some not so plain) is wisest in sticking to the oft-quoted lines ascribed to Queen Elizabeth, but probably written by John Donne: "Christ was the Word that spake it; He took the bread and brake it; And what the Word did make it, That I believe and take it." The mysteries of the Eucharist are three: The mystery of identification, the mystery of conversion, the mystery of presence. The first and primary mystery is that of identification; the other two are inferences from it. The ancient Fathers were free from Eucharistic controversy because they took their stand on the first and primary mystery—that of identification—and accepted our Lord's words, " This is my Body," " This is my Blood," as the pledge of the blessings which this Sacrament conveys. We have since the early Middle Ages lost their peace because we have insisted on trying to explain unexplainable mysteries. But let it be repeated, Anglo-Catholics are not committed to the doctrine of Transubstantiation; they are committed to the doctrine of the Real Presence.
Advocates of the pneumatic presence might point to the efficacy of the Holy Spirit as somehow applying the virtues or power of the body of Christ to the faithful. Some within this camp might emphasize an instrumental manner by which the Holy Spirit uses the elements as a means of communicating the efficacy of the body of Christ. This view might be best associated with John Calvin. Others within this camp focus on a parallelism by which as the mouth feeds on the consecrated elements so does the heart feed on the body of Christ. This seems to be the emphasis of the Anglican divine Thomas Cranmer.
Instances of this service, and also of carrying the Blessed Sacrament in procession, are brought up to arouse the prejudice of party spirit that is opposed to belief in the Real Objective Presence. It is, therefore, my judgment, poor as it may be, that it would be wise to cease these two forms of devotion. We cannot claim for Benediction that it was a pre-Reformation service, to which we have inherited a right, and there is no legal ground on which to stand in favor of its introduction.