Gnassingbé Eyadéma (lahir dengan nama Étienne Eyadéma, 26 Desember 1935 – 5 Februari 2005[1][2][3]) adalah Presiden Togo dari tahun 1967 sampai kematiannya pada tahun 2005. Dia berpartisipasi dalam dua kudeta militer yang sukses, yakni pada Januari 1963 dan Januari 1967, dan ia menjadi Presiden pada 14 April 1967. Sebagai Presiden, ia menciptakan sebuah partai politik, Persatuan Rakyat Togo (RPT), dan memimpin sebuah rezim satu partai sampai awal 1990-an. Ia kemudian memenangkan pemilihan presiden multipartai pada tahun 1993, 1998, dan 2003; oposisi memboikot pemilu 1993 dan mencela hasil pemilu 1998 dan 2003 sebagai penipuan. Pada saat kematiannya, Eyadéma adalah penguasa terlama di Afrika.[4]
Eyadema pernah menjadi permata kecil di Afrika Barat pada 1960-an, terkenal dengan stabilitasnya, hotel-hotel mewah, dan sebagai tujuan wisata bagi warga Prancis. Namun, segalanya berubah ketika Jenderal Gnassingbé Eyadema merebut kekuasaan melalui dua kudeta sukses dan memimpin negara dari 1967 hingga 2005. Ia mendirikan Rally of the Togolese People (RPT) dan membangun rezim antikomunis yang penuh korupsi, kekerasan politik, serta gaya hidup mewah, sementara rakyatnya menderita.
Eyadema mempertahankan kekuasaannya dengan tangan besi, menekan oposisi dengan brutal hingga pemilihan multipartai digelar pada 1993. Meski demikian, ia tetap memenangkan 96% suara dan melanjutkan pemerintahannya. Setelah beberapa kali lolos dari upaya pembunuhan, ia meninggal pada 5 Februari 2005 saat dalam perjalanan untuk mendapatkan perawatan medis darurat. Posisinya kemudian diwarisi oleh putranya, Faure Gnassingbé, yang masih berkuasa hingga kini.
Johnny Young, Duta Besar AS untuk Togo (1994–1997), menggambarkan pengalaman surealisnya saat berinteraksi dengan Eyadema, termasuk jam-jam panjang di bandara saat sang presiden berusaha menarik perhatian tokoh internasional. Ia juga menyaksikan penghilangan paksa oposisi, kematian misterius seorang diplomat Jerman, serta kejadian di mana seorang wakil konsul AS diusir dari negara itu. Saat mencoba membahas insiden tersebut dengan Eyadema, ia justru disuguhi ceramah panjang yang tidak relevan tentang bagaimana Tuhan telah menyelamatkan hidupnya.[5]