Hubungan Indonesia dengan Kamboja mengacu pada hubungan bilateral Kerajaan Kamboja dan Republik Indonesia. Kamboja memiliki kedutaan besar di Jakarta, sementara Indonesia memiliki kedutaan besar di Phnom Penh. Sejak hubungan diplomatik dirintis pada tahun 1960-an. Indonesia selalu mendukung perdamaian dan stabilitas di Kamboja. Indonesia menyediakan pasukan untuk Otoritas Transisi PBB di Kamboja pada tahun 1992, dan pada tahun 1999 Indonesia mendukung keanggotaan Kamboja di ASEAN. Kamboja menghargai Indonesia yang secara konsisten telah membantu Kamboja, terutama dalam peningkatan kapasitas.[1] Kedua negara adalah anggota Gerakan Non-Blok dan ASEAN.
Sejarah
Hubungan antara Indonesia kuno dan Kamboja telah dirintis sejak zaman Kerajaan Chenla dan wangsa Sailendra di Jawa juga kerajaan Sriwijaya; disebutkan bahwa raja Jayawarman II sempat tinggal selama beberapa lama di pulau Jawa pada masa pemerintahan Sailendra, dan pada 802 ia menyatakan kemerdekaan Kamboja dari Jawa dan memproklamirkan dirinya sebagai raja jagat, peristiwa ini memulai periode Angkor dalam sejarah Kamboja.[2]
Kamboja menghadiri Konferensi Bandung, juga dikenal sebagai Konferensi Asia-Afrika, yang diselenggarakan pada bulan April 1955. Konferensi ini merintis terbentuknya Gerakan Non-Blok. Pada tahun 1956 Indonesia mengakui Kamboja sebagai negara yang berdaulat, dan pada tahun berikutnya, kedua negara membangun hubungan diplomatik pada tahun 1957. Pada tahun 1960 Indonesia meresmikan perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Kamboja melalui hukum UU 8/1960.[3]
Selama pemerintahan Soekarno pada tahun 1960-an, Presiden Indonesia telah mengunjungi Kamboja dan sebaliknya Pangeran Norodom Sihanouk juga mengunjungi Indonesia.
Pada tahun 1992 Indonesia termasuk negara yang menyumbangkan tenaga pasukan untuk Otoritas Transisi PBB di Kamboja dan membantu Kamboja dalam usaha menjaga keamanan untuk mencapai perdamaian. Indonesia juga menyambut dan mendukung keanggotaan Kamboja di ASEAN pada tahun 1999. Hubungan antara Indonesia dan Kamboja telah tumbuh pesat sejak saat itu.
Budaya
Kedua negara memiliki warisan purbakala serupa yang didaulat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Borobudur dan Angkor Wat. Indonesia yang berpengalaman dalam proyek pemugaran Borobudur, telah meminjamkan keahliannya dalam upaya pelestarian Angkor. Indonesia termasuk salah satu negara yang memberikan bantuan dalam proyek restorasi Angkor, terutama tiga gerbang utama kompleks Istana Kerajaan Angkor, situs arkeologi dekat Phimeanakas.[4]
Keamanan
Kedua negara Kamboja dan Thailand memberi kepercayaan Indonesia sebagai pengamat yang adil dan tidak memihak untuk menyelesaikan sengketa internal ASEAN. Thailand dan Kamboja sepakat untuk mengizinkan pemantau Indonesia untuk pergi ke perbatasan antara kedua negara untuk membantu mencegah bentrokan militer lanjut, Indonesia ditunjuk sebagai pengamat dalam sengketa perbatasan Kamboja-Thailand.[5] Dalam hal pelatihan militer, Pasukan Khusus Batalyon Para-Komando Kamboja telah dilatih oleh Kopassus sejak 1974 sampai sekarang.[6] Dimana hasil latihan tersebut Pasukan Khusus Kamboja hampir mirip Kopassus, mulai dari cara penggelaran pasukan, penempatan pasukan dan gerakannya hampir mirip. Yang paling jelas kesamaannnya dengan Kopassus adalah baretnya yang sama-sama berwarna merah dan memakai seragam loreng yang sama.