Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. ISPO dibentuk pada tahun 2009 oleh pemerintah Indonesia[1] untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. ISPO merupakan standar nasional minyak sawit pertama bagi suatu negara, dan negara lain kini mencoba mempertimbangkan untuk mengimplementasikan standar serupa di antara produsen minyak sawit. Beberapa hal yang diterapkan dalam pembukaan lahan kelapa sawit baru sesuai prinsip ISPO yaitu:[2]
ISPO dikritik karena tidak melibatkan LSM dan auditor independen. Namun dapat dikatakan lebih baik dibandingkan RSPO karena bersifat mengikat bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Sedangkan RSPO bersifat sukarela.[3] Rosediana Suharto, salah satu dewan eksekutif ISPO menyatakan pemerintah mewajibkan seluruh pemilik perkebunan untuk bersertifikat hingga tahun 2015. Ia juga menyatakan akan meningkatkan jumlah auditor menjadi 2000.[4] Pemerintah pun akan melarang ekspor produk minyak sawit mentah (CPO) jika perusahaan tidak mengantongi sertifikat ISPO[5] mulai tahun 2014.[6][7]
Meski telah bersifat wajib dan pemerintah Indonesia menargetkan 100 persen perusahaan bersertifikat sebelum 2014 berakhir, namun perusahaan perkebunan sawir pemegang sertifikat ISPO pada bulan April 2014 baru 40 perusahaan dari total 1500.[8]
ISPO tidak hanya mengenai sertifikasi, namun juga dialog berkelanjutan antara pemerintah Indonesia, perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan pihak lainnya yang terkait. Pada bulan Maret 2014, perusahaan pemegang sertifikat ISPO memfokuskan emisi gas rumah kaca sebagai salah satu bahasan utama dalam perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.[9]
Indonesia terus berupaya mempromosikan ISPO di Uni Eropa dan melobi penghapusan diskriminasi minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya yang diproduksi di dalam Eropa.[10] Uni Eropa menanggapinya dengan mewajibkan eksportir CPO memberikan label RSPO kepada produk CPO-nya.[11] Pemilik lahan sawit di Indonesia yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia berencana melakukan penghentian ekspor ke Eropa karena kewajiban sertifikasi RPSO ini.[12] Namun direktur RSPO Indonesia menyatakan bahwa pemegang sertifikat ISPO akan diberikan kemudahan untuk mendapatkan sertifikat RSPO karena keduanya saling melengkapi dalam bisnis kelapa sawit dunia.[11]
Isu negatif CPO Indonesia di daratan Eropa utama menjadikan Indonesia mengalihkan ekspornya ke Turki selama beberapa waktu.[13] Kebutuhan Eropa terhadap minyak nabati masih tinggi sehingga Wakil Menteri Perdagangan Indonesia optimis bahwa minyak sawit Indonesia dapat mendominasi pasar minyak nabati Eropa, dengan syarat diskriminasi terhadap minyak sawit Indonesia dihapuskan.[14]
"Negara yang mewajibkan sertifikasi sustainable palm oil baru Indonesia. Saya mengatakan pada Eropa, kalau mereka menerapkan kebijakan hanya membeli sustainable palm oil, Indonesia adalah yang paling siap karena Indonesia produsen certified sustainable palm oil terbesar di dunia"— Bayu Krisnamurthi, Gatra[14]
"Negara yang mewajibkan sertifikasi sustainable palm oil baru Indonesia. Saya mengatakan pada Eropa, kalau mereka menerapkan kebijakan hanya membeli sustainable palm oil, Indonesia adalah yang paling siap karena Indonesia produsen certified sustainable palm oil terbesar di dunia"
Laporan CIFOR pada tahun 2017 menyebutkan bahwa ISPO masih belum cukup kredibel secara internasional sebagai suatu standar keberlanjutan industri kelapa sawit. Survei yang dilakukan CIFOR dalam laporannya tersebut juga masih menempatkan ISPO di bawah standar kelapa sawit lainnya seperti Palm Oil Innovation Group (POIG), Sustainable Palm Oil Movement (SPOM), dan RSPO.[15] Salsabila Khairunnisa dari komunitas pemuda Jaga Rimba menyebutkan pada tahun 2020 bahwa tidak ada industri minyak kelapa sawit yang berkelanjutan.[16]
Hingga akhir 2020, sedikitnya sudah ada 750 entitas yang tersertifikasi ISPO namun sebagian besar merupakan perusahaan korporasi swasta dan perusahaan perkebunan milik negara, PTPN, dibandingkan dengan usaha perkebunan independen milik warga.[17]
|date=